Kembur Sastra: Prof. Setya Yuwana Sudikan Mengulik Karya Fenomenal Arafat Nur
Pada Minggu, (12/03). Acara kembur sastra dibuka dengan doa dan sambutan oleh Sutejo selaku pemilik Istana Pustaka Spectrum Center. Sutejo memperkenalkan Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.Pd. (ketua Senat Unesa Surabaya) yang merupakan guru dan mentornya, di mana sosoknya selama ini mampu mengolah jiwnyaa. “Bahwa belajar itu harus jungkir balik, bahwa belajar itu harus keras”, tutur Sutejo.
Pihaknya menerangkan bahwa Prof Yu, panggilan akrab Prof.Dr. Setya Yuwana, M.Pd merupakan guru yang keras terhadap murid-muridnya. Keras yang dimaksud tidak lain soal prinsip hidup dan kepenulisan. Sutejo juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Arafat Nur yang menemuh jarak 40 km jauhnya untuk menghadiri acara Kembur Sastra “Sebuah acara kolaborasi Forum Lingkar Pena dan juga Himpunan Mahasiswa Penulis STKIP PGRI Ponorogo,” tambahnya.
Penulis yang pernah mendapat penghargaan Diva Press 2021, juga penulis Novel Dunia Kecil yang Riuh itu menyambut semua peserta dengan senyuman hangat. Kembur Sastra kali ini mengupas bagaimana cara memelihara dan membangun semangat menulis. “Karya-karya tulis yang hebat berasal dari tekanan yang hebat pula, dan itu banyak terlahir dari ketidakadilan,” begitulah pesan Prof Yu.
Kondisi tekanan di Aceh tempat Arafat Nur waktu itu, mampu memproduksi karya-karya yang hebat dan diakui oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Konflik di Aceh dioleh Arafat menjadi karya yang fenomenal dan tentu menjadi idola banyak orang. ‘Jadi, berangkat dari keresahan akan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita,” tambah Prof Yu.
Dalam menulis, apapun itu kita berperan sebagai pejuang. Di Aceh banyak kejadian di luar nalar kita, banyaknya pelanggaran HAM terutama ketiak adanya DOM (Daerah Operasi Militer) di era kepemimpinan Soeharto. Sastrawan besar itu lahir dari kondisi-kondisi yang berat. Contohnya kita juga bisa belajar dari Pramoedya Ananta Toer yang pernah mengalami kondisi hidup sangat berat, di mana ia mesti menjalani hidup sebagai tahanan politik, berangkat dari hal itu akhirnya dia bisa melahirkan karya-karya yang hebat, cerita Prof Yu.
“Belajar harus melalui proses yang panjang dan melelahkan. Menjadi penulis sukses itu perlu perjuangan, kejadian-kejadian di Aceh itulah yang menginspirasi Arafat Nur untuk menulis, sehingga inspirasi itu bisa datang dari mana saja,” ungkapnya.
Menariknya Prof Yu pernah mengelola Keluarga Penulis Semarang. Seluk-beluk tentang penulis dan karyanya pun banyak ditemukan. Antar penulis, selayaknya hidup bermasyarakat saling bahu-membahu membangun kebersamaan antar penulis. “Kebersamaan dan semangat itulah yang perlu kita bangun bersama saat ini. Nama kita akan dikenang kalau kita menulis. Jadi, anda semua harus menulis, semangat menulis karya-karya hebat,” Pungkasnya.
Menjaga semangat berkarya perlu untuk dilakukan, mengirim karya baik ke media cetak maupun online. Terlebih bagi mahasiswa yang baru menenuki dunia kepenulisan. Dahulu, Majalah Horison menjadi primadona bagi para penulis. Mekipun tidak terlalu laku tapi ketika sebuah karya dikomentari oleh H.B. Jassin maka karya tersebut dan nama penulisnya akan terangkat pula. Sekarang majalah Horison sudah berbuah ke online tentu memiliki kesempatan besar untuk bisa berkarya di sana. “Adek-adek jangan mudah menyerah, teruslah bergerak. Karena dunia ini kedepannya akan diisi oleh orang-orang yang menulis, tidak hanya karya sastra”. Prof Yu kembali menyampaikan nasehat jitunya.
Sementara Arafat Nur merasa tersanjung dengan kedatangan Prof Yu. Sosok professor, peneliti, dan penulis buku termuka mau menjadi objek karya-karyanya untuk diteliti. “Saya sangat tersanjung dan tidak pernah membayangkan karena seorang Profesor mau meneliti karya-karya saya. Saya sering lupa siapa saya, saya bahkan lupa bahwa saya itu seorang penulis”. Ujar Arafat Nur.
Menurut Arafat Nur, menulis itu berawal dari keresahan-keresahan bahkan sempat tertangkap oleh para pembaca di dalam sebuah novelnya. Pihaknya menulis dengan keadaan marah, resah dengan ketidakadilan yang terjadi di lingkungan tempat ia tinggal, di Aceh. Resah dengan adanya perang saudara yang dikenal dengan DOM. Saat itu Soeharto menetapkan Aceh sebagai daerah yang tidak aman. Dengan ketetapan itu militer diberi kewenangan, yang akhirnya disalahgunakan. Ketika kekuasaan diberikan kepada pihak militer banyak kekerasan terjadi di mana-mana. Selain memberantas pemberontak Aceh Merdeka, banyak warga sipil yang menjadi korban, terutama perempuan.
Banyak pemerkosaan terjadi, terutama kepada anak-anak dibawah umur. “Harga nyawa saat itu lebih murah daripada harga seekor ayam,” ujar Arafat Nur. Banyak yang dihukum tanpa adanya alasan yang jelas dan tertulis. Alat kelamin disetrum, Ibu dan Anak disuruh berhubungan badan di depan para tentara, banyak sekali lahir anak-anak haram kala itu. Hal-hal tersebut membakar hati Arafat Nur untuk menuliskan keresahan dan amarahnya dalam karya-karyanya.
Arafat Nur memulai karirnya sebagai penulis sejak masih mejadi mahasiswa, saat itu masyarakat Aceh lebih banyak memilih belajar untuk merakit senjata dan menggunakan senjata-senjata perang. Ia memulai karirnya dengan menjadi seorang wartawan di sebuah penerbitan koran. Kemudian mencari cara agar tetap bisa menuliskan kegelisahannya lewat menulis novel dengan kondisi politik saat itu. “Tujuan saya menulis adalah untuk menyampaikan, Dalam 40 hari ia menghasilkan Novel Percikan Darah Di Bunga. Novel ini memerlukan nafas yang panjang,” papar Dosen STKIP PGRI Ponorogo itu.
“Saya membuat karya-karya sastra saya dengan bahasa yang mudah. Saya berprinsip bahwa dengan bahasa simpel karya itu dapat tersampaikan maksudnya dengan baik kepada para pembaca,” tuturnya. Untuk menyeleksi ide-ide tulisan kita, bahan pengetahuan itu harus lebih banyak dibanding hasil karya nanti. Intinya kita jangan sampai terihat bodoh atau mengada-ngada di dalam karya tulis kita”, begitulah tips dari Arafat Nur. Contohnya, pada karyanya Flying Bird in Night Net, Arafat menuturkan bahwa bahannya sebelum menulis lebih tebal daripada jumlah halaman novelnya.
Disampaikan dalam Kembur Sastra saat itu, cara merawat kepenulisan yaitu dengan banyak membaca, selain itu juga bisa lewat berkomunikasi dengan teman. Bergaul dengan siapa saja. Kemanapun itu bisa menjadi inspirasi. Karena ketidakadilan itu bisa terjadi di mana saja. Dari keluarga, sekolah, masyarakat, dll. Trend tulisan sekarang ini kebanyakan tentang perubahan iklim dan HAM. Sebagai mahasiswa dan penulis muda harus menggali lagi inspirasi-inspirasi dari hal-hal di sekeliling, salah satunya dari ketidakadilan.
Pewarta: Nosa Retno Palupi Utami
(Mahasiswi PBSI 2022 STKIP PGRI Ponorogo)