Ketika Sigit Prasojo Menulis Cerpen: Merekam Zaman, Menyuarakan Nurani

Cerpen ini ditulis dalam suasana marah yang tenang. Saya sadar bahwa kemiskinan dan ketidakadilan bukan sekadar data—mereka adalah wajah-wajah yang saya temui setiap hari. Ketika tulisan ini akhirnya diapresiasi, saya merasa beban itu dibagi, meski sedikit.”
Itulah kalimat unik S. Sigit Prasojo yang melekat di benak penulis ketika mewawancarainya beberapa waktu yang lalu. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa (PBJ) STKIP PGRI Ponorogo itu baru saja mendapatkan penghargaan dalam dunia literasi. Sigit—sapaan akrabnya—meraih juara III Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh PT Arus Pedia Creative 2025. PT Arus Pedia Creative sendiri merupakan sebuah penerbit dan penyelenggara event literasi berbasis di Jawa Timur.
Lomba tersebut diselenggarakan secara daring sejak tanggal 15-30 Juni dan pengumuman pemenang pada 7 Juli lalu. Sebanyak 1.400 peserta dari seluruh Indonesia mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum turut memeriahkan lomba tersebut.
Negeri di Atas Meja Siap Saji adalah judul cerpen yang ditulis Sigit untuk lomba tersebut. Cerpen ini menyuguhkan satir sosial tentang kemiskinan struktural dan ironi pembangunan. Berlatar di sebuah warung kecil, narasi mengalir dari sudut pandang anak pemilik warung yang menyaksikan langsung bagaimana kemiskinan hanya dijadikan data oleh elite, bukan kenyataan yang benar-benar dipahami. Cerita ini menyoroti bagaimana rakyat kecil kerap diundang untuk mewakili ‘semangat nasional’ tetapi tidak benar-benar diajak duduk setara di meja kenyataan.
“Cerpen ini lahir dari keresahan saya terhadap disparitas sosial dan kemunafikan sistemik dalam birokrasi. Saya terinspirasi oleh realitas sehari-hari di sekitar saya, di mana orang-orang yang paling bekerja keras justru kerap jadi simbol—bukan subjek pembangunan. Saya ingin menciptakan narasi yang puitis sekaligus menggugat”, papar mahasiswa semester 4 tersebut.
Sigit memerlukan waktu 6 hari untuk membuat draf awal, yang kemudian berlanjut ke proses revisi serta penghalusan diksi selama 4 minggu. “Tidak ada campur tangan pihak lain dalam proses penulisan maupun penyuntingan. Semua keputusan dan proses penulisan saya lakukan sendiri, sebagai bagian dari kemandirian kreatif saya sebagai penulis.”
Disela-sela wawancara terkait lomba, mahasiswa yang suka menulis sejak semester 3 itu mengungkapkan kelegaannya, pasalnya STKIP PGRI Ponorogo memberinya ruang untuk berpikir bebas dalam berkarya. Hal ini merupakan bentuk dukungan paling penting bagi dirinya sebagai penulis. Sigit berharap mahasiswa-mahasiswi lain juga semangat berkarya. Tidak perlu menunggu ilham atau waktu luang untuk mulai berkarya.
“Menulis adalah cara kita merekam zaman dan menyuarakan nurani. Tak harus sempurna—yang penting jujur dan berani.” (Red_Yun/Humas)