S. Sigit Prasojo: Menyuarakan Kegelisahan dengan Menulis Puisi

Sigit Prasojo, mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo kembali meraih prestasi dalam lomba menulis puisi. Sebelumnya, Sigit berhasil meraih Juara 1 pada ajang “GEBYAR PRESTASI DAN KREATIVITAS 2025” yang diadakan Universitas Pelita Bangsa. Kali ini ia kembali meraih gelar juara 1 dalam ajang Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional dalam rangka kegiatan Pekan Seni Nasional 2025. Lomba ini diadakan oleh Universitas Halu Oleo sebagai bagian dari rangkaian kegiatan sastra nasional yang mereka selenggarakan. Lomba yang dihelat sejak tanggal 26 April sampai 22 Mei itu diikuti oleh seluruh mahasiswa dari berbagai daerah.
Ritual Tanah dalam Elegi Esok adalah judul puisi Sigit yang berhasil mengantarkannya menjadi juara pertama. Puisi ini berbicara tentang kegelisahan rakyat kecil yang kerap terpinggirkan dalam sejarah dan pembangunan. Ia menyuarakan luka sosial—dari ketidakadilan ekonomi, ketimpangan akses pendidikan, hingga janji-janji nasionalisme yang terasa hampa di tengah realitas yang getir. Meski demikian, puisi ini juga membawa harapan—bahwa dari luka-luka itulah, cinta pada negeri bisa tumbuh kembali, lebih jujur dan membumi.
“Ide puisi ini lahir dari kegelisahan saya terhadap kondisi sosial di sekitar: harga pangan yang naik, janji politik yang tak kunjung ditepati, hingga suara rakyat yang sering kali tak terdengar. Semua itu saya rangkum dalam bahasa puitis sebagai bentuk kritik sekaligus cinta terhadap tanah air. Butuh waktu 2 minggu untuk menyelesaikan puisi ini termasuk proses membaca ulang dan revisi halus,” paparnya saat diwawancarai penulis.
Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa itu merasa bersyukur sekaligus terharu sebab karyanya menjadi yang terbaik. Meskipun begitu, ia sepenuhnya menyadari mengikuti lomba bukan hanya sekadar juara tetapi tentang bagaimana sebuah suara yang lahir dari kegelisahan personal sehingga bisa menyentuh nurani pembaca dan juri.
“Kemenangan ini mengingatkan saya bahwa puisi masih memiliki tempat dalam menyuarakan kenyataan, dan saya harus terus menulis dengan kesadaran yang jujur dan bertanggung jawab. Ke depan, saya akan menulis dengan lebih disiplin, membaca karya-karya besar untuk memperkaya perspektif, dan tentu saja menggali lebih dalam tentang sejarah, sosial, dan budaya sebagai sumber puisi. Saya ingin membawa puisi-puisi saya tidak hanya ke panggung lomba, tapi juga ke ruang-ruang yang lebih luas—tempat puisi bisa menjadi suara yang menggerakkan.”
Sebagai mahasiswa—yang suka menulis sejak semester 3—besar harapannya agar teman-teman mahasiswa tidak ragu untuk mulai berkarya. Menulis, mencipta, atau berinovasi adalah bentuk ekspresi diri yang paling jujur. “Jangan tunggu sempurna, jangan tunggu waktu luang—karena setiap proses kreatif adalah bagian dari pertumbuhan. Kita semua punya cerita, dan tugas kita adalah menyampaikannya, bukan menyembunyikannya. Semoga semakin banyak mahasiswa yang tergerak untuk berkarya, bukan hanya untuk prestasi, tapi juga untuk menyuarakan zaman,” ungkapnya dengan penuh harap. (Red/Yun_Humas)