Berguru pada Pramoedya
Oleh: Dr. Sutejo, M.Hum.
Ada sebuah tulisan menarik tentang Pramoedya Ananta Toer, jika kita ingin belajar bagaimana kepengarangan sastrawan Indonesia itu. Seorang sastrawan yang pernah dinominasikan sebagai pemenang nobel dari Indonesia. Selalu, menjadi polemik-bincang, dan tak pernah berakhir. Seorang pengajar sastra dari Perancis –yang pernah bertamu di rumah buku Spectrum Center–, Dr. Natieuv, pun mengenal sastra Indonesia lewat sosok Pramoedya. Itulah akunya, dalam beberapa kali perbincangan. Sejak dari perjalanan bandara Yogyakarta hingga di Ponorogo, dan beberapa kali kesempatan saya mendampinginya.
Maka, jika Anda adalah mahasiswa sastra, wajib mengenalinya lebih dalam. Ada sebuah sumber tulisan media online yang menarik, berjudul “Saya punya hak untuk menentukan apa yang saya tulis, yang dapat memberikan kepuasan individual pada saya. Dalam hal ini saya tidak peduli apa orang lain suka atau tidak.” Buah tulisan Hasan Aspahani. (baca juga etos kepengarangan Pramoedya Ananta Toer)
Dari tulisan Aspahani, paling tidak ada sejumlah pokok yang dapat dicermati: (i) bahwa Pram itu menulis dalam keadaan apa pun, (ii) menulis hanya yang ingin dia tulis, (iii) Pram bertekad untuk menulis karya yang besar, (iv) menulis Pram didukung oleh dokumentasi pribadi yang baik, dan (v) kesempurnaan itu dibangun dengan perasaan “tidak puas”. Sebenarnya, kita bisa mengintip begitu banyak pesan-pesan kepengarangan seorang Pramoedya. Dengan begitu, tinggal tirukan apa yang dipesankannya, jika memang ingin menjadi penulis yang besar. Paling tidak, menulis yang sukses untuk kehidupan kita, baik personal, keluarga, dan profesi kita masing-masing.
***
Sekarang, mari belajar dari kata bijak Pramoedya, yang begitu banyak menginspirasi orang. Pram pernah bilang begini, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Bupati Magetan pun, Dr. Suprawoto kala memberikan inspirasi bagaimana birokrat berliterasi di ISNU-Litbang NU Ponorogo, juga mengutipnya. Pesan penting, penanda orang hebat dengan sendirinya adalah karya (tulisan), bahkan kepandaian seseorang itu dikenali dari tulisannya. Bahkan dalam sebuah novelnya, Anak Semua Bangsa, Pramoedya mengungkapkan begini: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” Karena itu, jika ingin abadi, menulislah.
Sejak kapan kita sebaiknya menulis? Hem, saya sudah lewat. “Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi.” Begitulah pesan Pramoedya. Menulis barangkali salah satu bentuk terima kasih kita pada kehidupan, pengalaman, dan realitas hidup yang telah menjadi guru kehidupan kita. Sosialitas yang mengerikan misalnya, bukanlah hambatan. Tetapi, justru menguatkan seseorang dalam memasuki dunia kata. Jika Anda memiliki belaian masalah, maka tulisan adalah pelarian terindahnya. Ingat pesan lain Pramoedya, “Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.”
Sungguh, menulis itu membutuhkan keberanian. Menulis adalah batu asah pemikiran, ruang relaksasi atas segala persoalan kehidupan. Menulis tentu juga menjadi ukuran dan penanda harga diri seseorang. Karena tulisan adalah sebuah karya. “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?” Begitulah Pramoedya, menyindir keras kita, untuk selalu memagut keberanian agar harga diri bangsa dan negara ini tidak diinjak-injak oleh bangsa yang lain. Bangsa lain (orang lain) tak bisa merendahkan kita, jika kita tidak menerimanya. Apalagi, jika kita mampu menunjukkan dengan karya-karya besar, hebat, dan berbobot!
***
Dalam dunia akademik, seringkali sastra (ilmu sosial lainnya) sering dipandang rendah oleh penekun ilmu eksak. Ini tidaklah tepat. Khususnya, dunia sastra. Pengalaman berbagai negara maju, karya sastra (berikut kecintaannya) adalah tolok ukur keberadaban masyarakat. Pesan menarik berkaitan dengan hal ini, bagaimana Pramoedya menyindir kita begini: “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Hem.
Hewan yang pandai? Mungkin inilah sebabnya, karena sastra itu bisa menghaluskan budi, menjadi ruang renung sepanjang hayat, menjadi cermin yang memantulkan hakikat kemanusiaan dan keberadaban. “Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai”. Bodoh dan pandai barangkali, dari ungkapan Pramoedya itu, karena kesalahan melihat dan memandang dalam sudut berbeda. Setiap orang pandai, memiliki kelebihan, di samping itu, setiap orang tentu memiliki kekurangan masing-masing. Dengan menulis, hal ini, barangkali akan tercerahkan, tersadarkan.
Sejarah bangsa kita sudah menunjukkan, bagaimana founding father bangsa ini adalah orang hebat, pembaca dan penulis yang dahsyat. Sutan Syahrir misalnya, bagaimana mereka memiliki pemikiran luar biasa karena merawat otak hebatnya dengan membaca dan menulis (baca: Nglaras Nasionalisme Sutan Syahrir. Bahkan, Bung Hatta lebih heroik daripada Bung Syahrir. “Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku.” Itulah pekiknya. Ketika pulang dari Eropa, Hatta membawa tiga container buku. Untuk mengenal lebih jauh, bagaimana pesan kebangsaannya, silakan baca: Belajar Nasionalisme Bung Hatta
Kepada siapakah kita berguru kehidupan, bukankan menulis adalah mengabadikan kehidupan? Karya adalah wasilah penulis dan kehidupannya. Soekarno, pemuda hebat yang membawa bangsa ini ke alam kemerdekaan, adalah pembaca yang ulung, penulis yang andal. Tidak heran karena ketajaman berpikir dan membaca, dia memiliki kapasitas untuk memimpin gerakan Asia-Afrika yang mencengangkan sejarah dunia. Bagaimana nasionalisme seorang Soekarno bisa dinikmati dalam tulisan saya lainnya: Nglaras Nasionalisme Sukarno.
***
Akhirnya, jika Pramoedya saja yang terkungkung oleh sejarah, kemiskinan, dan tekanan politik luar biasa, mampu berkarya; maka kita hari ini –generasi milenial—dengan ruang dan kemudahan yang luar biasa, mestinya mampu berbuat yang lebih giat dan dahsyat. Menulis itu butuh keberanian. Keberanian itu memiliki otot, karena itu, penting dilatih terus-menerus biar tidak lembek. Begitulah pula, pesan Pramoedya dalam sebuah video yang pernah saya tonton.
Menyakini menulis dan membaca sebagai dua pedang menaklukkan belantara kehidupan adalah keniscayaan dan kewajiban. Inilah soalnya, mengapa membaca dan menulis diwahyukan Allah kepada nabi tercinta Muhammad. Nabi literasi yang agung, membuka pintu peradaban dan keadaban umat manusia. Tidak saja bagi Muslim, tetapi bagi semesta dan kehidupan umumnya. Salam literasi baca-tulis untuk mengukir perabadan yang bercahaya![]
Sutejo adalah
Ketua STKIP PGRI Ponorogo,
Ketua Litbang PCNU Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo,
Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo,
Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.