Tugas Suci Guru, Penggembala Kehidupan
25 November adalah Hari Guru Nasional (HGN), yang selalu diperingati keberadaannya untuk menghargai para pahlawan tanpa tanda jasa, yang telah terpanggil nuraninya demi kemajuan bangsa dan negara. Sayang, di jelang HGN, kita disentakkan oleh ragam fenomena negatif pelajar Indonesia.
Di Tapanuli Utara, ada pelajar yang menendang seorang nenek hingga terjengkang, di Nganjuk pelajar laki-laki memukul dan menendang gadis pelajar hingga tersungkur, dan terakhir pelajar SMP di Sidoarjo yang memaki-maki polisi saat diingatkan tidak berhelm di jalan raya.
Dua bulan sebelumnya, di Hutan kota, Jakarta Utara, seorang pelajar usia 13 tahun bersama temannya merencanakan pemerkosaan terhadap gadis 13 tahun bersama tiga temannya, yang disulut soal cinta yang ditolak. Dan sejumlah kasus perundungan dan penyintasan seksual lain, di berbagai daerah di Indonesia, yang tentu menjadi realitas sangat memprihatikan bagi semua pihak.
Sebagian pihak kemudian mengkritik ragam fenomena itu sebagai kegagalan dunia pendidikan, padahal keluarga dan masyarakat mestinya ikut bertanggung jawab. Pendidikan itu sebuah sistem sosial yang terintegrasi antara lembaga, birokrasi, masyarakat, dan negara. Sebuah interaksi kehidupan utuh dari dunia ilmu dan praktik kehidupan. Pendidikan butuh keteladanan nyata semua pihak.
Untuk itu, penting kiranya kita merenung kembali bagaimana menjadi guru terbaik di era yang serba terbuka, merdeka, dan dihujani oleh “rudal-rudal” budaya asing, yang seringkali berdampak negatif secara masif dan infiltratif.
Mari renungkan realitas profesi guru dalam ilustrasi berikut. Tersebutlah, ada tiga orang guru yang bekerja di ruang kelas berbeda. Kemudian ketiga guru itu ditanya, “Apa yang dikerjakan?” Guru pertama menjawab, “Sedang mengajar.” Guru kedua menjawab, “Melaksanakan tugas.” Sementara guru ketiga menjawab, “Mengantarkan siswa didik menyelami kehidupan melalui pelajaran, agar mereka mampu berdiri sebagai manusia yang bermakna.” Begitulah, tiga guru itu menghayati profesi yang sama tetapi berbeda cita rasanya.
Jika dibaca sekilas, jawaban itu seakan tidak berbeda. Tetapi, yang pertama, hanya mengantarkan jadi anak pintar. Guru kedua, sekadar menjalani tugas pekerjaan. Sementara, yang ketiga melandasi pekerjaannya dengan rasa cinta dengan tujuan mulia. Dia melakukannya atas nama: kemanusiaan. “Menghidupkan” anak didik jadi manusia yang “menyala”.
Maka, bisa dibayangkan: manakah di antara ketiga guru yang menghayati profesi dengan benar atas tugas profesinya? Mereka pun, berdiri di depan kelas dengan totalitas dan komitmen berbeda. Ada yang hanya menyampaikan ilmu, ada yang hanya bekerja mendapatkan imbalan, dan ada yang membayangkan dirinya sebagai penggembala kehidupan macam yang dilakukan para nabi, sais, dan orang-orang suci yang telah tercerahkan jiwanya.
Guru berbasis cinta
Guru berbasis cinta adalah guru yang bekerja seperti kategori guru ketiga dalam ilustrasi sebelumnya. Guru yang sadar membekali anak didik agar bisa hidup dan mandiri. Guru dengan kesadaran cinta ditandai oleh perhatian, kepedulian, kerelaan, pengorbanan, dalam bekerja. Diliputi hasrat yang bergelora karena rasa memiliki yang mendalam sehingga takut kehilangan akan masa depan anak didiknya. Guru yang senantiasa diliputi rasa cemburu manakala melihat guru lain mampu berbuat lebih baik dari dirinya.
Guru yang bergerak dari rasa cinta tidak saja memiliki seperangkat emosi kasih di atas rata-rata tetapi juga memiliki kreativitas tinggi. Selalu berpikir tentang cara, pendekatan, model, dan teknik terbaik dalam mengajar, agar jiwa dan pikiran anak didiknya berpijar. Guru yang tak lelah berkreasi mengantarkan peserta didik mencerna pelajaran, menguraikan makna kehidupan di balik materi yang disajikannya.
Selanjutnya, guru penting memiliki kemampuan visioner dalam membangun oreantasi hidup siswa, yang diawali dengan pengulikan bakat dan minat, mendampinginya sehingga jadi “modal besar” bagi masa depannya. Naluri investigatif dalam mendedah potensi terdalam siswa, mengangkat ke permukaan, dan memolesnya jadi kekuatan hidup peserta didik. Dalam bahasa Gardner, peserta didik itu memiliki kecerdasan majemuk itu mutlak disadari guru, sehingga mampu memberi fasilitasi pembelajaran bermakna dan berhasil guna bagi kehidupannya. Untuk kehidupan sosial masyarakatnya.
Guru berbasis cinta penting menjadi navigator kehidupan mereka, penunjuk dalam mengarungi gelombang hidup, pelatih mengayuh perahu, dan akhirnya berhasil melahirkan anak didik serupa dan seperkasa pelaut ulung. Butuh kesadaran berlipat, mengingat pengalaman hidup guru pun beragam pula. Guru penting berbagi pengalaman hidup positif sebagai modal dan model belajar kehidupan secara langsung. Keterbukaan adalah dasar terbaik dalam mengemas pembelajaran berbasis kebutuhan hidup.
Pembelajaran mutakhir butuh guru yang luwes dan multitalenta. Pencerita yang menggoda, motivator yang dinamis, orator yang mumpuni, hingga teladan berkearifan. Era teknologi informasi berbasis digital bisa ditaklukkan, minimal guru tak kalah menarik perannya. Bagi saya, peran dan kehadiran guru tak mungkin tergantikan. Apa pun, sumber belajar di luar guru mestinya hanya sebuah pendukung sistem pembelajaran, sebagai media atau sarana belaka. Hubungan bernyawa tentu berbeda dengan yang tidak bernyawa.
Guru berjiwa konselor barangkali karakter lain yang harus dipersiapkan. Permasalahan anak didik rasanya tak cukup diselesaikan guru BP mengingat kompleksitas belajar dan pembelajaran, gurulah yang paling mengerti dan memahami. Kehadiran guru berjiwa konselor setiap saat akan menjadi lampu penerang setiap kali “kegelapan” menghampiri. Guru demikian, arifnya memiliki catatan sikap murid-murid yang diajarnya. Idealisme ini tidak sulit diwujudkan manakala komitmen dan totalitas guru berjiwa konselor telah melekat secara profesional.
Dalam mewujudkan peran-peran di atas, mau tidak mau, guru dituntut kreatif dan inovatif dalam mengemas, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran. Kreativitas sesungguhnya hanya sebuah kesadaran berbuat yang berbeda sementara inovasi memang menuntut hal baru dari sebelumnya. Guru dalam tuntutan demikian butuh karakter diri sebagai pembelajar sepanjang hayat, dan inilah pesan filosofis pendidikan kita yang sering terlupa.
Optimalkan kecakapan berpikir
Menjadi guru mutakhir, butuh kerelaan diri meningkatkan paradigma (wawasan) baru pendidikan. Dengan apa? Utamanya, dengan literasi baca-tulis yang sudah jadi darah daging di tubuh seorang guru. Buku-buku karya Munif Chatib macam “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia” yang diterbitkan Kaifa, menarik dijadikan teman pengulik wawasan.
Kedua buku itu akan meningkatkan kesadaran kita sebagai seorang guru, bahwa mengajar dan mendidik itu adalah mengemban misi dan tugas kemanusiaan. Sebagaimana disinggung sebelumnya, realitas guru kita masih banyak yang hanya transfer ilmu atau sekadar bekerja mendapatkan uang. Profesi guru tentu jauh lebih mulia daripada hal demikian.
Buku-buku pendidikan yang muncul awal tahun 2000-an tampaknya perlu ditengok kembali. Dua buku DePorter dkk, “Quantum Teaching” dan “Quantum Learning” , misalnya, menarik ditengok ulang, didaras-kupas sedalam mungkin. Pun dua buku Thomas Amstrong berjudul “Sekolah Para Juara” dan “Setiap Anak Cerdas!”, menantang pula didatangi lagi, diajak dialog dengan teknik membaca “mengikat makna” ala Hernowo.
Pendek bahasa, guru mutakhir penting gila baca-tulis sebagai wujud guru berbudaya literasi. Tuntutan guru mutakhir, mengamanatkan bagaimana guru cerdas membudayakan literasi baca-tulis, numerik, finansial, sain, digital, dan budaya kewarganegaraan. Jika guru-guru kita literat maka besar kemungkinan peserta didik akan literat pula. Bayangkan jika keadaan itu berkebalikan adanya.
Dalam rangka meningkatkan wawasan kita sebagai guru, maka dibutuhkan adanya budaya berpikir. Budaya berpikir akan mengantarkan untuk senantiasa membungkus pembelajaran secara logis, rasional, kritis, analitik, sistematis, dan argumentatif.
Tidak saja itu, tetapi juga kecakapan berpikir dasar lain macam berpikir induktif, deduktif, linier, realistis, empirik, investigatif dan eksploratif, wajiblah dikuasai. Guru dengan seperangkat kecakapan berpikir demikian, dipastikan mampu berbahasa dengan jernih, bernas, logis, dan komunikatif, yang tentu akan sangat membantu peserta didik dalam belajar ilmu dan kehidupan. Sistematika berbahasa komunikasi yang mudah diikuti dan sesuai konteks kebutuhan hidup mutakhir peserta didik.
Di sinilah, jika alternatif di atas terpenuhi, kita bisa bermimpi lahirnya guru-guru yang sekaligus jadi guru kehidupan peserta didik. Guru yang selalu mengangkat persoalan hidup terkini, dikaitkan bidang studi, didaras dan diulik-ulik maknanya sehingga melahirkan kesadaran indah tentang kehidupan yang harus dihadapi kelak.
Guru-guru yang benar-benar terpanggil nurani jiwanya berbuat terbaik hingga titik darah penghabisan. Guru-guru yang memiliki jiwa berkorban mengantarkan generasi bangsa memasuki “medan pertempuran kehidupan”, yang hakikatnya lebih sengit daripada perang nyata. Bukankah tugas keguruan itu lebih subtil, berlaga di medan jiwa, mental, dan spiritual yang hanya bisa dikenali tanda-tanda permukaannya?
Akhirnya, apa pun zamannya, serumit apa pun kehidupan, jika kualitas pendidikan yang dilakukan para guru kehidupan benar dipastikan akan hadir generasi yang tangguh, militan, kreatif, solutif dan mampu mandiri. Seperangkat pesan mental di balik revolusi 5.0 yang dipelopori Jepang, barangkali menjadi darasan lain yang mendesak diinternalisasikan. (*)
Dr. Sutejo, M.Hum.
Budayawan, dosen di STKIP PGRI Ponorogo, alumnus S3 Unesa Surabaya.
Sumber Esai: antaranews.com
Previous