Literasi itu Seperti Mendaki Gunung
Kenapa literasi seperti naik gunung? Karena naik gunung hakikatnya perjalanan yang terjal, perjalanan yang melelahkan, perjalanan yang tidak mudah bahkan perjalanan yang membutuhkan semangat dan kekuatan. Begitu halnya dengan lietarasi, berliterasi sama halnya mendaki jejak-jejak yang sulit untuk mencapai punyak kenikmatan yang tinggi. Saat mendaki gunung perlu banyak yang kita persiapkan diantaranya; sepatu gunung, jaket, jas hujan, makanan, fisik, topi, dan yang terpenting adalah keyakinan seseorang untuk siap mencapai puncak. Sama halnya dengan literasi, dalam pendakian diri menyelusuri jejak-jejak panjang berliterasi perlu dan sangat penting untuk menyiapkan peralatan untuk mencapai titik puncak berliterasi. Alangkah besarnya literasi dalam menuntun seseorang untuk menemukan banyak hal; kepribadian diri, keyakinan diri, keteguhan diri, penghayataan diri, fikiran yang kuat, sudut pandang, mental, perasaan dan pantang menyerah.
Bagaikan pendakian jika dimaknai dengan baik, perjalanan berliterasi adalah perjalanan kesan. Setiap langkah jejak yang membekas adalah makna, setiap nafas yang dihembuskan adalah kelegaan yang besar, setiap tetes keringat adalah penafsiran betapa literasi itu perjuangan. Ketika tubuh tidak lagi mampu berbuat untuk mengoyak dunia, maka jejak lietrasi adalah jejak paling hakiki mengoyak dunia ini. Jika malam tidak lagi bersuara, biarkan gaung literasi berimajinasi untuk menemukan keramaian itu. Literasi adalah jalan setapak, yang kesemuannya menghantarkan pada danau kehidupan yang sejuk
Jika dalam mendaki kita menemukan batu krikil, yang membuat pendakian membutuhkan gerak yang pelan. Literasipun demikian, krikil dalam literasi adalah kebuntuan saat menunagkan segala ide dan gagasan dalam selembar kertas. Maka, apa yang terjadi jika krikil kebuntuan tidak dilawan, seseorang bisa-bisa terjatuh pula dalam berliterasi. Kebuntuan, hal yang selalu menjadi kendala dalam menuju puncak literasi. Jika krikil kebuntuan tidak dapat dihadapi, maka sama halnya orang mendaki gunung, maka perjalanan literasi akan jatuh (berhenti).
Atau jalan yang mendaki, pendakian literasi sama halnya harus melewati jalan yang sulit, yaitu kesiapan setiap saat untuk mendaki sumber-seumber dari berbagai narasumber (buku, lingkungan, orang lain, media sosial) bahkan darimana saja. Saat melewati jalan mendaki seorang pendaki menggunakan tongkat untuk menyeimbangkan diri agar tiak terjatuh. Sama halnya dengan jejak pendakian berliterasi, tongkat yang paling kuat adalah motivasi, niat dan keyakinan yang tumbuh, akan menjadi penyeimbang agar tidak terjatuh dalam lemabah literasi.
Jika dalam perjalan pendakian gunung selalu menemukan binatang buas, salah satu yang dilakukan seorang pendaki adalah menyulut api atau menghindarinya. Sama halnya pendakian berliterasi, kebuasan yang paling menakutkan adalah kemalasan. Apa yang semestinya dilakukan, yaitu menyulut api semangat dan myakinkan diri bahwa literai itu sangat indah.
Selain binatang buas, jalan terjal, binatang buas. Haus, lapar, lelah panas, dingin adalah kesatuan yang dialami dalam perjalanan. Ketika kehabisan air dan makan seorang pendaki akan melakukan survival, melakukan berbagai cara untuk mengahasilkan air dan mencari makanan apa saja untuk dapat mengisi perut. Begitu juga dalam pendakian literasi, lapar dan haus adalah bagian yang selalu ada. Jika dalam pendakian lapar dan haus sesungguhnya, namun dalam berliterasi lapar dan haus adalah pemetaforan haus dan lapar informasi, sumber bacaan dan data. Semua itu dapat dicari dengan membaca. Karena membaca adalah bagian survival berliterasi untuk dituntaskan dalam pendakian yang bermakna. Dengan membaca seseorang akan mempu melakukan perjalanan selanjutnya. Mendaki jalan terjal, berbatu, bahkan berdebu. Di akhirnya jika telah sampai pada puncak gunung, sudah barang tentu hamparan keindahan luas akan terpampang jelas dari puncak gunung. Hamparan sawah, hamparan rumah, perkotaan, dan garis pembatas pandang yang indah. Itulah titik kepuasan dalam pendakian, keindahan alam yang terbentang luas. Bagaimana dengan pendakian literasi? Titik puncak literasi adalah kenikmatan yang tidak terukur, bagaimana pemaknaan akan terbayar ketika karya yang terlahir terkenang sebagai karya yang begitu diminati banyak orang. Karya yang melahirkan makna-makna bagi orang lain, karya yang meneteskan embun-embun kesejukan bagi pembaca. Kenikmatan literasi, adalah kenikmatan surgawi –jauh ke dasar hati–, bagaimana tidak dengan pendakian berliterasi kita dapat menemukan kehakikatan akan sesuatu, kearifan, dan kebenaran yang sesungguhnya. Puncak-puncak literasi akan tumbuh dengan abadi, seperti petak sawah dengan garis yang indah dan keabadian dunia ini yang telah ditulis sebagai sesuatu yang bermakna. Literasi itu kunci kualitas diri, maka setetes embun literasi adalah kehidupan yang menyeruak mejadi ketengana yang abadi.
Penulis: Nanang Eko Saputro, S.Pd.
Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Ponorogo Tahun 2016, Pendidik di SMAN 01 Batu Sopang, Kalimantan Timur.
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, edisi September 2016.