[Opini] Rakyat Memilih Pemimpin
Oleh: Sri Wahyuni
Pada 15 Februari 2017, masyarakat Indonesia mengadakan pesta politik. Pesta politik itu ditandai dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara bersamaan. Pilkada serentak yang digelar tahun ini kembali menguji kemampuan masyarakat untuk kembali memilih kepala daerah secara demokratis. Pilkada akan digelar di 101 dareah, yang terdiri dari 7 Provinsi, 76 Kabupaten, dan 18 Kota di Indonesia.
Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahun 2017 pilkada diikuti oleh 25 pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, 246 pasangan calon bupati dan wakil bupati, serta 57 pasangan calon wali kota dan wakil wali kota.
Tahun 2017 merupakan kali kedua Indonesia mengadakan pilkada secara serentak. Kali pertama pilkada diselenggarakan pada 2015 dengan jumlah peserta 269 daerah dan berjalan dengan lancar. Jika tahun ini hanya diikuti oleh 101 daerah, maka pilkada diharapkan bisa lebih sukses dari 2015.
Melalui pesta politik lokal ini, masyarakat berharap akan lahir pemimpin-pemimpin berkualitas dan bertanggung jawab. Jangan sampai mereka merasa kecewa terhadap kepala daerah yang terpilih secara langsung lewat pilkada karena harapan dan janji yang disampaikan saat kampanye berbanding terbalik setelah menjabat.
Banyak kepala daerah setelah terpilih justru tak mampu memegang amanah yang sudah diberikan dan malah semakin menjauh dari rakyat. Padahal pemimpin itu harus dekat dengan rakyat dan apa yang dijanjikan ketika kampanye harus dipenuhi dan dilakukan dengan sepenuh hati. Sebagaimana ungkapan lama, bahwa janji itu adalah hutang, menepatinya sama dengan membayarnya.
Sebagaimana yang dikatakan mantan PNS Departemen Penerangan, Syarfi Hutauruk bahwa pemimpin itu harus menyatu dengan rakyat. Pemimpin itu tidak hanya memangku tangan di atas meja tetapi harus turun mendengarkan aspirasi rakyat, berkeliling merasakan apa yang dirasakan rakyat, dan memahami apa yang diinginkn rakyat. Memang berat, tapi bukankah semua pilihan itu harus dipertanggungjawabkan. Begitu pula pilihan untuk menjadi pemimpin.
Menjadi pemimpin, harus diawali dengan niat dan hati yang tulus serta bersedia mengabdikan dirinya untuk rakyat. Selain itu, pemimpin juga harus bekerja dari hati tidak dengan paksaan atau karena ingin mendapatkan imbalan. Motivasi kerja harus jelas, jangan hanya karena ingin punya jabatan yang tinggi, ingin mendapat mobil dinas, rumah dinas, ingin dihormati dan disegani orang lain.
Menjadi pemimpin, harus diawali dengan niat dan hati yang tulus serta bersedia mengabdikan dirinya untuk rakyat. Selain itu, pemimpin juga harus bekerja dari hati tidak dengan paksaan atau karena ingin mendapatkan imbalan.
Seorang pemimpin itu harus memiliki tanggung jawab dan integritas yang tinggi. Tanggung jawab berarti seorang pemimpin harus mampu mempergunakan kedudukannya dengan sebaik-baiknya. Kedudukan itu amanah dari rakyat dan amanah itu harus dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab itu tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Bahkan dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa semua pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Terkait dengan integritas, mengutip ungkapan Ignas Kleden (2004) integritas adalah syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk mencapai sistem demokrasi yang bersih. Hal ini karena integritas merupakan alat yang dapat mendorong dan mengembangkan pemimpin dalam menjalankan amanat rakyat. Integritas yang dimaksud di sini adalah kesadaran pemimpin tentang nilai-nilai dan norma-norma yang tidak boleh dilanggar.
Jika pemimpin sadar tentang nilai-nilai dan norma-norma itu, maka sudah barang pasti mereka akan mempergunakan jabatannya dengan sebaik-baiknya dan bekerja dengan setulus-tulusnya. Dengan begitu, rakyat tidak akan merasa kecewa dengan pilihan mereka.
Rakyat dan Pilkada
Pilkada merupakan kesempatan emas bagi rakyat untuk menentukan pilihannya. Kesempatan emas akan sia-sia jika tidak digunakan dengan cerdas. Oleh karena itu, rakyat harus pandai-pandai menentukan dan memilih pemimpin yang tepat. Apabila rakyat salah dalam memilih pemimpin, maka hal ini kan berpengaruh terhadap kehidupan mereka selama lima tahun yang akan datang. Pendek kata, lima menit menetukan lima tahun ke depan.
Di sinilah pentingnya memilih sekaligus menentukan pemimpin secara tepat. Sebelum memilih harus berpikir dahulu. Masyarakat harus memilih sesuai dengan pilhan hati nurani. Jangan sampai mereka terpengaruh oleh orang lain. Sejatinya, setiap individu itu memiliki pilihan yang berbeda-beda.
Tetapi perlu diingat, meskipun pilihannya berbeda-beda masyarakat tetap harus mendahulukan dan mementingkan persatuan dan kesatuan agar pesta politik berjalan dengan baik. Jangan sampai pilkada menjadi musibah, malapetaka, dan memecah belah masyarakat. Meskipun ada persaingan, rasa persatuan dan kesatuan harus tetap dikedepankan.
Sebagaimana ungkapan Albertus, dalam pemilihan politik masyarakat harus bekerja sama dan bersatu dalam mengawasi jalanannya pemilihan. Siapapun pemimpinnya, jika melakukan hal baik dia harus didukung tetapi jika melakukan hal-hal yang buruk maka harus dikritisi. Semoga dengan diselenggarakannya pilkada tahun ini, Perubahan-perubahan baru akan terjadi, kehidupan yang lebih baik akan tercapai, dan harapan-harapan rakyat dapat terpenuhi. Selamat berpesta politik, 101 pilkada 101 harapan.
***
Sri Wahyuni, Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo. Tim Sekolah Literasi Gratis (SLG) 2 STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Duta Masyarakat edisi 17 Februari 2017.