Wisata Buku
Dewasa ini, manusia menempatkan wisata sebagai pelepas jenuh (rekreasi mata). Di tempat pariwisata itulah orang-orang akan merasa gembira dan bercengkerama dengan keluarga ataupun temannya. Sejauh apapun seseorang untuk menikmati hiburan wisata, apabila telah kembali ke rumah, hiburan tersebut seakan tidak ada maknanya. Wisata yang indah, harum, itu hanyalah hiburan bagi indra penglihatan dan penciuman.
Kemudian, bagaimana mencari makna sejati yang tumbuh dalam bayang imaji? Masih sedikit seorang yang merubah paradigma wisata untuk mencari makna ini, yakni buku atau karya sastra. Hal itulah, yang menjadi keprihatinan di negeri ini. Semua itu dapat dibuktikan dengan sedikitnya pengunjung toko-toko buku, dibandingkan dengan swalayan. Kebiasaan tersebut merupakan cermin masyarakat, bahwa wisata imaji belum terpenuhi.
Ibnu Duraid pernah menyinggung terkait dengan wisata, bahwa kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita. Juga gelas yang dituangkan dan ditenggak. Maka hiburan dan rekreasi baginya adalah berdiskusi dan menelaah kitab (Sutejo, 2010:197). Ungkapan tersebut mengandung filosofis yang tinggi apabila kita mau merenungkan. Jika masyarakat menjadikan buku sebagai wisata pikiran, dapat dipastikan tingkat intelektual masyarakat akan berbobot. Dengan demikian, akan tercipta ruang diskusi diberbagai tempat: di kantin, taman, dan dalam bus.
Dengan berdiskusi dan menelah buku, maka atmosfer wisata akan muncul dalam imaji, disertai makna yang tersirat yang diciptakan oleh pengarangnya. Berkaitan dengan imaji, Jabrohim dkk (2009:36) mengungkapkan bahwa imaji biberi peran untuk mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya pikiran. Imaji yang tepat membuat rasa lebih hidup, membuat pikiran terasa segar, dan kita mampu merasakan pengalaman batin orang lain.
Karya sastra yang baik biasanya memuat kearifan lokal. Pengarang akan berusaha mencermati, dan menghayati makna di lingkungan masyarakat. Maka, dapat dikatakan bahwa pengarang juga mempunyai peran terhadap sosial kemasyarakatan. Biasanya, sebelum menulis karya sastra, kearifan lokal itu akan direnungan untuk dikemas secara estetik, karena hakikatnya sastra adalah seni.
Dari sanalah wisata imaji sebenarnya hadir dengan tingkat filosofis kehidupan. Lewat citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, kecapan, dan perabaan bisa dirasakan melalui karya sastra. Misalnya, novel Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata, yang penuh dengan metafora. Sehingga pembaca seolah diajak berkelana ke Belitung. Novel itu berkisah perjuangan anggota Laskar Pelangi yang menempuh pendidikan di SD sampai SMP Muhammadiyah. Semenjak berikrar, di sekolah itulah mereka (Laskar Pelangi) menghayati perjuangan pentingnya pendidikan bagi masa depan.
Andrea Hirata memberikan gambaran yang objektif. Melalui tokoh Ikal itulah ketika saat hati sedang gelisah, pengen hiburan, hanya cukup dengan membaca karya fiksi. Di dalam novel Laskar Pelangi, saat Ikal ditinggal pergi oleh A Ling, Ikal berusaha menghibur dirinya sendiri dengan membaca Endensor berkali-kali. Pengisahan itu mengingatkan kita agar cukup wisata dengan membaca.
Dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin (2010), Tere Liye mengisahkan toko buku sebagai penyimpan kenangan yang berharga. Pengisahan secara detail yaitu: berjalan-jalan di sepanjang rak buku. Menyentuh satu-dua buku. Membaca sampul belakangnya, membuka-buka buku yang tidak dibungkus plastik. Menatap pengunjung lain yang sibuk, sedikit banyak membantuku berdamai dengan perasaan masa lalu. Tempat ini benar-benar berarti banyak bagiku. Menyimpan kenangan penting.
Tere Liye menggunakan ungkapan “membuka-buka buku” dan “membantu berdamai dengan perasaan,” kutipan tersebut menunjukkan manfaat membaca buku untuk menghilangkan perasaan gundah. Pengimajinasian suasana toko buku adalah bentuk gambaran visual, lewat karya itulah kita diajak untuk meresapi pentingnya merubah budaya swalayan ke toko buku. Dan menjadi contoh bagi anak usia dini supaya tekun membaca.
Selanjutnya, taktik membudayakan membaca bisa dilakukan dengan membiasakan membawa buku bacaan kemanapun kita pergi, sehingga ketika ada waktu luang, bisa digunakan untuk membaca. Sedangkan di rumah, untuk membangun cinta terhadap buku dan mempermudahkan membaca, yakni membuat tempat khusus buku di samping tempat tidur, di dekat meja makan, atau di ruang tamu. Akhirnya, manfaat membaca selain sebagai hiburan, dapat diperoleh wawasan seperti filsafat ilmu, antropologi, astronomi, agama, psikologi, dan mendapatkan pesan tersirat dari pengarangnya. Itulah pentingnya membaca, maka akan menembus ruang sketsa ilmu tanpa terhingga.
Penulis: Sahrum, S.Pd.
Alumni STKIP PGRI Ponorogo Tahun 2017, Pengajar di SMPN 1 Kauman
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi September 2016.