Menjadi Guru Literasi Inspirastif
Membaca dan menulis salah satu kewajiban yang diperintahkan Tuhan dalam Al-qur’an pada surat pertama yang berbunyi iqro. Pada ayat ke empat ditegaskan bahwa manusia diajarkan untuk menulis. Kegiatan membaca dan menulis disebut juga dengan literasi, hal ini sesuai dengan Deklarasi Praha tahun 2003 bahwa literasi mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Lebih jauh literasi secara filosofis bermakna kesadaran dan pemahaman manusia terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya (informasi, media, budaya, dan sebagainya) yang beralaskan bacaan dan tulisan.
Jika di sekolah kegiatan literasi menjadi sebuah program yang harus diikuti oleh semua warga sekolah mulai dari siswa, guru, tenaga kependidikan, orang tua/wali murid, komite sekolah, dan pengawas sekolah. Maka pendidikan akan semakin maju dan berkembang bahkan bisa jadi Indonesia menjadi barometer pendidikan dunia. Program literasi mungkin ini akan berjalan dengan baik. Selain itu menurut saya jika semua orang yang terlibat, ikhlas menjalankannya. Kegiatan ini sama halnya sebagai bentuk melestarikan budaya dan bahasa, yaitu budaya dan bahasa literasi Indonesia.
Namun ironisnya budaya literasi bahasa Indonesia sebagai identitas diri belum sesuai harapan kita semua. Generasi muda seolah kehilangan kepercayaan diri apabila tidak menggunakan budaya dan bahasa asing atau istilah yang dianggap gaul tapi tidak menggunakan kaidah yang mencirikan kepribadian bangsa. Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Benard S. Dangin, bahwa generasi muda sekarang lebih menyukai budaya instan dan menggilai hal-hal yang berbau asing seperti tulisan, cerita, film Korea, Jepang, Amerika yang dinilai bisa menggerus rasa nasionalisme. Karena itu, tantangan literasi kebahasaan kita adalah mengembalikan generasi muda kembali ke akar bangsa (Jawa Pos Radar Madiun Rabu, 20 Mei 2015). Untuk itu, pentingnya literasi diterapkan di sekolah.
Literasi bahasa Indonesia harus ditingkatkan di sekolah mulai dari jenjang SD sampai dengan perguruan tinggi. Karena literasi tidak terlepas dari sistem pengajaran di sekolah. Hal ini mengingat anak-anak muda sekarang kelihatan lebih bangga dengan memakai sesuatu yang bukan menunjukkan budaya timur, berperilaku, berbicara dengan menggunakan bahasa asing atau menyelipkan kata-kata gaul yang sebenarnya tidak sesuai dengan adat ketimuran. Hal ini terjadi bukan karena budaya dan bahasa asing lebih baik, namun karena pemahaman dan penanaman rasa cinta tanah air kurang kepada generasi muda.
Guru/pengajar dalam hal ini menjadi salah satu “pangemban dawuh” untuk mewujudkan tujuan mulia ini. Kata “ngemban dawuh” secara literal sama dengan “sendiko dawuh”__ siap melaksanakan. Siap melaksanakan dan mensukseskan program literasi. Keberhasilan program literasi ini merupakan salah satu tanggung jawab seorang pengajar. Bertanggung jawab menumbuhkembangkan budaya baca dan tulis dalam mewujudkan generesi yang hebat dan santun untuk menyelamatkan keterpurukan kualitas pendidikan di Indonesia salah satunya. Tanggung jawab ini bukanlah hal yang mudah tentunya. Seorang pengajar harus menjadi contoh sebagai figur bagi peserta didik untuk dapat menumbuhkan dan menerapkan budaya membaca dan menulis. Jadi tanggung jawab ini bisa berhasil diterapkan jika seorang pengajar dapat menumbuhkan membaca dan menulis mulai dari sekolah. Karena membaca dan menulis menjadi identitas bangsa, apakah bangsa tersebut berkembang atau tidak. Barometer inilah yang saat ini terus digenjot agar budaya membaca dan menulis siswa terus meningkat.
Menurut Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Intruction, agar mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literasi, ada`beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah antara lain sebagai berikut:
- Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah (guru, siswa, dll). Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran.
- Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model komunikasi dan interaksi yang literat lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah.
- Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik literat. Lingkungan fisik, social, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah.
Program literasi sekolah memang harus dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangakan kesiapan guru (pengajar), kepala sekolah, dan semua pihak yang terlibat (sekolah). Selain itu guru harus menjadi tauladan bagi peserta didik baik di sekolah maupun di luar sekolah. Seperti yang tertuang dalam undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 4 ayat (4 dan 5) disebutkan, bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Keteladanan yang dimaksudkan dalam norma yuridis ini menjadi salah satu kunci model penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh negara (pemerintahan). Dengan keteladanan budaya literasi sejati yang tertuang pada ayat (5) mengembangkan budaya membaca dan menulis dari guru dan pengajar sejati akan semakin manatap dan memotivasi peserta didik untuk terus mau belajar dan belajar agar manjadi insan hebat berkarakter, insan yang bermanfaat dan menginspirasi dengan iman di hati.
Penulis: Suprato, M.Pd.
Dosen STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi September 2016