Tiga Tokoh Literasi Nasional Bincang Sastra Jawa di Kampus Literasi
Ponorogo, Sukses menghadirkan novelis kondang dari Nusa Tenggara Timur, Felix K. Nesi dan Denny Mizhar, pemilik griya buku Pelangi Sastra Malang. Ngaji sastra STKIP PGRI Ponorogo kembali mengundang pemateri-pemateri handal. Kali ini, yang hadir tidak kalah mentereng dalam kiprahnya di bidang literasi.
Dosen Unusa yang juga pegiat sastra Jawa, Suharmono Kasiyun, pemimpin redaksi Majalah Jaya Baya Widodo Basuki dan Presiden Gurit Jawa Timur, Aming Aminoedhin. Ketiganya menjadi pemantik dalam gelaran ngaji sastra Jawa di Graha Saraswati, (Sabtu, 2/4/2022). Puluhan perserta baik dari kalangan mahasiswa, pelajar, guru MGMP bahasa Jawa, dan kalangan umum telah memadati ruangan serba guna itu. Sembari menikmati gending Jawa yang dibawakan Hima Diwangkara mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa (PBJ) STKIP PGRI Ponorogo.
Sutejo, selaku ketua STKIP PGRI Ponorogo berharap peserta (secara khusus mahasiswa) nantinya mampu memetik proses kekaryaan dari masing-masing pemateri. Mahasiswa harus belajar apa dan bagaimana proses kreatif yang selama ini dijalani, sehingga menjadi seperti sekarang.
“Meneladani kekaryaan mereka merupakan harga wajib untuk para mahasiswa,” ujar Sutejo.
Di samping meneladani, sebagai mahasiswa Kampus Literasi memiliki kewajiban dalam menulis. Terlebih yang hadir adalah redaksi Majalah Jaya Baya (Widodo Basuki). Menarik untuk menggali dan menggulik bagaimana karakter karya-karya yang dimuat di Majalahnya.
“Moment bagus bagaimana mereka bisa lebih dekat dengan Majalah Jaya Baya. Kemudian secara perlahan menulis dan dimuat di sana,” tambah Sutejo.
Ngaji sastra Jawa dimulai dengan uraian pengalaman berkarya Suharmono Kasiyun. Lelaki yang ternyata kelahiran Kauman Sumoroto Ponorogo itu, bercerita bahwa proses berkarya tidak lepas dari pengalaman hidup dan lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh karyanya, banyak terinspirasi dari kehidupan di Ponorogo. Mulai dari kegiatan sosial, pengalaman waktu sekolah hingga tentang pelacuran yang merebak waktu itu.
“Pengalaman main kucing-kucingan dengan kondektur saat naik kereta api Madiun ke Ponorogo saya tuangkan dalam cerpen “Peluit Terakhir” yang dimuat di Surabaya Post,” ceritanya.
Kekaryanya terus diasah dengan berbagai kehidupan sosial yang dialami. Hingga, puncaknya tahun 1978 novelnya dinobatkan sebagai juara harapan dalam Sayembara Kepenulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta. Menariknya novel itu sempat ditolak beberapa surat kabar nasional, sebelum akhirnya menjadi nominasi.
“Pemenangnya hanya ada satu pemenang utama dan ada juara harapan. Pemenang pertama Olenka karya Budi Darma, dan juara harapan ada tiga: Den Bagus karya Suharmono K., Bako karya Darman Munir, dan Merdeka karya Putu Wijaya,” cerita Suharmono Kasihun.
Sementara Aming Aminoedhin presiden gurit Jawa Timur, mulai menulis puisi bahasa Indonesia lantas merambah berbahasa Jawa. Terlebih terlibat dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) sejak tahun 1991. “Lama kelamaan saya tersentuh dan tertarik juga menulis sastra Jawa,” ujarnya.
Selang empat tahun terlibat di PPSJS, tepat tahun 1995 Aming Amioedhin menerbitkan geguritan pertamanya. Ia tidak memungkiri tumbuh-kembang dalam karya berbahasa Jawa tidak lepas dari sosok Suharmono Kasihun.
Sedangkan, Widodo Basuki readaktu Majalah Jaya Baya menyinggung tentang penggurit yang dikatakan sukses. Ia menyimpulkan ketika membaca binggung karyanya siapa dan ternyata itu karnya sendiri, maka ia suskes dalam berkarya.
Setiap karya memiliki kekhasan tersendiri, baik yang berbahasa Jawa dan Indonesia. Menurutnya, karya berbahasa Jawa itu unik dan khas. Ketika didengarkan orang yang tidak paham bahasa Jawa, ia akan menikmati dan manggut-manggut. Meskipun mereka tidak tahu artinya sama sekali.
Peserta begitu menikmati suguhan dari ketiga pemateri. Ketika sesi tanya jawab dibuka, tak khayal banyak yang mengutarakan keinginan untuk bertanya. Salah satunya, Nikmah Laillayah Nur F. mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2021. Ia menyinggung tentang keberadaan lagu viral berbahasa Jawa, yang sekarang digandrungi masyarakat dari berbagai usia.
Lantas ketiga pemateri sepakat bahwa lagu berbahasa Jawa sukses di pasaran. Bahkan suatu kemajuan untuk bahasa Jawa itu sendiri karena menjadi lahan untuk menumbuh-kembangkan di hati masyarakat.
“Meskipun secara bahasa banyak yang kurang tepat. Kita harus akui lagu-lagu itu sukses menaikkan pamor Bahasa Jawa” Ujar Widodo Basuki.
Menariknya dalam kegiatan Ngaji Sastra Jawa. Juga kehadiran tamu spesial yaitu Mbah Tohir Jokasmo (aktor senior Srimulat). Ia membacakan geguritan karya Suharmono Kasiyun dan Widodo Basuki. Diiringi gendang dari HIMA Diwangkara Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa.
Fitri Kartika Sari Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa terkesan dengan ketiga pemateri. Secara pengalaman kekaryaan tidak perlu diragukan lagi. Terlebih beliau mengapresiasi kegiatan ngaji sastra juga penampilan mahasiswa PBJ.
“Adanya acara ngaji sastra Jawa ini, saya harap para mahasiswa STKIP, khususnya PBJ merasa handarbeni sastra Jawa serta terpantik untuk berkarya demi melestarikan sastra Jawa sekaligus mengasah potensi literasi mereka.
Pewarta: Agus_s/Humas