NU dan Toleransi Masyarakat
Tanggal 31 Januari 2017, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 91 tahun. Usia yang bisa dikatakan cukup tua seiring dengan perjuangannya menegakkan agama Islam. NU merupakan salah satu ormas Islam yang didirikan pada 31 Januari 1926. Nama itu diusulkan oleh K.H. Alwi Abdul Aziz dan diresmikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari.
NU bukanlah ormas Islam pertama di Indonesia tetapi NU adalah ormas Islam yang memiliki pengikut terbesar di Nusantara ini. Pengikutnya kebanyakan berbasis masyarakat tradisional yang direpresentasikan oleh masyarakat pesantren. Dengan adanya hubungan hierakis antara kyai, santri, dan masyarakat pada umumnya, NU menjelma menjadi wadah untuk menyebarkan ajaran Islam secara damai dan merata.
Sebagaimana dijelaskan di atas, NU memiliki pengikut terbesar diantara ormas-ormas Islam lainnya. Pada tahun 2013, menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) jumlah pengikut NU atau biasa disebut Nahdliyin berjumlah 86,4 juta orang. Dengan jumlah pengikut yang sebesar itu, maka tidak heran jika NU memiliki peran yang besar pula di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Namun, semakin tua umur sebuah organisasi jelas semakin banyak tantangan yang diterima NU, baik dalam kehidupan beragama, berbangsa, maupun bermasyarakat. Salah satunya adalah lemahnya toleransi antarsesama. Toleransi secara etimologi berarti sikap tenggang rasa atau menghargai. Sedang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi mempunyai arti sifat atau sikap menghargai, membiarkan, dan membolehkan pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya meskipun hal itu berbeda dengan pendiriannya sendiri.
Akhir-akhir ini, masyarakat kita sikap toleransinya mulai terkikis. Sikap menghargai dan menghormati antarsesama sangat lemah, bahkan hampir tidak ada. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kepribadian NU. Dalam kehidupan bermasyarakat, NU menegaskan sikap toleransi atau tasamuh sebagai sikap yang pertama harus diaplikasikan. Kemudian disusul dengan tawasuth, i’tidal, tawazun, dan amar makruf nahi munkar.
Toleransi dalam NU, berarti NU bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah agama, masalah kemasyarakatan, dan kebudayaan. Muara sikap toleransi ini adalah terciptanya kesepahaman antargolongan untuk saling memiliki semangat kebersamaan untuk menerima perbedaan di antara masyarakat yang plural atau majemuk.
Sikap toleransi tersebut juga diaplikasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya pada masa kepemimpinan K.H.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pada masa itu Gus Dur menegaskan masyarakat Indonesia untuk memiliki sikap toleransi setinggi-tingginya. Dengan begitu, kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan dengan indah dan damai.
Ironinya, saat ini masyarakat Indonesia sangat lemah toleransi antarsesamanya. Sebagaimana yang kita ketahui, akhir-akhir ini banyak kejadian yang bertujuan memecah belah persatuan Indonesia. Setiap ada pemikiran atau pendapat baru yang tidak sesuai dengan pemikiran mereka, maka mereka akan menghakimi bahwa itu salah. Kemudian terjadi perdebatan dan saling memojokkan hingga akhirnya berujung dengan perpecahan. Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka melakukan perpecahan itu atas nama agama.
Hal itu merupakan salah satu tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Salah satu tujuan masyarakat Indonesia adalah menjadi negara yang maju, mampu berdiri tegak, dan disegani oleh dunia Internasional. Lalu, bagaimana Indonesia bisa berdiri tegak kalau toleransi antarmasyarakat mulai luntur?
Bangsa Indonesia tidak akan mampu berdiri tegak tanpa adanya toleransi yang tinggi antarsesama. Persatuan dan persaudaraan yang kokoh adalah kunci utama kemajuan bangsa Indonesia. Tanpa toleransi mustahil bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju dan disegani oleh dunia Internasional. Untuk mewujudkan semua itu, bangsa Indonesia harus bertindak tegas dalam menyikapi semua tantangan yang ada. Hal itu dapat dilakukan dengan memupuk toleransi antarsesama. Hal itu harus dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya pemerintah ataupun masyarakat tetapi juga organisasi masyarakat, salah satunya NU.
Lalu, di mana NU dengan Islam moderatnya? Sikap toleransi itu sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan sangat berbahaya jika toleransi antarsesama mulai menghilang. Rasa persaudaraan dan persatuan akan terkikis jika toleransi tidak dijaga dengan benar. Perbedaan agama, etnis, ras, suku, adat, budaya, dan pulau bukan penghalang untuk kita saling menghargai. Sesuai dengan semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
NU sebagai ormas Islam terbesar yang terkenal dengan sikap ramahnnya, inilah tantangan NU dalam rangka menciptakan toleransi yang tinggi antarsesama masyarakat. Sesuai dengan motto Harlah tahun ini “Menciptakan Islam yang Damai dan Toleran”, semoga di umurnya yang hampir satu abad ini NU mampu menghadirkan solusi untuk masalah itu. Sehingga masyarakat kita mampu beragama dengan baik, dengan membina, memupuk dan menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi antarsesama.
***
Penulis: Sri Wahyuni, Mahasiswa STKIP PGRI PONOROGO.
Sumber: Duta Masyarakat edisi 2 Februari 2017.
https://duta.co/nu-dan-toleransi-masyarakat/