Seni dan Industri
Filosofi industri modern, menuntut sekecil mungkin biaya dan menghasilkan produk semurah mungkin, untuk merebut pasar (konsumen). Filosofi industri mutakhir, memberikan efek nikmat dan kemudahan, mengikuti aktualitas, berdaya guna tinggi, keterjangkauan, dan kemudahan untuk mendapatkannya. Siapkah seni memasuki dunia industry yang cenderung mengacaukan akal sehat? Sementara, sudut terindah dari seni, sesungguhnya adalah menyehatkan penikmat dan pelakunya.
Pendek kata, seni industri dekat dengan “filosofi pelacuran”, kenikmatan sesaat, kemudahan layanan, dan akses yang murah meriah tetapi berkesan dalam layanan. Hem.
***
Seni –apapun bentuk dan jenisnya—dalam konteks mutakhir, semakin tersudut oleh hasrat pragmatisme. Idealisme tergempur, terpinggirkan, dan tersingkirkan oleh ideologi besar bernama pragmatisme. Begitu banyak kasus, problem seni –dalam berbagai jenis—tersungkur oleh kebutuhan “industri”, yang seringkali tak berpihak pada pakem, estetika patokan seni, ataupun konsep dasar yang mendorong persalinannya. Masyarakat awam, hanya berideologi “kesenangan” tanpa berpikir pengorbanan untuk “pelanggengan nilai seni” di dalamnya. Padahal, filosofi seni yang massif dikenal adalah dulce dan utile (indah dan bermanfaat). Pemaknaan manfaat, tentu sesuai dengan jumlah kepala yang memaknainya.
Pengertian seni, sering dan umum dipahami sebagai hasil karya manusia yang indah, bisa dinikmati dan dirasakan, sehingga menimbulkan kesan tersendiri bagi para penikmat. Konon, dalam bahasa Sansekerta, seni berasal dari kata “sani” yang berarti pelayanan atau pemujaan. Ini, sesuai dengan mitologi zaman, bahwa seni dijadikan sebagai salah satu alat untuk acara-acara sakral seperti adat dan keagamaan. Kini, kedua kata, itu bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan. Pelayanan atau pemujaan, tergantung sudut penikmat dan pelakunya.
Ada pula yang bilang, seni berasal dari bahasa Belanda yaitu “genie” yang artinya luar biasa atau jenius. Jadi, pengertian seni menurut bahasa Belanda merupakan sebuah kemampuan luar biasa yang dibawa seseorang sejak lahir dan bisa dibagikan kepada orang lain yang ingin merasakannya. Dan, masih begitu banyak matra konsep dan pandangan seni, tetapi secara umum kita dipastikan sepakat bahwa ia merupakan unsur terdekat dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, mengerti atau tidak, waras atau tidak. Hem.
Demikianlah, maka seni sesungguhnya berurusan pula dengan aspek di luar diri “seni” itu sendiri. Ada fungsi yang digembalakan, ada manfaat yang diharapkan, ada nilai guna yang disematkan.
***
Secara umum, dikenal lima ragam seni: (i) seni lukis/rupa, (ii) seni musik, (iii) seni tari, (iv) seni teater, dan (v) seni sastra. Kelimanya, bermuara pada nilai, ekspresi, kegeniusan, kreativitas, inovitas, tujuan tertentu, manfaat tertentu, dan –tentu proses yang tertentu—pula. Kelima seni ini, memiliki ragamnya masing-masing, ideologi masing-masing, peran dan fungsinya masing-masing, dan beragam aliran masing-masing pula. Seni dengan sendirinya, adalah kehidupan itu sendiri. Nyaris, tak ada bagian kehidupan manusia yang terlepas dari seni. Sehingga muncul seni berumah tangga, seni bercinta, seni memimpin, seni memerintah, seni berkeluarga, seni bermasyarakat, seni pendidikan, seni politik, seni ekonomi, seni komunikasi, seni dakwah, seni berbicara, seni merayu, seni bercinta, seni menipu, seni membujuk, seni selingkuh, seni tertawa, seni tersenyum, seni menggoda, seni berkedip, seni pemasaran, seni berdagang, seni menyentuh hati, seni melayani pelanggan, seni bersosialitas, seni bermedia sosial, seni menulis, seni melukis, seni grafis, seni menyusun kalimat, seni budaya, dan sejuta lagi turunan “pasangan seni” yang –secara interdisipliner—kawin dengan bidang-bidang kehidupan umum.
Seni lukis/rupa misalnya, mengalami persoalan dasar –dalam menjaga dan taat pada aliran dan konsep yang ada—sementara kebutuhan masyarakat terhadap seni lukis/rupa, tertentu berbeda dengan “asalnya”. Di sinilah, maka pilihan hidup dan matinya seni rupa dihadapkan pada dua kutub: pasar atau ideologi seni. Seni lukis/rupa untuk seni, atau seni rupa untuk masyarakat. Seni rupa untuk ekspresi atau untuk koleksi. Seni rupa untuk marwah diri pelukisnya, atau untuk hedonisme penikmatnya. Seni rupa untuk pelukis dan komunitasnya, atau untuk pasar “modern” yang dimungkinkan untuk memanfaatkannya. Atau, bahkan untuk masyarakat luas sehingga terterima dan dapat diperjualbelikan bebas sebagaimana kebutuhan hidup lainnya.
Ketika seni rupa adalah wujud, maka ia adalah salah satu jenis seni yang berorientasi pada wujud. Beberapa unsur hasil seni (rupa) bisa menjelma: gambar, pahatan patung, lukis, kerajinan tangan, kriya, dan multimedia. Seni rupa merepresentasikan wujud yang dapat dirasakan oleh indera penglihatan serta peraba manusia. Medianya pun, karena itu, beragam. Wujudnya, beragam pula. Jika berbicara masalah waktu perjalanan seni rupa, maka sangatlah panjang: ada sejak zaman animisme dan dinamisme. Beragam fungsi, beragam peran, beragam tujuan. Ada yang spiritualitas-transendental, ada pula yang pada sederhana: pemuasan.
***
Sementara itu, problem lebih parah –sesungguhnya dialami oleh seni teater–. Begitu besar alat dan modal untuk mewujudkan, tetapi sisi komersialnya, berat untuk “dikembalikan”. Kita tahu, seni ini berfokus pada aspek peran atau akting. Seni teater, berdimensi sejak dari pembuatan naskah, pemahaman mendalami karakter beragam, penyeleksian pemain, pembuatan berbagai macam setting cerita, pemahaman intonasi suara, serta pemahaman rias karakter untuk peran yang didapat. Untuk bermain seni peran, dibutuhkan jiwa yang lebur dalam peran lain di luar dirinya.
Kecuali film-film (representasi seni teater) yang mampu merasuki bawah sadar hedonisme masyarakat, kesenangan purba, kebodohan, dan yang tak rumit dalam menyuguhkan “materi teater” film, yang cenderung terterima dan berdampak materi pada pelakunya. Kreativitas pemasaran, kemasan, dan menurunkan nilainya, barangkali akan menjadi pilihan dan tantangan tersendiri.
Seni teater–baik tradisional dan modern–, tentu memiliki tantangan yang berbeda. Khususnya, untuk seni teater tradisional macam ludruk dan ketoprak, nyaris mati dan segan untuk mampu hidup. Atau, sekadar untuk hidup, apalagi menghidupi pemainnya. Kecuali, mereka yang mampu kreatif dan bertransformasi dalam berbagai bentuk film picisan, yang hanya semakin membodohkan penonton atau penikmatnya. Bagi yang memiliki idealisme, tentu hal ini semakin sesak, dan menyesakkan. Sinetron sabun yang hanya memuaki pikiran waras untuk berimajinasi tentang kekayaan, kesenangan, pertengkaran, perselingkuhan, dan beragam jenis glamour hidup lainnya. Seni yang ideal, tentu, tak mengharapkan demikian.
***
Ada lagi, seni yang sering mendapat tempat paling banyak di masyarakat, yakni seni musik. Seni musik bermediakan bunyi sebagai unsur pertama dan utamanya. Dalam seni ini, kita akan belajar harmonisasi nada, melodi, dan notasi pada musik. Selain itu, penjiwaan ketika sedang memainkan (ataupun menikmati) seni musik juga sangat dibutuhkan agar pesan dari seni tersebut sampai dan bisa dirasakan oleh setiap pendengarnya.
Musik kreatif, dalam berbagai aliran misalnya, selalu memiliki pasar dan penggemar yang berbeda. Semua memiliki tantangan, hadangan, dan peluang yang berbeda. Pelaku seni musik, dipastikan telah memiliki konsep, arah, tujuan, dan perhitungan risiko dalam mengemasnya.
Musik-musik yang kreatif, tentu juga jauh dari apresiasi masyarakat umum. Sebutlah music-musik yang dihasilkan oleh Sujiwo Tedjo, kalah dengan musik dangdut koplo, yang memang memasuki bawah sadar masyarakat kelas bawah secara massif. Baik tema, lirik, dan kemasan eksotif yang seringkali menjadi pilihan utamanya. Bangsa dan masyarakat kita, rasanya tak membutuhkan “idealisme seni”, mereka hanya ingin “onani” atau “masturbasi” dari kepenatan psiko-sosial yang akut mengungkungnya.
***
Sementara itu, seni yang –sesungguhnya memasyarakat—adalah seni tari, tapi kemudian pelan-pelan tergusur oleh berbagai determinasi fungsi dan media kehidupan lainnya. Tetapi kemudian, seni ini pun bermetamorfosa dalam kepentingannya masing-masing, dan mengembangkan dirinya untuk tumbuh-dan-bertahan hidupnya masing-masing pula. Sebut misalnya, seni reyog –yang mengedepan tari—misalnya, kini tereduksi menjadi obyokan yang menonjolkan erotisme. Keluar pakem, untuk menggoda masyarakat bawah sehingga mendapatkan apresiasi libido penikmatnya.
Seni tari sendiri, salah satu ragam seni yang cara mengekspresikan menggunakan gerakan. Gerakan tubuh yang dihasilkan berfungsi untuk mengekspresikan keindahan dan sebagai media komunikasi. Setiap tarian memiliki pesan dan maknanya masing-masing. Seni tari, membutuhkan medan yang berbeda dengan seni lainnya, dan pasarnya pun, hemat saya tak seluas seni musik atau seni sastra yang lebih luwes dalam “pemasarannya”.
Banyak yang mengeluh, tetapi di media sosial –macam you tube—misalnya, justru yang mendapatkan apresiasi kunjungan, like, dan subscribe dengan jumlah yang tidak kecil. Pertanda apakah ini? Tentu, seni telah menjadi pelarian dari kepenatan hidup, bukan fungsi nilai yang terbersit di dalamnya. Tantangan? Pasti.
***
Seni sastra merupakan jenis seni yang menggunakan media bahasa sebagai alat penyampaian keindahan dan maknanya. Seni sastra sering berbentuk kata-kata ataupun tulisan, baik yang dituliskan ataupun disuarakan. Seni sastra, barangkali memiliki pasar yang jauh lebih luwes dibandingkan dengan seni rupa, tari, ataupun teater. Di balik memasyarakatnya seni sastra, tentu tak sebanding “nilai ekonomisnya” manakala disejajarkan dengan seni musik. Apalagi, yang memiliki media pemasaran yang jauh lebih massif dan modern.
Secara, humanitas, seni sastra memiliki pasar keterterimaan yang lebih dalam, mudah, dan gampang –sebagaimana seni musik–, dan pelakunya pun –hemat saya—jauh lebih banyak dan besar komunitasnya dibandingkan jenis seni yang lain.
Komunitas-komunitas sastra misalnya, tak terhitung di masing-masing tingkat kabupaten dan provinsi. Mereka memerjuangkan seni sastra sebagai ekspresi dan pemuasan diri. Jarang diantara mereka, yang berpikir bagaimana kemdian seni sastra dapat memberikan efek kehidupan bagi pelakunya. Kalaupun ada, sungguh tidaklah banyak. Sementara, yang terjadi para sastrawan ini terjebak pada kapitalisasi dengan posisi yang paling lemah sebagai kreator dengan royalti yang minim. Ironisnya, tanpa perlindungan dari dunia kejam bernama pembajakan!
***
Hidup Matinya Seni
Sekarang, yang jadi masalah di era digital untuk generasi milenial ini, adalah (i) bagaimana mengukuhkan identitas seni masing-masing, (ii) mampu memasarkan dan memenuhi selera konsumen seni, (iii) memiliki daya lesap atas pesan dan nilai adiluhung di dalamnya, (iv) menepis dampak negatif seni yang dimungkinkan terjadi, dan (v) survivalitas seni –berikut jenisnya—diharapkan mampu menghadapi tantangan zaman kekinian, yang penuh dengan disrupsi di segala bidang.
Menimbang kapitalisasi yang tetap membumi pada idealitas, sungguh bukan persoalan ringan, tetapi maha berat. Bukankah masyarakat kita tak terdidik, dan menyukai budaya instan yang murah, menggairahkan, dan memuaskan? Industrialisasi seni, ibarat mengarungi samudera lepas yang tanpa jaminan keamanan, di tengah laut seribu pembajak jahat siap menghadang, dan angina lautan pun tak bisa diprediksi keberadaannya. Karena laut itu adalah laut lepas, rimba raya air, yang tanpa polisi kehidupan yang mampu mengawalnya dengan baik. Bangsa ini telah kehilangan roh kebudayaannya, sehingga meletakkannya jauh di pinggir kehidupan. Sementara, politik telah memporandakan di segala sisi bidang kehidupan manusia. Politik telah menjadi panglima berperangi buruk yang berandil pula merusak mentalitas masyarakat.
Hidup matinya seni, hemat saya, sangat tergantung pada: (i) mentalitas pelaku seni, (ii) kemampuan kreatif dan inovatifnya, (iii) penguasaan pasar seni, (iv) kemampuan membangun jejaring (pelaku dan potensi konsumennya), (v) pemanfaatan media mutakhir sebagai senjatanya (fb, IG, twitter, you tube) dan (vi) keluwesan ideologi sehingga tetap berkarakter tetapi terterima dan “laku jual” di era milenial. Sebuah tantangan yang tak mudah, jika seni ingin tetap hidup dan mampu bersaing bersurban filosofi dan ideologi dasarnya.
Semua itu, tentu, visi dan misi pemerintah sangat berpengaruh atas hidup matinya sebuah seni di masyarakat. Masyarakat sok agamis misalnya, berpotensi mematikan seni (bahkan budaya). Sementara, seni juga tak boleh liar dan tanpa batas. Sikap kompromi dan dewasa pemerintah dengan kecerdasan visi berkebudayaan dituntut sehingga mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya segala jenis seni di daerahnya.
Pelaku seni jelas sadar –sesadar-sadarnya—bahwa seni memiliki beragam fungsi di masyarakat, baik fungsi individu maupun fungsi sosial. Secara individual, akan menerbitkan guna atas kebutuhan fisik dan emosional. Sebagai kebutuhan fisik, karena pelaku seni adalah makhluk pekerja. Pekerja seni, tentunya. Berdasarkan pengertian seni, seni diciptakan oleh manusia. Jadi, melalui seni manusia bisa menghasilkan sebuah karya indah hasil dari pengoptimalan fisik yang dimiliki. Fungsi fisik ini, tentu akan menuntut dan memberikan sejumlah hal yang bersifat fisik pula. Sementara itu, seni juga memiliki fungsi sebagai pemenuhan kebutuhan emosional.
Pengalaman manusia –baik negatif dan positif—adalah kekayaan bawah sadar yang menarik untuk dieksplorasi ke dalam seni. Setiap manusia memiliki pengalaman hidup berbeda yang turut mempengaruhi keadaan kejiwaan atau emosi masing-masing. Manusia dapat merasakan berbagai macam emosi seperti senang, sedih, marah, cemas, dan benci. Oleh karena itu, kehadiran seni bisa menjadi salah satu pendorong manusia berubah emosinya entah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Seni, harapannya, memberikan cermin besar yang senantiasa menyadarkan untuk menempuh jalan kembali pada emosi jernih yang diwariskan alam.
Tak heran, di dunia seni dikenal ada teori ekspresi, impresi, dan katarsis. Ketiganya bermuara pada persoalan emosionalitas. Karya seni itu ekspresi jiwa pelakunya dalam pandangan teori ekspresi. Bagi penikmat, dapat membayangkan ekspresi jiwa, pikiran, rasa, dan hati pelakunya. Merupakan hasil impresi (kesan) mendalam pelakunya, dari pandangan teori impresi. Sebaliknya, dapat mendatangkan impresi bagi penikmatnya. Sementara, teori katarsis berpandangan bahwa karya seni dapat memberikan efek plong jiwa kepada pelaku dan penikmatnya.
Lalu, dimanakah kita akan menjalankan fungsi demikian dalam kapitalisasi dan industrialisasi seni dalam konteks kenikian?
***
Selanjutnya, karena seni bukan saja bersifat individual, tetapi juga sosial; maka ia memiliki sejumlah fungsi sosial –yang seringkali tidak dirasakan oleh masyarakat. Adapun fungsi sosial seni itu dapat mencakupi: (i) fungsi komunikasi, (ii) fungsi keagamaan, (iii) fungsi hiburan, (iv) fungsi pendidikan, (v) fungsi artistik, (vi) fungsi guna, dan (vii) fungsi kesehatan (jiwa dan fisik). Wow, tentu siapapun kita akan menemukannya sendiri, kala bersentuhan langsung dengan karya seni.
Berangkat dari realitas inilah, maka pelaku seni dituntut memahami dirinya –sebagai pelaku seni—bawha (a) apakah konsep dan karakter seni yang dipilihnya, (b) bagaimana fungsi yang dipilih, dan bagaimana pula mendekatkan (berikut memasarkannya), dan (c) nilai guna dan manfaat apakah yang disodorkan kepada calon penikmat. Dengan kesadaran demikian, maka sebuah pilihan tertentu memiliki risiko yang berbeda dengan pilihan lainnya. Setiap perkembangan zaman, memiliki risiko pada hadapan pilihan berikut efeknya (baik buruknya).
Sebut misalnya, seni lukis dalam konteks mutakhir, dituntut untuk secara kreatif dan inovatif dalam pengemasan, pemasaran, dan pemuasaan jiwa calon penikmatnya. Dalam hukum pasar, apapun itu –termasuk seni–, maka akan dikenal semakin ekonomis dan memberikan efek guna, tinggilah yang akan mendapatkan tempat luas pada calon penikmat atau penggunanya.
Ragam pilihan seni lukis dalam kemasannya misalnya dapat dipikirkan: (a) melukis di beragam bahan, (ii) melukis di beragam kebutuhan “sandang” manusia seperti baju, kaos, sepatu, dan under wear, (iii) melukis untuk berbagai kebutuhan souvenir, dan (iv) melukis di segala perabot dan peralatan yang dibutuhkan manusia. Pilihan seni lukis sebagai ekspresi langsung senimannya, atau sekadar turunan sehingga menjadi hak paten pemiliknya adalah tantangan zaman yang nyata harus dipilih. Keluwesan melayani calon penikmat di satu sisi, adalah cara untuk mendekatkan seni lukis (rupa) dalam pagutan kapitalisasi; dan di sisi lain, bagaimana tetap karakter seni pilihan relatif bisa dipertahankan. Langsung ataupun tidak –maaf—jangan dipersoalkan.
Batik lukis misalnya, dengan batik mesin jelas memiliki kualitas yang berbeda. Tetapi, secara ekonomis jelas juga akan berbeda. Di sinilah, bagaimana yang harus dipikirkan misalnya, jika kita memasuki industri batik lukis: (i) patenkan lukisan utama, (ii) gandakan dengan mesin sehingga murah dan terjangkau, (iii) iringkan filosofi batik lukis yang diproduksi dengan filosofi pendek, (iv) kemas produk sejak bahan hingga pakaian jadi, (v) gunakan seoptimal mungkin media sosial sebagai jangkar pemasaran, (vi) gunakan jaringan semaksimal mungkin, (vii) manfaatkan kerumunan untuk memasarkan produk, (viii) buatlah brand yang kuat dan menggoda, (ix) ciptakan kemasan yang menarik dan eksotik, dan (x) berkorbanlah atas “nilai seni” yang memang harus memasuki “pasar mutakhir yang telanjang”. []
Bumi Ronggowarsito,
09.05
Sutejo
Ketua STKIP PGRI Ponorogo, Pelopor dan Penggiat Sekolah Literasi Gratis.