Bakat Bukan Segalanya
Leila S Chudori mengungkapkan bahwa bakat menulis merupakan hal penting, tapi bukan yang terpenting. Bakat ini memang memiliki peran penting dalam pengembangan kemampuan menulis. Bagi orang yang mempunyai bakat, kegiatan merangkai kata adalah hal mudah. Membaca adalah sarapan sehari-hari dan berimajinasi adalah pengantar tidur. Bakat akan menjadi tidak penting, bahkan sia-sia apabila tidak diasah dan dibiarkan terdiam dalam tubuh kita. Akan tetapi, bagaimanakah dengan orang-orang yang tidak memiliki bakat menulis namun ingin menjadi penulis?
Tak perlu berkecil hati, jikalau tidak dianugrahi bakat menulis. Sebab hakikat menulis sesungguhnya lebih ditentukan oleh seberapakah kita melatihnya, bukan ada bakat atau tidak. Karena keterampilan ini bisa ditumbuhkan. Masalahnya, bagaimana jika minim bakat? Ibarat benih padi yang mulanya hanya satu, bisa menjadi banyak ketika ditanam, dipupuk, dirawat dan terus diairi.
Akhirnya padi tumbuh subur, semakin tua semakin menguning dan menunduk, seperti orang yang tidak memiliki bakat menulis. Bakat ini bisa dimulai dari benih niat yang ditanam dalam hati. Setelah ada niat, tentunya juga harus diiringi dengan kerja nyata. Kerja nyata dengan membiasakan diri selalu rutin menulis tentang apapun. Bila perlu paksakan. Selalu meluangkan waktu, meski hanya sebentar. Jangan dulu memikirkan apakah tulisan itu bagus atau tidak, yang penting menulis dan terus menulis.
Sama halnya dengan padi, menulis juga memerlukan pupuk. Dalam hal ini, pupuk yang digunakan dalam menyuburkan bakat menulis adalah membaca. Semakin rutin membaca, semakin subur pula bakat menulis. Bacaan yang berkualitas dan bervariatif akan menambah pengetahuan untuk bahan menulis yang lebih baik, sehingga semakin meningkatlah hasil tulisan. Kemudian bakat yang mulai subur, haruslah selalu dirawat dengan terus berlatih, dan dihindarkan dari hama yang mengancam. Hama berupa bisikan rasa malas dan pikiran-pikiran negatif tentang menulis. Dengan bekerja keras dan terus mencoba, semakin tumbuh subur bakat menulis, semakin lama akan terlihat pula hasil dan akan dipetik dengan suka cita.
Namun terkadang calon penulis sudah terlanjur phobia dengan kata-kata yang ada dalam pikirannya bahwa “menulis butuh bakat”. Hal semacam inilah yang sebenarnya menjadi penghambat. Menulis itu tidak perlu bakat, tapi atmosfer yang bisa memotivasi untuk terus menulis. Bergaul dengan penulis juga dapat dijadikan motivasi. Belajar dari mereka akan menambah keyakinan bahwa menulis itu tidak sesulit yang dibayangkan apabila mau terus berlatih dan berlatih. Sering mengikuti program pelatihan menulis dan menggunakan media sosial seperti facebook, blog ataupun twitter untuk menulis juga bisa bermanfaat untuk menciptakan atmosfer kepenulisan.
Ranah kepenulisan yang sudah yakin ingin digeluti harus dibarengi dengan istiqomah dalam pelaksanaanya. Memegang komitmen untuk terus menulis walau saat tak ingin menulis. Membiasakan diri untuk selalu membaca, karena membaca adalah menu wajib bagi calon penulis hebat. Kegelisahan karena tak memiliki bakat menulis harus ditepis jauh-jauh.
Putu Wijaya, seorang pengarang dari Bali pernah berkata “faktor bakat berpengaruh tidak lebih dari 5%”. Faktor bakat hanya perpengaruh sangat kecil dalam proses kepenulisan. Sedangkan 95% lebih lainnya sangat dipengaruhi oleh kemauan, ketekunan dan kerja keras. Kerja keras dan berusaha tanpa henti untuk memperbaiki diri menuju kesuksesan sejati.
Sebenarnya banyak juga penulis handal yang tidak mempunyai background menulis, seperti Andrea Hirata, Opick, Eni Kusuma. Mereka pegawai, penyanyi dan bahkan TKW tapi mereka juga menulis. Mereka tidak mengetahuai tentang teori menulis yang baik, namun karya mereka juga tak kalah dengan penulis yang mempunyai bakat menulis. Andrea Hirata dengan ketiga novel Laskar Pelangi, Pemimpi dan Endersor misalnya, pada akhirnya menjadi bestseller. Opick yang mulanya seorang penyanyi juga merambah ke dunia kepenulisan dan meluncurkan buku dengan judul Oase Spiritual dalam Senandung (2006). Yang tak kalah mengejutkan adalah Eni Kusuma, seorang TKW lulusan SMA juga menulis buku, Anda Luar Biasa! (2007). Mereka adalah orang-orang yang mampu menggunakan apa yang ada disekitarnya untuk diolah menjadi tulisan. Tak dapat dipungkiri, ketika ada kombinasi kemauan, ketekunan dan kerja keras, setiap orang bisa mencapai puncak pertumbuhan bakat kepenulisannya.
Dunia kepenulisan tidak memandang siapa diri kita dan bagaimana kondisinya. Menulis hanya perlu proses tidak bisa secara instan. Nikmati prosesnya. Jangan terlena dengan kenyamanan lain. Buatlah diri kita nyaman dalam dunia kepenulisan, karena belajar menulis tidak terbatas oleh tembok, semua terbuka lebar di depan mata kita. Tak perlu berfikir apakah tulisan kita disukai atau tidak. Tulisan yang disukai orang lain bukan parameter tulisan yang baik tapi seberapa berguna tulisan kita bagi orang lain adalah kebanggaan terbaik. Maka teruslah berkarya.
Akhirnya, bakat menulis tidak menjamin kesuksesan seseorang dalam dunia kepenulisan, apabila bakat ini dibiarkan mengendap tanpa diasah. Namun siapa saja yang mempunyai kemauan, kesadaran, ketekunan, kerja keras, dan tekad yang kuat bisa menjadi penulis yang handal. Sabar dan optimis dalam melewati prosesnya, karena kesempatan untuk meraih kesuksesan dari dunia kepenulisan terbuka lebar untuk kita.Teruslah menulis, menulis dan menulis. Teringat akan kata-kata Sutedjo, “menulis itu bisa karena biasa”. Lalu, masih takutkah untuk menulis? (*)
Penulis: Iin Rismawati, Mahasiswa PBSI 2015 STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo
Sumber: Jawa Pos, Radar Ponorogo edisi Senin 26 September 2016