Pendidikan Karakter bagi Orangtua
Sebuah acara wisuda Instansi yang cukup berprestis tinggi, sang pemimpin melangkah gagah ke panggung untuk menyampaikan pidato pelepasan wisudawan. Dengan karisma orang besarnya, para orang tua wali wisudawan dan semua yang hadir tidak bisa tidak selain memandang dengan penuh kekaguman dan mungkin sebagian merasa “sedikit” inferior dihadapannya. Begitulah yang dirasakan penulis, yang kebetulan hadir ikut mengantar putra saudara yang juga diwisuda. Pesona sang pemimpin besar itu tiba-tiba lenyap disaat dengan percaya diri dan suara lantang, beliau bertanya kepada pada hadirin” Instnsi kami adalah Instansi bersih yang bebas korupsi, Bapak-bapak Ibu-Ibu siapa yang putra-putrinya masuk disini dan harus menyogok ratusan juta rupiah, laporkan ke saya, oknumnya akan saya pecat sekarang juga!” Sepi tak seoranpun merespon pernyataan sang pemimpin. “ Bapak Ibu, jawab saya jangan takut, apakah ada diantara bapak ibu disini yang putranya harus membayar puluhan atau ratusan juta rupiah,Angkat tangan dan bicara ?” Tanyanya dengan eye to eye contact pada para hadirin yang datang.” Jawab bapak Ibu?” “Tidak ada”. Respon hadirin dengan serempak. Dan sayapun menatap Saudara yang duduk disamping saya, yang secara kebetulan juga menatap saya dengan tatapan yang entah bagaimana kamipun paham maksudnya.
Wacana Pendidikan karakter mengemuka dikarenakan adanya krisis karaketr bangsa yang menimpa semua kalangan lapisan masyarakat Indonesia. Pemerintah yang korup, masyarakat yang apatis, para pemudan, mahasiswa dan pelajar yang tawuran, ngedrug, dan terlibat pergaulan seks bebas, aborsi menjadi gejala yang bisa jumpai di sekeliling kita. Demikian juga budaya hedon materialistik yang melanda rakyat bangsa ini.
Dilandasi kondisi diatas, maka pemerintah melaui kementrian pedidikan nasional mulai tahun 2010 meminta sekolah-sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter. Para guru diminta untk lebih terlibat dalam pembinaan karakter anak didik tidak hanya bertugas mengajar ilmu pengetahuan an sich. Kemudian para ayah dan bundapun diminta untuk lebih terlibat dalam pendidikan anak misalnya dicanangkannya program mengantar anak sekolah di hari pertama oleh menteri pendididikan Anies Baswedan saat itu.
Namun seperti ilustrasi yang penulis sampaikan di awal, kalau mau jujur menilai, berbagai krisis karakter yang melanda bangsa ini justru banyak dilakukan orang tua. Orang tua yang berperan besar dalam hitam putih seorang anak tentu saja bukan hanya ayah dan bundanya, namun juga guru, orang dewasa dilingkunganya dan tentu saja pemerintah sebagai Penanggung jawab Bangsa. Bagaimana bisa pemerintah menerapkan clean goverment kalau semua orangpun tahu, hampir tidak ada sistem yang bebas korupsi di lembaga pemerintah. Bagaimana bisa Guru mengajarkan tentang kejujuran, disaat sebagian guru bahkan mengajarkan cara yang tidak jujur agar siswa-siswanya lulus seratus persen dalam ujian nasional hanya demi nama baik sekolah. Bagaimana orang tua dirumah bisa mengajarkan putra-putrinya tidak hidup secara hedon dan permissif, kalau orang tua selalu menuruti keinginan atas nama cinta. Dan bagaimana masyarakat beretika dan bermoral baik bisa terwujud, bila setiap hari surat kabar dan berita berita nasional menyajikan kasus perampokan, pembunuhan, kekerasan seksual, sex bebas yang kadangkala bahkan dilakuakan oleh orang-orang terkenal dan terhormat yang seharusnya menjadi panutan generasi muda bangsa ini. Pendidikan karakter pada orang tua tentulah berbeda dengan pendidikan karakter pada anak-anak. Tidak seperti anak-anak, orang tua sudah mempuna kemampuan menentukan dan memilih apa yang akan dilakukannya. Tidak ada orang tua yang suka diceramahi dan di doktrin apa yang beleh dan tidak boleh dilakukan.
Dengan kemampuan logikanya, orang tua mungkin bisa belajar dan diajar oleh orang dewasa lainya namun pada akhirnya hanya dirinyalah sendiri yang mampu mendidik untuk memiliki karakter yang baik. Kesadaran untuk memberi teladan yang baik seharusnya dimiliki oleh setiap orang tua sebagai bentuk tanggung jawab bagi anak-anaknya dan juga semua generasi muda di sekitarnya. Dan itu hanya bisa dimulai dari diri sendiri, dari hal kecil dan sekaranglah waktunya. Sanggupkah kita? Setidaknya marilah mencoba!
Penulis: Siti Zulaihah, S.Ag., M.Pd
Dosen STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel telah dimuat Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi November 2016.