Tahta dan Cinta di Balik Topeng Wayang dalam Pagelaran Drama Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo
Drama pada esensinya adalah gambaran kehidupan masyarakat. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat bisa menjadi inspirasi cerita dalam naskah drama. Hal inilah yang diterapkan mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo dalam menulis naskah drama. Dalam mata kuliah Apresiasi Drama yang diampu Dr. Suprapto, M.Pd. mahasiswa diwajibkan untuk membuat naskah drama dan mementaskannya.
Bertempat di Gedumg Graha Saraswati, Sabtu (18/1), mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Angkatan 2022 melakukan pementasan drama. Selain itu, ada pula penampilan musikalisasi geguritan dari mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa (PBJ) Angkatan 2022. Pagelaran drama ini merupakan luaran dari mata kuliah Apresiasi Drama. Pagelaran ini disaksikan oleh mahasiswa dan segenap civitas academica STKIP PGRI Ponorogo.
“Sebagai luaran mata kuliah, pementasan drama ini diharapkan dapat memberikan stimulus bagi teman-teman mahasiswa untuk timbul empati dan simpati. Dengan adanya pementasan drama teater dan musikalisasi geguritan ini bertujuan untuk memberikan dedikasi, hiburan, dan kesempatan pada mahasiswa untuk berkreasi, menyalurkan bakat dan kemampuan mereka dalam seni berdrama sebagai cermin realitas sosial,” tutur Suprapto, dosen pengampu mata kuliah sekaligus pembimbing teater Wakamandini STKIP PGRI Ponorogo.
Dalam pagelaran dengan tema ‘Tahta dan Cinta di Balik Topeng Wayang’ tersebut ada dua naskah drama yang berhasil dilakonkan dengan luar biasa. Pertama, naskah Pasung Selaras karya Adelya Wulandari PBSI 2022 B; Kedua, naskah Segoro Kawelasan Tresno karya Dwa Gezle PBSI 2022 A. Sedangkan dari mahasiswa PBJ 2022, ada musikalisasi geguritan karya Anisa dan Anugrah. Tiap-tiap naskah memiliki ide penulisan yang berbeda dan sarat akan nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai itulah yang diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang menontonnya.
“Naskah Pasung Selaras terinspirasi oleh Marsinah, buruh pabrik yang dibunuh karena menegakkan keadilan. Saya terinspirasi membuat tokoh perempuan yang pemberani dan pantang menyerah dalam menegakkan keadilan. Meski, perjuangan itu berakhir dengan kematian, tetapi Laras yakin suara perjuangan itu tidak akan pernah padam, akan selalu hadir manusia-manusia pemberani lainnya yang siap bertaruh dalam menegakkan kebenaran,” ujar Adelya.
Sementara itu, Dwa Grezle terinspirasi untuk menulis naskah drama bertema tradisional. Pada akhirnya, dia membuat naskah drama yang terinspirasi dari cerita rakyat Suminten Edan.
Unjuk kemampuan di hadapan teman-teman mahsiswa dan civitas academica, para pemain lega tuntas tampil maksimal di atas panggung. Intan Permatasari, mahasiswa sekaligus pemain di lakon Pasung Selaras merasa bangga bisa berpartisipasi dalam pagelaran drama. Banyak pengalaman baru yang didapat. “Penampilan ini benar-benar menjadi tantangan sekaligus pembelajaran bagi saya. Mulai dari mengatur penampilan, diri, dan emosi untuk hanyut dan totalitas dalam peran.”
Di akhir, Suprapto selaku dosen pembimbing menyampaikan apresiasinya bagi para mahasiswa yang sudah tampil. Pihaknya merasa senang dan bangga dengan capaian teman-teman mahasiswa.
“Besar harapan saya, mudah-mudahan pementasan ini bisa menumbuhkan jiwa empati dan simpati mahasiswa. Sebagaimana dalam puisi Peringatan karya Wiji Thukul yang ada dalam cerita Pasung Selaras: seseorang harus bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, saling peduli, saling membantu. Bukan hanya menuruti keinginan dan kesombongan sesaat, namun dengan cinta murni yang suci untuk menggapai cinta murni seperti dalam drama Segoro Kawelasan. Ketulusan cinta bersama orang yang dicintai dengan keromatisan walau jalan tidak selalu mulus sebagaimana dalam geguritan karya Anisa dan Anugrah. (Red/Yun_Humas).
Next