Pergolakan Diri di Balik Kemenangan Cerpen Solu Erika Herwanda
Prestasi Solu Erika Herwanda dalam menulis semakin hari semakin terlihat. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) STKIP PGRI Ponorogo itu kembali memenangkan lomba menulis cerpen. Minggu lalu (18/5), Solu berhasil menyabet juara 3 lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh PC IPPNU Kabupaten Banyuwangi. Lomba yang diselenggerakan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional itu diikuti oleh 46 peserta.
“Saya menulis cerpen ini dalam kondisi perasaan yang kurang nyaman karena masalah keluarga. Saya harus melakukan relaksasi berulang-ulang untuk mengusir rasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu saya lawan dan akhirnya saya bisa menyelesaikan cerpen sesuai batas waktu yang telah ditentukan,” ungkap mahasiswa semester 4 itu.
Pengalaman bergulat dalam dunia menulis, terutama cerpen memberikan kontribusi baginya. Mahasiswa yang akrab dipanggil Solu itu sering mengikuti lomba menulis cerpen. Berbagai gelar juara pun berhasil diraihnya. Solu pernah menjadi juara 1 lomba menulis cerpen Universitas Widya Mandala, juara 1 lomba menulis cermin di penerbit sarasayubooks community, juara 2 lomba cerpen di ae publishing, juara harapan lomba cerpen di FSPH kota Tasikmalaya, dan juara harapan 1 lomba menulis cerpen di Porsenasma IV PT PGRI di Kediri.
Melalui cerpen-cerpen yang ditulis Solu ingin menyampaikan pesan-pesan kebajikan yang barangkali kerap luput dari pemikiran masyarakat. Dalam lomba menulis cerpen PC IPPNU Banyuwangi itu Solu mengirimkan cerpen berjudul Tidak Ada Pelajaran Hari Ini. Solu butuh waktu tiga hari untuk menyelesaikan cerpennya tersebut. Ide penulisan cerpen itu bermula ketika salah satu dosennya merekomendasikan film The Ron Clark untuk ditonton sebagai tugas mata kuliah Teknik Kreativitas Pembelajaran.
Cerpen Tidak Ada Pelajaran Hari Ini berkisah tentang perjuangan seorang guru muda yang baru mengajar, tidak dihormati, dan disepelekan oleh anak didiknya. Dalam pengemasannya, Solu menghadirkan dua tokoh beda agama: tokoh perempuan (Martha) non muslim dan (Rokhim), teman kuliah Martha—seorang guru ngaji. Dua tokoh itu sesungguhnya adalah simbol toleransi di Indonesia.
“Melalui cerpen dengan tema pendidikan ini saya ingin menyampaikan bahwa menjadi guru itu tidaklah mudah. Seorang guru haruslah pandai-pandai melakukan pendekatan dengan anak didik agar terbangun relasi yang baik antara keduanya. Guru harus berbaur dan menyatu dengan anak didik. Jangan sampai ada sekat yang justru menjauhkan guru dengan anak didiknya,” tuturnya.
Bagi Solu, keikutsertaannya dalam lomba menulis cerpen kali ini menyadarkannya bahwa jika kita memiliki kesungguhan dalam mengejar suatu keinginan dengan tenang maka hasil tidak akan mengecewakan. Kita hanya butuh niat dan kemauan yang keras. Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri bukan orang lain ataupun hal lain.
“Cerpen ini mengajarkan saya tentang bagaimana mengendalikan diri dan mengelola waktu. Setelah ini saya berharap bisa lebih semangat menulis lagi dan lagi. Sebab, menulis itu butuh konsistensi,” pungkasnya. []
Pewarta: Sri Wahyuni_Tim Humas.