Geliat Budaya dari Desa Talesan: Kisah Grup Karawitan Sesepuh yang Menolak Menyerah pada Zaman

Di tengah hiruk pikuk modernisasi yang semakin menguat, sebuah cahaya harapan bagi pelestarian budaya tetap bersinar terang di Desa Talesan. Pada rabu malam (12/2), alunan gamelan yang mengalun dari kediaman Bu Siyem menjadi saksi bagaimana sesepuh desa dengan gigih mempertahankan warisan leluhur. Suara merdu yang memecah keheningan malam ini hanya mengundang keingintahuan mahasiswa KKN-T.
“Ketertarikan dan bakat dasar warga dalam seni karawitan sudah ada sejak dulu,” ungkap Bu Siyem, yang tidak hanya berperan sebagai tuan rumah tetapi juga salah satu sinden andalan grup. Menurut penuturannya, potensi inilah yang kemudian mendorong pemerintah desa untuk memberikan dukungan nyata berupa seperangkat alat gamelan pada tahun 2019. “Pemberian alat gamelan ini menjadi momen penting bagi kami untuk semakin serius dalam melestarikan budaya,” tambahnya.
Dalam setiap sesi latihan, grup yang didominasi oleh bapak-bapak ini menunjukkan keterampilan yang mengagumkan. Jari-jemari mereka yang sudah dimakan usia tetap lincah menari di atas berbagai instrumen gamelan. Dari larasan slendro hingga pelog, dari saron hingga demung, setiap instrumen dimainkan dengan penuh penghayatan. Harmoni yang tercipta semakin sempurna dengan hadirnya tiga sinden, termasuk Bu Siyem, yang mengisi dengan tembang-tembang klasik penuh makna.
Dedikasi grup ini terbukti dari konsistensi mereka menggelar latihan dua kali seminggu. Setiap malam Kamis dan malam Minggu, mulai pukul 20.30 hingga menjelang tengah malam, rumah Bu Siyem berubah menjadi sanggar seni yang hidup. Meski latihan dijalani dengan serius, suasana tetap hangat dan penuh keakraban. Saat jeda latihan, para anggota berkumpul menikmati suguhan teh hangat dan camilan sambil berbagi cerita dan pengalaman. Momen-momen seperti ini justru memperkuat ikatan di antara mereka.
“Bagi kami, ini bukan sekadar hobi,” ujar salah satu anggota. “Ini adalah tanggung jawab moral untuk menjaga warisan leluhur agar tidak hilang tertelan zaman.” Semangat mereka dalam berlatih seolah menjadi bantahan atas anggapan bahwa kesenian tradisional akan tenggelam di era digital.
Kehadiran mahasiswa KKN-T pada malam itu memberikan dimensi baru dalam perjalanan grup karawitan ini. Antusiasme para mahasiswa dalam mengamati dan mengapresiasi latihan menjadi bukti bahwa jembatan antargenerasi dalam pelestarian budaya masih terbentang kokoh.
Fenomena grup karawitan Desa Talesan ini menjadi contoh nyata bagaimana pembangunan desa tidak melulu soal infrastruktur fisik dan ekonomi. Aspek budaya dan kearifan lokal justru menjadi fondasi penting yang memperkuat identitas dan kebanggaan masyarakat desa. Dukungan pemerintah desa melalui pemberian alat gamelan telah membuka jalan bagi tumbuh kembangnya kesenian tradisional di tengah masyarakat.
Lebih dari sekadar grup kesenian, mereka adalah penjaga warisan budaya yang tak kenal lelah. Di tangan sesepuh Desa Talesan ini, karawitan bukan hanya bertahan hidup, tetapi juga berkembang menjadi kebanggaan komunitas. Dedikasi mereka menjadi pengingat bahwa usia bukanlah penghalang untuk terus berkarya dan menjaga warisan leluhur.
Ketika ditanya tentang harapan ke depan, Bu Siyem menjawab dengan optimis, “Kami berharap anak-anak muda juga akan tertarik untuk belajar karawitan. Pintu rumah ini selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar dan melestarikan budaya.” Semangat dan keterbukaan seperti inilah yang menjadi kunci bertahannya kesenian tradisional di tengah gempuran modernisasi.
Melalui dedikasi mereka, Desa Talesan membuktikan bahwa modernisasi dan tradisi dapat berjalan beriringan. Alunan gamelan yang rutin menggetarkan malam-malam di desa ini bukan sekadar bunyi-bunyian, melainkan simbol perlawanan terhadap kepunahan budaya dan tekad untuk mewariskan kekayaan tradisional kepada generasi mendatang.
Pewarta: Fadillah Nur Fatiechah dan Juri Mulyani
Next