Generasi Nol Buku
Oleh: Sri Wahyuni
Taufik Ismail, dalam ulang tahunnya yang ke-60 mengatakan bahwa generasi Indonesia adalah generasi nol buku. Artinya generasi Indonesia tidak pernah membaca buku, bahkan satu tahun pun belum tentu membaca satu buku. Mereka memang sering membaca. Tetapi yang mereka baca bukanlah buku melainkan membaca iklan, status, chat, dan SMS. Tidak heran jika semua itu terjadi. Karena semua itu lebih mengsyikan, menyenangkan, dan menghibur.
Mereka juga lebih senang menonton televisi daripada membaca buku. Televisi seakan menjadi menu wajib. Apalagi bagi mereka yang gemar menonton film. Ketinggalan satu episode saja menyesalnya bukan main. Berbagai cara pun dilakukan agar mereka bisa mengejar ketertinggalan tersebut. Salah satu jalan yang ditempuh adalah membuka youtube.
Tiap insan perlu membaca buku, sebab pikiran seseorang tidak akan berisi kalau kurang membaca.
Lain halnya dengan membaca buku. Mereka masa bodoh dan acuh. Ada buku baru mereka tidak tahu, tertinggal sejuta buku pun tak peduli. Bagi mereka membaca buku bukanlah hal penting. Itu hukumnya mubah, boleh dilakukan boleh tidak. Tidak ada hukum yang mewajibkan. Kecuali kewajiban karena terpaksa, misalnya membaca ketika ada tugas. Dikatakan terpaksa karena mau tidak mau mereka harus membaca apa yang menjadi tugas mereka. Suka atau tidak mereka harus melakukannya.
Di sisi lain ada pula yang mengatakan membaca itu tidak ada azabnya, itulah salah satu alasan mengapa mereka malas membaca. Padahal itu adalah anggapan yang salah. Siapa bilang membaca itu tidak ada azabnya? Sastrawan dari Sumenep, M.Faizi mengatakan, “Salah satu alasan orang malas membaca adalah karena tidak ada azabnya. Sebenarnya ada yaitu kebodohan.” Saya setuju dengan pernyataan tersebut. Sejatinya orang yang tidak membaca adalah orang yang bodoh, sedang orang cerdas itu berusaha lepas dari kebodohan. Jalan untuk lari dari kebodohan adalah membaca. Jadi, bagaimana? Pilih jadi orang cerdas apa orang bodoh?
Ada juga sebagian orang yang beranggapan bahwa membaca itu adalah hal yang menakutkan. Hal ini biasanya terjadi kepada mereka yang berpedoman bahwa apa yang kit abaca harus kita ingat. Ini merupakan pedoman yang salah. Membaca bukan berarti harus mengingat. Biarkan saja semuanya mengalir apa adanya. Sesungguhnya secara tidak langsung apa yang kit abaca akan masuk kea lam bawah sadar kita. Sehingga suatu saat apa yang kit abaca akan muncul tanpa terduga. Yakinlah apa pun yang kit abaca tidak akan sia-sia.
Faktor ekonomi juga menjadi kendala minat baca generasi muda. Mahalnya harga buku menjadi salah satu alasan mereja untuk tidak membaca buku. Lalu bagaimana dengan harga rokok, bensin, jajan, pulsa, dan sebagainya. Barang-barang itu juga mahal harganya. Penting mana antara buku dan barang-barang tersebut? Bukankah membaca adalah kebutuhan yang paling murah harganya.
Buya Hamka mengungkapkan “Tiap insan perlu membaca buku, sebab pikiran seseorang tidak akan berisi kalau kurang membaca.” Jelas bukan? Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa membaca itu sangat penting, terutama bagi generasi muda. Karena generasi muda akan menentukan masa depan bangsa. Jika generasi muda tidak mau membaca, mau dibawa ke mana masa depan bangsa ini?
Masa muda adalah masa untuk mengembangkan diri dan keterampilan, agar hal tersebut bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Namun, generasi kita sebaliknya. Mereka mengisi waktu mudanya dengan berbagai akitivitas kehidupan yang tidak bermanfaat, seperti menonton televisi, bermain game, bermain gadget, nongkrong di pinggir jalan, ngopi, dan lainnya. Keadaan ini tentunya sangat berbeda dengan zaman dahulu. Dulu tidak ada gadget, game, dan televisi, tidak ada istilah nol buku, chat, dan SMS. Generasi dulu adalah generasi yang pandai membaca. Soekarno misalnya, dia membaca sejak kecil. Kesukaannya membacalah yang menghantarkannya bertemu dengan orang-orang hebat, seperti presiden AS George Washington dan ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis, Jean Jaures. Sebelum melakukan hal-hal penting Soekarno juga membaca terlebih dahulu, seperti saat akan berpidato. Tujuannya tidak lain adalah untuk menambah kosa kata dan pengetahuan agar ketika berbicara nanti ia tidak akan kehabisan kata-kata. Dan hasilnya luar biasa. Semua orang terkesima melihat Soekarno berpidato.
Jika generasi zaman dahulu dalam keadaan yang serba kekurangan buku sangat rajin membaca, mengapa kita tidak? Bukankah saat ini buku sudah ada di mana-mana. Tapi mengapa generasi kita masih terkenal dengan sebutan generasi nol buku sebagaimana yang diungkapkan Taufik Ismail?
Pernyataan Taufik Ismail sesuai dengan keadaan generasi saat ini. Tidak ada cara lain untuk mengubahnya kecuali dengan membaca. Jadi tunggu apalagi, mari membaca demi masa depan bangsa.
***
Penulis: Sri wahyuni,
Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo, Tim SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Jawa Pos Radar Ponorogo edisi 16 September 2016.