Kunjungi Rumah Budaya Kalimasada; Ngaji Kekuatan Kartomarmo dan Tulisan yang Sakti
Kamis, (10/08) rombongan Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) menapakkan kaki di Rumah Budaya Kalimasada milik Bagus Putu Parto sang penggerak revitalisasi sastra pedalaman di Blitar, Jawa Timur. Rombongan yang terdiri dari pengurus, anggota, dan pembina HMP ini sampai di lokasi pukul 08.15 setelah menempuh perjalanan lebih kurang 4 jam.
“Pada dasarnya ilmu itu akan lebih baik kalau dicari bukan diberi,” ungkap Sutejo saat memberi pengantar forum bertema Bincang Proses Kreatif Sastrawan dan Menggali Jiwa Kewirausahaan.
Tidak kurang 15 anggota HMP ikut dalam kegiatan itu. Penyambutan hangat pun dirasakan para anggota setibanya di kediaman rumah yang bernuansa Jawa Klasik—Modern itu. Sepanjang kaki menyusur rumah, perabotan bernuansa budaya yang kental tampak menyita perhatian. Lelah di sepanjang perjalanan bagai dibayar lunas saat memasuki sebuah ruang santai yang langsung berhadapan dengan kolam renang. Di sana, para anggota dan pengurus berfoto-foto ria memanfaatkan miniatur-miniatur yang ada sebagai latar belakang pose mereka.
“Saya sengaja membiarkan kalian semua menjelajah ini tadi agar menikmati atmosfer di sini, maka tadi saya sempat menyuruh kalian untuk berkeliling, berfoto, sesuka hati kalian,” ucap Bagus Putu Parto kepada Wilda, salah satu pengurus HMP.
Pada forum itu, Bagus Putu Parto membeberkan rahasianya yang ia sebut sebagai spirit doktorandus Kartomarmo dan juga jalan sunyi yang ia tempuh untuk berada di posisi saat ini. Kartomarmo sesungguhnya ialah tokoh wayang yang tidak begitu terkenal. Bagi kebanyakan orang, memilih tokoh pewayangan pastilah yang terkesan ksatria, tetapi itu tidak berlaku bagi Dramawan alumnus teater Institut Seni Indonesia itu. Ia juga menyebut tindakan yang dilakukan ini selain spirit Kartomarmo juga sebagai jalan sunyi yakni sebuah konotasi dari pilihan yang ia putuskan sendiri.
Sebuah pertanyaan muncul dari Solu Erika Herwanda, mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus wakil ketua HMP itu mengenai bagaimana menjadi Kartomarmo versi perempuan, begini jawab Bagus Putu, “Satu perlu usaha. Apa saja yang bisa dilakukan, lakukan. Nanti akan ada jalan Tuhan,” pungkasnya.
Forum berjalan lancar hingga tak terasa 4 jam waktu berlalu. Sebagai penutup, Sutejo selaku pembina Himpunan Mahasiswa Penulis menyampaikan bahwa seorang penulis harus mampu bertanggung jawab dengan apa yang ditulis. Tulisan itu akan terjadi di kemudian hari. Lalu, Bagus Putu Parto juga setuju akan hal ini, nyaris seluruh karyanya lahir dari sebuah peringatan yang harmonis. Di antaranya, antologi puisi Di Pelaminan Angin Berbisik, Biografi Tepung, KM 0, yang merupakan pengadopsian dari peristiwa-peristiwa yang harmonis. Karya yang dibuat saban perayaan ulang tahun, ulang tahun perkawinan, ataupun perkawinan itu sendiri.
“Jangan bermain-main dengan tulisan, kalau tulisan itu rumit bisa jadi jalan hidupmu nanti juga akan rumit. Jika sudah menuliskan itu, berarti juga harus berani mempertanggungjawabkan itu.” Tutup Sutejo yang sangat disepakati oleh Bagus Putu Parto.
“Teman saya menulis cerita tentang seorang anak yang tak punya telinga, kini anaknya pun demikian. Maka dari itu saya sangat berhati-hati dengan tulisan,” Pungkasnya. Dari pemaparan dua tokoh yang telah berlayar jauh di samudra tulis menulis, bisa disimpulkan bahwa sebuah tulisan itu ialah sakti.
Pewarta: Adelya Wulandari dan Solu Erika Herwanda
Editor: Humas