Budi Sardjono; Kekuatan Novel Terletak pada Riset
Ponorogo,_ Julukan sebagai Kampus Literasi tidak salah disematkan pada STKIP PGRI Ponorogo. Pasalnya berbagai kegiatan telah berorientasi pada pengembangan literasi, salah satunya, ngaji sastra. Kegiatan dengan menghadirkan sastrawan, jurnalis, pustakawan, praktisi pendidikan, praktisi penerbitan dan tokoh literasi nasional lainnya.
Ngaji sastra merupakan pengembangan dari kegiatan Sekolah Literasi Gratis (SLG), yang sukses diselenggarakan kampus yang beralamat di Jalan Ukel 39 Kertosari Babadan itu. Sutejo, selaku rektor STKIP PGRI Ponorogo berharap kegiatan literasi ini mampu menjadi pemompa semangat khususnya mahasiswa untuk berliterasi. Selaras dengan impian kampus yang mencetak guru yang profesional juga berwawasan literasi.
Terbaru, ngaji sastra menghadirkan Budi Sardjono salah satu sastrawan kondang tanah air, (24/09). Lelaki kelahiran Yogyakarta itu datang ke Ponorogo bersama R Toto Sugiharto peggiat budaya. Budi Sardjono langsung menyapa ratusan peserta ngaji sastra dengan berbagai tips dalam menulis novel. Pihaknya menyebut dua modal utama dalam menulis, pertama tekat dan kedua buku atau membaca.
Soal buku, ia begitu bangga karena sejak usia 11 tahun sudah bercengkrama dengan novel kelas dunia yaitu Dr. Zhivago. Sementara anak sebayanya sedang bermain layang-layang di sawah, bermain sepak bola, atau mencari ikan di kali. Budi Sardjono sudah melahap novel yang begitu tebal terlebih novel itu pemenang Nobel Sastra Boris Pasternak.
“Saya tidak tahu siapa Boris Pasternak. Dari mana dia, saya tidak peduli. Tetapi sejak paragraf pertama, saya seperti kena sihir untuk terus membacanya,” ujarnya.
Keinginan menulis tumbuh mulai tahun 1976. Mulanya menulis cerita anak tentang Abu Nawas yang dimuat salah satu surat kabar nasional. Ia terus menulis cerita anak hingga bertahun-tahun, sebelum di tahun 1979 mulai menulis cerpen dewasa.
Menariknya, Budi Sardjono menulis cerpen pertama sekaligus diikutsertakan dalam lomba di majalah Femina. Alhasil, cerpen tersebut menjadi juara 2. Tidak begitu lama, ia menulis novelet pertamanya yang membahas tentang rahasia tentang pencuri kayu. Karya itu pun menjadi juara dalam majalah femina.
Novelet Rahasia tentang Pencuri Kayu menjadi kado indah bagi Budi Sardjono, namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Pasalnya majalah femina mendapat teror bertubi-tubi untuk membocorkan nama penulis novelet tersebut.
“Semenjak novelet saya menang mereka (pencuri) kehilangan mata pencaharian. Polisi tahu bagaimana rahasia mereka dari novel saya,” tuturnya.
Teror itu tidak lantas menyurutkan semangat dalam menulis. Justru semakin tertantang untuk menulis sesuatu yang jarang dilakukan kebanyakan orang. Salah satunya menulis disertai riset yang mendalam.
Baginya kekuatan sebuah karya salah satunya dari riset. Budi Sardjono mencontohkah salah satu novel tentang Gowok seorang perempuan yang mempersiapkan lelaki sebelum menikah. Gowok ini memiliki tugas untuk melatih lelaki dalam hal seksualitasnya. Pihak keluarga lelakilah yang menyewa perempuan ini untuk anaknya.
Untuk menulisnya menjadi novel Nyai Gowok, Budi Sardjono melakukan riset langsung ke Ponorogo tepatnya di daerah Ngebel. Tidak sekadar mencari tahu asal usul perempuan itu, tetapi mengetahui detail bagaimana perannya dalam kebudayaan Jawa, ceritanya.
“Melalui riset itu saya tahu betul tentang Gowok, bukan sekadar cerita orang maupuan membaca buku. Tahu secara langsung jauh berbeda dengan dengar ceritanya. Ada sesuatu yang tidak dapat ditemukan,” ujar penulis novel Sang Nyai itu.
Red/Agus_S/humas
Next