Sastra Modern dan Kesadaran Manusia
Ponorogo (beritajatim.com) – Pada dasarnya sastra merupakan ruang permenungan yang bisa melahirkan kesadaran tak biasa. Pengungkapan fakta dan realita kehidupan sebagai saksi perjalanan manusia dengan medium bahasa, mampu mendatangkan dampak positif bagi manusia dan kehidupannya.
Dua kalimat itulah secuil dari perihal sastra dan kesadaran yang disinggung oleh Imam Muhtarom, penulis asal Karawang Provinsi Jawa Barat saat menjadi narasumber dalam acara Ngaji Sastra yang diadakan oleh STKIP PGRI Ponorogo.
Imam menyebut pembacaan teks sastra, sebagai bentuk sikap modern akan membentuk manusia yang berkesadaran. Kesadaran membaca dan kesadaran mengindividuasikan pikiran dengan mengeja satu demi satu kata, kalimat, hingga paragraf. Ini semua merupakan langkah-langkah memberadapkan diri, memerdekakan diri, dan belajar berpijak pada diri sendiri.
“Karena mau tidak mau, di dalam konteks globalisasi kita harus berpijak pada diri sendiri. Dan, sastra adalah jawabannya. Tidak ada yang lain,” kata Imam Muhtarom, ditulis Senin (17/10/2022).
Pada acara yang bertajuk Membaca Indonesia Lewat Karya Sastra itu, Imam yang merupakan pendiri Borobudur Writer and Cultural Festival (BWCF) itu, mengemukakan bahwa sastra Indonesia jika mengacu pada H.B Jassin saat ini berumur 100 tahun. Dari umur yang sudah tidak muda lagi itu, penikmat sastra dituntut untuk membaca sastra dengan kacamata kritis. Sebab, meskipun sebagai penyaksi realitas, sastra adalah proses produksi dari teks dan konteks.
“Dua-duanya bertarung di tengah-tengah budaya dan politik pada masanya. Selain itu, sastra modern Indonesia harus dibaca dalam konteks modernisme: harus khidmat seorang diri dan pembaca harus menyusun sebagai realitas teks sendiri pula,” ungkapnya.
Karya sastra yang tercipta saat ini, sesungguhnya merupakan paradigma kebudayaan modern yang ditandai dengan individualisasi, lepas dari mitos, lepas dari komunalitas, dan harus bisa menginterpretasikan membaca teks atas kemampuan diri.
“Tanpa ini seorang pembaca tidak akan sampai pada pencarian diri di dalam seni sastra modern,” kata penulis buku Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan itu.
Alumni pendidikan magister sastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa syarat khusus sastra modern adalah kekhidmatan dalam membaca. Dengan membaca secara khidmat, pembaca akan melakukan pengkontruksian, penafsiran, dan membentuk imajinasi di dalam kapasitas masing-masing. Serangkaian hal ini akan mengantarkan pembaca pada sebuah apresiasi yang maksimal terhadap karya sastra. “Disinilah kemampuan berpikir dan proses individuasi terbentuk. Puncaknya adalah munculnya kesadaran pelakunya,” katanya.
Proses individuasi bukan berarti proses untuk menjadi individu, akan tetapi proses untuk memberadapkan diri dan menyadari diri. Ini adalah kerja yang harus teraktualisasi dari pikiran yang abstrak menjadi konkret.
Lebih lanjut, laki-laki yang merupakan mantan wartawan Majalah Gatra, Majalah seni rupa Saraswati, dan Harian Berita Sore itu mengutarakan bahwa kontribusi sastra bagi manusia adalah membangun jati diri, membentuk kematangan berpikir, mengembangkan kognisi, dan menciptakan kesadaran. Fungsi dan manfaat sastra itu akan terasa manakala seseorang sudah intens menikmati dan menggauli karya sastra.
Karya sastra itu disajikan dalam wujud tulisan visual yang monoton, tetapi kita dituntut harus memaknainya menjadi kata. Satu kata bertemu kata lain, lalu menjadi frasa, kemudian menjadi kalimat, dan paragraf. Proses ini tidak bisa temukan di dalam seni lain. Analisis otak itu hanya dengan bahasa dan tulis.
“Kita banyak belajar dari sastra. Sastra adalah ilmu yang lengkap dan paripurna jika kita bisa menghubungkan dan melengkapi satu sama lain,” pungkasnya. [kun]
Sumber berita: Beritajatim.com