Industri ke Pengrajin Patung Loro Blonyo, Pak Wagiman Beri Hadiah Spesial untuk Kenang-kenangan

Kenteng, 8 Februari – Hari keenam Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo diisi dengan kunjungan industri ke tempat pengrajin patung Loro Blonyo milik Pak Wagiman. Dalam kunjungan ini, mahasiswa tidak hanya belajar tentang filosofi patung Loro Blonyo, tetapi juga menyaksikan langsung proses finishing khas Pak Wagiman, yaitu teknik “retak seribu” yang memberikan efek retakan antik pada patung.
Patung Loro Blonyo sendiri merupakan simbol keharmonisan rumah tangga dan keberkahan dalam keluarga. Produk ini banyak diminati sebagai pajangan rumah, terutama oleh kolektor seni dan pecinta budaya Jawa.
Pak Wagiman menjelaskan bahwa ia tidak melakukan proses pemahatan sendiri. Patung dasar dibuat oleh pengrajin lain yang ahli dalam seni pahat kayu, kemudian dikirim kepadanya untuk tahap penyelesaian akhir.
Setelah proses pahatan selesai, patung melalui proses pembakaran terlebih dahulu sebelum masuk ke tahap finishing.
“Patung yang baru dipahat masih memiliki serat-serat kayu kasar dan sisa serbuk pahatan. Jadi, sebelum dihaluskan, patung dibakar ringan dulu supaya sisa pahatan hilang dan kayunya lebih kuat,” jelas Pak Wagiman.
Pembakaran ini dilakukan dengan api kecil agar tidak merusak bentuk patung, tetapi cukup untuk menghilangkan serat-serat kayu yang masih menempel. Setelah itu, patung diampelas hingga permukaannya benar-benar halus dan siap untuk di finishing.
Keunikan patung buatan Pak Wagiman terletak pada teknik finishing yang disebut “retak seribu.” Teknik ini menghasilkan efek retakan kecil di permukaan cat, memberikan kesan antik dan klasik pada patung.
“Saya pakai obat khusus sebelum mengecat, supaya saat kering, catnya akan retak-retak kecil. Ini yang bikin patung terlihat lebih tua dan punya nilai seni lebih tinggi,” ungkap Pak Wagiman.
Setelah proses dasar selesai, patung dicat menggunakan warna-warna khas seperti emas, merah, hitam dan hijau. Pewarnaan dilakukan dengan hati-hati untuk mempertahankan detail dan memberikan kesan mewah. Terakhir, patung diberi lapisan pernis agar lebih tahan lama dan warnanya semakin menonjol.
Mahasiswa tampak antusias menyaksikan langsung proses ini. Beberapa di antaranya bahkan mencoba mengaplikasikan cat dan melihat bagaimana efek retakan mulai muncul setelah mengering.
“Awalnya saya kira retakannya karena catnya rusak, ternyata memang disengaja dan justru bikin patung kelihatan lebih berkelas,” ujar Nanda, salah satu peserta KKN.
Dalam sesi diskusi, Pak Wagiman juga menceritakan bagaimana cara pemasaran patung Loro Blonyo sebelum dan sesudah pandemi COVID-19. Sebelum pandemi, ia rutin melakukan pengiriman ke Bali dan Yogyakarta, bahkan sebulan sekali ia pergi sendiri ke Bali untuk mengantarkan langsung pesanan serta menjalin kerja sama dengan pelanggan.
“Dulu sebelum corona, saya sebulan sekali ke Bali untuk kirim pesanan dan cek langsung kebutuhan pelanggan di sana. Tapi setelah corona, semua berubah. Saya tidak bisa ke sana lagi, jadi sekarang kirimnya lewat JNT saja,” ungkapnya.
Meskipun pengiriman kini dilakukan secara online, Pak Wagiman tetap berusaha menjaga kualitas produknya agar pelanggan tetap puas. Ia juga mulai memanfaatkan media sosial dan marketplace untuk memperluas jangkauan pasarnya.
Saat mahasiswa KKN hendak berpamitan, Pak Wagiman tiba-tiba membawa sesuatu yang mengejutkan. Dengan senyum hangat, ia menyerahkan sepasang patung Loro Blonyo kepada mahasiswa sebagai kenang-kenangan.
“Ini buat kalian. Supaya nanti kalau sudah selesai KKN, tetap ingat sama desa ini dan pengalaman yang kalian dapat di sini,” kata Pak Wagiman sambil menyerahkan patung tersebut.
Mahasiswa yang menerima hadiah itu tampak terharu. Mereka tidak menyangka akan mendapatkan kenang-kenangan spesial dari Pak Wagiman, yang selama ini dikenal sebagai pengrajin berpengalaman dengan hasil karya berkualitas tinggi.
“Terima kasih banyak, Pak! Kami pasti akan selalu ingat pengalaman berharga di sini,” ujar salah satu mahasiswa dengan penuh rasa syukur.
Kunjungan ini menjadi pengalaman berharga bagi mahasiswa KKN STKIP PGRI Ponorogo. Selain memahami proses produksi, mereka juga belajar bagaimana industri kerajinan tradisional beradaptasi dengan perubahan zaman, serta merasakan langsung keramahan dan kebaikan hati seorang pengrajin yang peduli terhadap generasi muda.
Dengan kegiatan ini, mahasiswa semakin memahami pentingnya melestarikan budaya lokal agar tetap bernilai ekonomi tinggi.
Pewarta : Avrelia Dwi Saputri, PBI 22 (Mahasiswa KKNT Desa Kenteng)
Previous