Menghidupkan Seni Bertutur Jawa, Mahasiswa KKNT Kelompok 12 Gelar Workshop Panatacara

Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, keberadaan budaya lokal semakin menghadapi tantangan besar. Budaya Jawa, yang kaya akan nilai dan filosofi, perlahan mulai tergeser oleh perkembangan teknologi dan pengaruh budaya luar. Menyadari pentingnya pelestarian budaya, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Terpadu (KKNT) kelompok 12 STKIP PGRI Ponorogo mengambil langkah konkret dengan mengadakan Workshop Pelatihan Panatacara yang bertempat di Aula Balai Desa Joho pada Kamis, 20/02. Kegiatan ini diikuti oleh kelompok masyarakat dan anggota Karang Taruna Desa Joho yang antusias untuk belajar dan mengasah kemampuan mereka dalam seni bertutur Jawa.
Kepala Desa Joho, Bapak Suwarno, menyambut baik inisiatif ini. Beliau menekankan pentingnya menjaga kelestarian budaya Jawa agar tidak luntur di tengah perkembangan zaman. “Bahasa Jawa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur kita. Sayangnya, saat ini semakin sedikit generasi muda yang mau menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Oleh karena itu, pelatihan seperti ini menjadi langkah strategis untuk menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap budaya kita sendiri,” ujarnya.
Panatacara dalam budaya Jawa memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, tedak siten, hingga acara resmi lainnya. Seorang panatacara tidak hanya bertugas sebagai pembawa acara, tetapi juga harus mampu menyusun kata dengan bahasa yang sopan, indah, dan penuh makna.
Workshop ini menghadirkan dosen program studi Pendidikan Bahasa Jawa dari STKIP PGRI Ponorogo, Bapak Suroto Rosyd Setyanto, M.Hum, sebagai pemateri utama. Dalam pemaparannya, beliau menekankan bahwa suara adalah aset utama seorang panatacara. “Panatacara harus memiliki suara yang jelas, intonasi yang tepat, dan kemampuan merangkai kata yang baik. Lebih dari itu, juga harus memahami nilai-nilai adat dan norma kesopanan dalam masyarakat Jawa,” tuturnya. Beliau juga menambahkan bahwa menjadi panatacara bukan hanya soal berbicara, tetapi juga seni dalam menyampaikan pesan dengan penuh penghormatan.
Workshop ini tidak hanya membekali peserta dengan keterampilan teknis dalam berbahasa dan bertutur, tetapi juga menanamkan rasa bangga terhadap budaya sendiri. Banyak peserta yang sebelumnya menganggap panatacara sebagai sesuatu yang kuno, kini mulai melihatnya sebagai bagian penting dari identitas budaya yang perlu dijaga.
Meski acara ini berlangsung sukses, tantangan pelestarian budaya Jawa masih cukup besar. Banyak generasi muda yang lebih tertarik dengan budaya populer dari luar negeri atau budaya digital yang lebih modern. Hal ini membuat penggunaan bahasa Jawa yang halus dan baku semakin jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, adanya inisiatif dari mahasiswa KKNT ini menjadi titik terang dalam upaya melestarikan budaya. Bapak Suwarno, berharap kegiatan seperti ini bisa terus berlanjut dan melibatkan lebih banyak anak muda. “Kami berharap setelah pelatihan ini, para peserta dapat mengaplikasikan ilmunya dalam berbagai kegiatan di desa. Jika semakin banyak pemuda yang tertarik menjadi panatacara, maka budaya ini tidak akan punah,” imbuhnya.
Workshop panatacara yang digelar oleh mahasiswa KKNT kelompok 12 di Desa Joho menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bisa dilakukan dengan cara yang menarik dan edukatif. Dengan melibatkan generasi muda dalam kegiatan seperti ini, diharapkan mereka dapat menjadi agen perubahan yang terus menjaga dan mengembangkan budaya Jawa.
Dunia boleh terus berkembang, tetapi identitas budaya harus tetap dijaga. Upaya kecil seperti pelatihan panatacara ini bisa menjadi langkah awal untuk membangkitkan kembali kecintaan terhadap bahasa dan budaya Jawa di tengah derasnya arus modernisasi.
Previous