Warisan Kebudayaan “Turni” Sebagai Pemersatu Budaya dan Agama di Desa Talesan

Wonogiri, 7 Februari 2025 – Di tengah arus modernisasi yang kian pesat, Desa Talesan, Purwantoro, Wonogiri, tetap teguh menjaga tradisi dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu bukti nyata dari kelestarian budaya ini adalah keberadaan “Turni”, sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suara kentongan sebagai tanda kabar duka. Tradisi ini masih dijalankan oleh masyarakat setempat hingga saat ini sebagai bagian dari sistem sosial yang menghubungkan warga satu dengan lainnya.
Pada 3 Februari 2025 lalu, pukul 14.50, suara “Turni” menggema di penjuru desa, menandakan bahwa salah satu warga telah berpulang. Suara kentongan ini sontak menghentikan aktivitas sebagian besar warga yang kemudian berbondong-bondong menuju rumah duka, termasuk para mahasiswa anggota kelompok 15 Kuliah Kerja Nyata Terpadu (KKNT) STKIP PGRI Ponorogo yang sedang bertugas di desa tersebut. Mereka turut serta dalam prosesi pemakaman sebagai bentuk kepedulian sosial sekaligus upaya mendekatkan diri dengan masyarakat setempat.
Sejalan dengan ajaran Islam, prosesi pemakaman dilakukan dengan tata cara yang telah ditetapkan, seperti mengkafani jenazah laki-laki menggunakan lima lembar kain kafan. Namun, meskipun unsur keislaman kental dalam prosesi ini, masyarakat Desa Talesan tetap mempertahankan beberapa tradisi dan mitos yang sudah ada sejak lama. Salah satu di antaranya adalah menyalakan lilin di atas kepala jenazah, yang dipercaya dapat menerangi perjalanan arwah menuju alam akhirat. Selain itu, beberapa warga juga meletakkan duri serta tumbuhan mengkudu atau yang sering disebut dengan bentis oleh masyarakat jJawa, ke dalam sebuah mangkuk yang diyakini sebagai jimat keberuntungan yang dapat menghindarkan keluarga yang ditinggalkan dari kesialan.
Menariknya, meskipun tradisi ini terus berlangsung dari generasi ke generasi, tidak semua warga benar-benar memahami makna dan tujuan dari ritual yang mereka jalankan. Seorang ibu yang menghadiri acara takziah, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa dirinya hanya meneruskan kebiasaan yang telah dilakukan para leluhur. “Kami hanya melaksanakan apa yang dilakukan oleh pendahulu kami. Sebenarnya kami juga tidak tahu ini untuk apa,” ujarnya singkat.
Menanggapi fenomena ini, para mahasiswa KKNT memilih untuk menghormati dan tidak mempertanyakan lebih lanjut mengenai kepercayaan tersebut, sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya dan tradisi yang masih mengakar kuat di masyarakat. Tradisi-tradisi seperti ini menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat Desa Talesan mempertahankan warisan budaya mereka di tengah derasnya arus modernisasi, menjadikannya sebagai identitas dan bagian dari harmoni antara agama dan kearifan lokal yang terus terjaga.
Pewarta: Elita Ulya Falani