Pendidikan: Tidak Sesingkat Cerita Mukidi
Seorang filosof terkenal Tiongkok kuno, Confucius, mengatakan:
Jika rencanamu untuk 1 tahun ke depan, maka tanamlah padi.
Jika rencanamu untuk 10 tahun ke depan, tanamlah pohon.
Jika rencanamu untuk 100 tahun ke depan, didiklah anak-anak.
Pepatah ini rupanya yang diterapkan oleh negara bernama Cina untuk membangun negaranya. Bagaimana jika pepatah ini juga diterapkan untuk generasi kita, bangsa Indonesia? Wah, tentu jawabannya rmacam-macam. Mungkin ada yang sepakat dan keberatan. Sejak awal, Cina sudah dikenal sebagai negara dengan segudang pengetahuan. Bahkan, dalam sebuah hadist disebutkan agar belajar sampai ke negeri Cina, iya kan? Jadi tidak ada salahnya mengambil nilai positif dan esensi dari pepatah kuno tersebut.
Secara implisit, sang filosof menekankan bahwa pendidikan itu bukan suatu proses yang singkat. Berbeda dengan dua proses yang diilustrasikan sebelumnya. Jika menanam padi di negara kita, tidak sampai setahun, cukup hanya 4 bulan sudah bisa panen. Singkat bukan? Menanam pohon juga sangat tergantung dengan jenis dan varietasnya. Tetapi ya tidak sampai ratusan tahun untuk layak tebang. Nah, sekarang bandingkan dengan hasil pendidikan. Sembilan tahun dididik (wajib belajar), ehh hasilnya ya tidak bisa dipastikan kapan bisa dirasakan.
Pendidikan itu butuh waktu. Ya prosesnya, ya manfaatnya. Menanam padi saja butuh waktu untuk panen. Apalagi pendidikan. Kalau mau jujur lagi, pendidikan itu tidak secepat cerita Mukidi menjadi viral loo. Begitu dihembuskan, direspon, di-share, jadi deh akhirnya tenar instan. Dimana-mana kemudian namanya disebut, dari masyarakat awan, sampai negarawan. Tapi, tunggu dulu, berapa lama cerita itu akan menduduki puncak tangga rating dunia medsos. Sebulan? Setahun?
Banyak orang sebenarnya menyadari bahwa pendidikan itu penting. Fakta ini dapat dilihat dari banyak hal. Misalnya dari sibuknya orang tua dan calon siswa mendaftar pada sekolah tujuan pada saat penerimaan siswa baru. Apalagi di sekolah atau kampus favorit, wahh luar biasa peminatnya. Para orang tua juga banyak yang khawatir kalau-kalau anaknya tidak diterima di sekolah/kampus tujuan. Hal ini tentu sangat manusiawi. Lebih riil lagi, statistik nasional pendaftar sekolah yang dari tahun ke tahun tidak beranjak turun, tetapi sebaliknya.
Sekarang coba diperhatikan, kenapa sih proses pendidikan itu butuh waktu untuk berproses. Pertama, pendidikan itu menabur benih moral (karakter). Dia tidak bisa diamati secara kasat mata. Bentuk fisiknya tidak jelas, dan terkadang sulit untuk dijelaskan. Mestinya, hal ini berimplikasi pada pembentukan karakter anak sejak dini di sekolah. Misalnya siswa SD kelas rendah, kelas 1-3, pola pendidikan yang diterapkan harus menekankan pada pembentukan karakter dan sikap. Contohnya, dengan melatih kedisiplinan, kerja keras, dan kesantunan. Hal seperti ini ternyata sudah diterapakan oleh Jepang sejak lama. Anak sekolah dasar kelas rendah betul-betul dibentuk karakternya pada usia emas perkembangan. Pada tahap ini, karakter dan sikap perlu jadi prioritas, ketimbang sisi kognitif.
Kedua, pendidikan itu menyemai semangat, kepercayaan diri, motivasi, dan keteladanan. Keempat hal tersebut bukan bawaan orok, bukan pula keajaiban. Keempatnya harus disemaikan pelan-pelan. Tidak bisa instan dan harus konsisten. Menyemaikannya bukan pekerjaan mudah dan murah.
Ketiga, pendidikan itu menanam dan menumbuhkan kepekaan, empati, dan simpati. Kepekaan siswa terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan merupakan aspek sosial yang besar untuk kehidupan bermasyarakat. Karena dengan kepekaan, seseorang akan menjadi pribadi yang mampu merespon cepat dinamika jaman. Kepekaan seseorang sejatinya memengaruhi rasa empati dan simpati yang dimiliki. Semakin peka seseorang, semakin besar rasa empati dan simpati yang dimiliki. Empati merupakan kemampuan sesorang merasakan, mengalami, menempatkan diri sebagaimana yang orang lain alami dan rasakan.
Keempat, pendidikan itu mengolah karsa, rasa, dan cipta. Karsa adalah pendorong jiwa untuk berkehendak, berniat. Mengolahnya berarti memastikan bahwa segala niat, kehendak yang dilakukan selalu positif. Selanjutnya, segala rasa yang mengiringi menjadi penciri keluhuran seseorang. Mengolah cipta berarti mempertajam daya nalar. Muaranya adalah kreatifitas dan inovasi. Andaikan hal ini terwujud betul, wah betapa hebatnya bangsa kita. Inovasi di berbagai bidang, kreatifitas di segala sisi kehidupan. Tentu otak kita tidak akan lagi menjadi barang incaran pada bursa otak internasional, karena orisinilitasnya telah hilang. Saking seringnya dipakai untuk berpikir.
Kelima, pendidikan itu memberantas hama kebodohan dan gulma kesombongan. Kita tentu masih ingat betul salah satu tujuan nasional pendidikan kita. Tujuan yang termaktub dalam UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah berapa lama tujuan itu diamanatkan? 71 tahun lalu. Kenyataannya, sudahkah tujuan itu tercapai? Tampaknya, jawabannya perlu ditelisik lebih jauh. Faktanya, banyak orang dengan pendidikan tinggi justru semakin terlihat bodoh. Satu contoh, di negara kita para koruptor itu berpendidikan apa? Sepertinya tidak ada yang lulusan SD ya. Mereka terlibat korupsi, suap dan setumpuk kasus. Nah, itu bukti bahwa pendidikan belum menghilangkan kebodohan. Selain itu, mestinya pendidikan menjadikan seseorang seperti padi, semakin berisi semakin menunduk. Semakain berpendidikan, semakin dia rendah hati.
Penulis: Adip Arifin, M.Pd.
wakil ketua 1 STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel telah termuat di Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi September 2016