Pagelaran Drama; Garda Unjuk Kreativitas Mahasiswa
Lampu ruangan telah dipadamkan. Sorot cahaya memancar dari berbagi penjuru. Siang itu, pementasan drama yang diselenggarakan pada Senin (9/1) di Graha Saraswati STKIP PGRI Ponorogo, mendapatkan sambutan hangat dari seluruh penonton. Tiga drama berjudul Tubuh karya Ruly Riantiarno, Jathil Pujowati karya Intan Ayu Permatasari, dan Tresna Sesidheman karya Luki Irma dan Avindo digelar serempak sebagai hasil dari luaran mata kuliah apresiasi drama.
Suprapto, dosen pengampu mata kuliah tersebut, menyatakan kebanggan terhadap karya pertunjukan bersama mahasiswa tercintanya dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Prodi Pendidikan Bahasa Jawa angkatan tahun 2020. Pihaknya mengaku disamping penampilan yang menarik, kualitas berkarya perlu diiringi dengan pribadi yang baik dalam keseharian. Lebih dari itu, menurutnya drama adalah cerminan hidup yang diambil dari realita kehidupan. Besar harapannya setelah berpentas di panggung, mahasiswa nanti bisa lebih memiliki semangat untuk berkarya. Selain itu yang tak kalah penting adalah tetap menyeimbangkan antara nilai seni dengan nilai-nilai religius.
“Awal tahun ini, semoga menjadi semangat baru yang dapat kita pertahankan dan kita kembangkan dengan apresiasi nyata, terima kasih atas kekompakan dan semangatnya. Sehingga pagelaran berjalan sukses dan lancar,” ungkapnya.
Naskah-naskah drama yang digelar merupakan karya dari mahasiswa sendiri. Diiringi oleh grup pengrawit dari Diwangkara dan kerjasama dengan Teater Wakamandini STKIP PGRI Ponorogo, masing-masing mahasiswa yang menjadi aktor, bermain sepenuh rasa sesuai dengan perannya. Sebagai contoh, pertama, naskah drama berjudul Tubuh karya Ruly Riantiarno. Menurut Suprapto, petuah istimewa yang dapat diambil dari drama tersebut bahwa manusia sudah ditakdirkan sebagai laki-laki atau pun perempuan, sebagai manusia harus menjaga dengan sebaik-baiknya dari segala hal baik atau hal buruk karena akan membinasakan tubuh itu sendiri.
Diwawancarai secara terpisah, Ruly Riantiarno yang baru memenangkan International Poetry Writing dalam Festival Mursal Esten 2022 merasa senang dengan pementasan tersebut. Pihaknya juga menjadi salah satu pemeran dalam drama Jathil Pujowati sebagai Abah bersama Afifah Shinta.
“Drama hanya berpura-pura, alhamdulillah saya bisa memerankannya. Ini kegiatan yang bagus dalam mata kuliah apresiasi drama, kedepannya semoga dapat menjadi pemicu pementasan-pementasan lain yang diwadahi UKM Teater Wakamandiri dan UKM Tari Merak Ukel,” ungkap Afifah Shinta.
Drama Jathil Pujowati karya Intan Permatasari, membawa lokalitas daerah Ponorogo dengan menarik. Wacana yang dibangun berkaitan dengan budaya. Kebudayaan adalah milik bersama, kebudayaan merupakan kekayaan, dan melestarikan budaya menjadi sebuah keharusan. Drama tersebut memberikan petuah menarik, mengingat latar belakang Intan sendiri adalah seorang pembarong wanita.
“Budaya yang lestari akan menjadi pertahanan bersaing sampai internasional. Melestarikan budaya sebagai bukti cinta terhadap negara,” tutur Suprapto.
Berkaca dari realita sosial yang dialaminya, Intan memaparkan bahwa naskah dramanya terinspirasi dari banyak cerita. Saat itu, bukan hanya jathil saja yang sempat dilarang, melainkan juga pembarong, pengganong, dan pemain reyog. Tetapi, ia mengambil jathil sebagai tokoh utama dalam karyanya karena menyesuaikan dengan pementasan drama berskala kecil. Di samping itu, ia juga tertarik dengan perubahan penari jathil yang dulunya seorang laki-laki, menjadi seorang perempuan. Isu-isu tentang busana penari jathil yang pernah menjadi pro kontra turut menarik perhatiannya.
Tia Agustin, penari jathil yang dilarang oleh orang tuanya, membuat penonton terkesima. Kemarahan keluarga yang tercermin dari bentakan seorang ayah yang mencintai anaknya merupakan replika kehidupan nyata yang selaras dengan gambaran Intan dalam karyanya. Bentakan demi bentakan sebagai bentuk penjiwaan terhadap tokoh, sekaligus membawa makna penting bahwa setiap anak memiliki pilihan masing-masing yang layaknya perlu didukung orang tua. Lebih dari itu, wacana besar yang diambil Intan juga menggiring penonton untuk mencintai budaya nenek moyang dan menghilangkan stigma negatif tersebut.
Drama ketiga berjudul Tresno Sesidheman karya Luki Irma dan Avindo. Drama ini menceritakan tentang seseorang yang mencintai diwaktu yang tidak tepat. Di wawancarai secara terpisah, Suprapto menjelaskan bahwa drama tersebut memberikan makna yang dalam, khususnya terhadap kehidupan yang segala sesuatunya dilandasi cinta, namun cinta yang berlebihan dan penuh nafsu dapat membuat petaka orang itu sendiri. Pihaknya menjabarkan bahwa mencintai sesuatu harus ada pada kadar sewajarnya. Terdapat kemuliaan dunia, yakni tahta, harta, dan wanita yang senantiasa membuat terlena, alih-alih menerbitkan kebahagiaan perburuan terhadapnya justru mengantarkan kesengsaraan.
“Jangan sampai mencintai orang yang sudah mempunyai anak istri, karena nantinya dapat menjadikan dosa dan merusak pager ayu. Di drama tersebut saya merasakan benar-benar menjadi wanita yang rendah saat mencintai orang yang telah menikah,” ungkap Dwi Handayani, pemeran tokoh Roro.
“Tresna kuwi ora kudu nduweni, cinta itu sebuah keikhlasan biarlah berakhir sesuai dengan ketentuan-Nya,” tutur Suprapto dengan candanya.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah karena telah memberikan ruang untuk mahasiswa dapat praktik dan tidak hanya mendalami teori. Semoga ini dapat menjadi bekal kreatif, karena tantangan kedepan guru Bahasa Indonesia yang multitalenta akan menjadi lebih berharga,” ujar Cutiana Windri Astuti, Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
“Saya sangat mengapresiasi semangat mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa untuk berproses dan berkarya sehingga materi yang mereka dapatkan dalam mata kuliah Drama Jawa semakin bermakna,” kata Fitriana Kartikasari, kaprodi Pendidikan Bahasa Jawa.
“Saya gembira, tahun ini pagelaran drama kembali hadir dengan tema dan pemeran yang keren,” pungkas Adelya, mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa.
Pagelaran drama selesai. Ditutup dengan riuh tepuk tangan dan sesi foto bersama. Para penonton keluar ruangan dengan kelegaan masing-masing. STKIP PGRI Ponorogo yang memiliki banyak mahasiswa multitalenta telah memberikan ruang penuh untuk berekspresi.
Pewarta: Yeni Kartikasari
Himaprobsi Aksara