[Sosok] Rama Philips: Bangun Panti dari Batu Akik
oleh: Suci Ayu Latifah
Alumni STKIP PGRI Ponooorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo
Tak banyak orang sudi menampung orang tak dikenal dengan segala masalah dan deritanya. Terlebih mereka mengalami gangguan jiwa dan sakit. Namun, siapa yang mau seperti mereka.
Surya sebentar lagi tidur dalam pangkuan langit. Semburat merah melintang membuat garis-garis tipis. Nampak, sisa surya dari balik awan. Rombongan burung mulai menggelar sarang. Sebentar lagi mereka istirahat. Sementara itu, para kelelawar bersiap mengarungi alam. Rama terlihat asyik bersama para lansia, gelandangan, dan orang dengan gangguan jiwa. Musik mengalun bebas. Mereka berjoget dengan bebas pula.
Rama bungah melihat mereka bergembira. Namun, ada sebagian hanya duduk-duduk di emperan rumah dengan tatapan kosong. Ada pula, terbaring di tempat tidur. Itulah, suasana rumah Rama bersama orang-orang yang kini dia sebut keluarga.
Bermula bisnis akik yang sempat trending pada masa itu, membuat pria pemilik Rama Philips mampu membangun panti di Ponorogo. Panti tersebut berlokasi di Desa Ngasinan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Berdiri sejak Maret 2016, pria berumur 35 tahun ini mengurus para lansia, gelandangan, dan ODGJ. Mulai dari memandikan, memberi makan, mengajak senam, hingga membawa ke rumah sakit tatkala ada yang sakit. Gerakan kemanusiaan ini tidak dilakukan sendirian. Endang, istri tercinta selalu membantu dan mendampingi saban hari.
“Saya setiap hari memasakkan untuk mereka,” jelas Endang.
Rama tidak pernah membayangkan dirinya mampu menampung dan mengurus orang-orang dengan berbagai masalah. Pasalnya, pria berperawakan tinggi itu dulunya adalah seorang pemulung. Menjadi pemulung dia lakoni bertahun-tahun, sejak 2004 hingga 2009. Sebuah petarungan hidup mengumpulkan lembaran uang demi istri dan dua anak cantik, Nana dan Risma.
Hujan juga terik, tidak lagi menjadi alasan Rama untuk tidak keliling. Kantong-kantong plastik, botol bekas, omprengan, kardus bekas, dan masih banyak lainnya, seolah menjadi sahabat saban hari. Keduanya, sesekali saling berdialog kecil melalui bahasa yang dipahami.
“Botol-botol itu, kala baik akan membuahkan hasil yang dapat diganti dengan sepeser uang. Begitupula dengan kardus-kardus bekas, dapat ditukar dengan sejumput beras atau seikat sayuran,” tegas Rama berkaca-kaca.
Meski begitu, Rama tidak pernah memiliki rasa malu. Justru bangga, menjadi pahlawan lingkungan hidup. Melalui tangan ringannya, kota yang mulanya bertebaran sampah, disulap menjadi bersih, rapi, dan nyaman ditempati.
Kerja keras untuk bangkit dari keterpurukan hidup, menjadi energi positif. Terlebih, pada tahun 2009 akhir, dia sempat kehilangan istri pertama. Sosok perempuan yang telah menganugerahkan dua buah hati. Rasa sedih teramat mencekam. Bagaimana dia harus mendampingi anaknya, Nana saat itu masih belajar di TK A. Bagaimana kelak harus bercerita tentang sosok ibu kepada anak satunya, Risma yang masih 2 tahun. Lantas, bagaimana pula membagi antara anak dan pekerjaan yang saat itu sedang berkembang. Ya, selain menjadi pemulung, dirinya memiliki usaha mandiri sebagai servis lampu.
Pria itu bersahabat dengan arus listrik. Banyak orang memanfaatkan jasanya. Bongkar-pasang lampu menjadi kegiatan selingan yang harus dilakukan penuh kehati-hatian. Pasalnya, bermain-main dengan listrik, bukanlah persoalan gampang–butuh keahlian khusus. Tidak sembarang orang bisa melakukan. Namun, di tangan seorang Rama sesuatu berkaitan dengan listrik mampu teratasi. Kalau ditanya, apakah pernah belajar tentang kelistrikan. Rama tidak menjawab, hanya menggeleng kepala ke kanan-kiri.
Keterpurukan hidup mampu mengubah dirinya membentuk ion-ion positif. Suatu energi apabila tarik-menarik akan menghasilkan kekuatan dahsyat. Sebuah kekuatan untuk menunjukkan eksistensi diri sesungguhnya.
“Belajar hidup lebih baik meskipun bukan terbaik.”
Demikian itu jargon yang menggerakkan Rama untuk bangkit dari keterpurukan menjadi orang bermanfaat. Jargon tersebut serupa pondasi yang menguatkan. Ia hidup, laiknya untuk orang lain, bukan lagi dirinya.
Itulah prinsip mulia seorang Rama. Dengan jiwa kemanusiaan, merelakan diri untuk orang lain. Seperti yang ditekuni 3 tahun ini. Sampai hati, dia lupa tidak memperhatikan diri. Pikirannya totalitas pada orang-orang yang benar membutuhkan.
Pernah suatu hari, seorang lansia berteriak-teriak minta tolong di tempat pembaringan. Lansia berumur 60-an tahun itu terserang stroke. Beliau meminta dibenahi posisi tidur. Saat itulah, pria berambut panjang ini segera berlari. Sungguh, Rama merasa seperti merawat orang tua sendiri.
“Mulanya, melihat seorang lansia bekerja sebagai kuli panggul. Saat saya tanya, ternyata sebatangkara. Beliau diusir oleh keluarga, dan tinggallah di gubuk seorang diri,” cerita Rama mengingat masa lalu.
Inilah awal hati nurani Rama tergerak untuk membantu orang yang kurang beruntung. Dia bersyukur, keluarga mendukung niat baiknya. Semenjak itulah, ketika di jalan dan menemui gelandangan rasanya ingin merawat.
“Saat itu, saya sedang berbisnis akik,” kata Rama.
Akhirnya, karena banyak orang yang ditampung, Rama membangun gubuk sederhana. Gubuk tersebut diberi nama Panti Duafa Manula Ponorogo. Gubuk tersebut dibangun dari hasil penjualan akik di tahun 2015. Bongkahan akik yang didapati dari Kecamatan Sawoo, dia potong kecil-kecil, dan dijual. Berkat kegigihan dan keuletan, serta kejujuran berbisnis Rama berhasil meraup keuntungan sebesar 486 juta.
“Modal awal hanya uang 80 ribu.”
Getol berbisnis, Rama menyulap akik menjadi tanah dan rumah sebagai investasi. Dan, di gubuk itulah, uang hasil penjualan batu akik dijadikan untuk menampung orang kurang beruntung. Namun, sebelum itu Rama sempat mengontrak rumah di Desa Cekok, Babadan, Ponorogo. Setelah hasil bisnis akik berbuah, dia barulah membangun panti di Desa Ngasinan, Ponorogo. Sungguh, bukanlah Rama kalau tidak demikian itu.
Rama rela bekerja apa saja untuk memberi makan tuna wisma. Dia percaya, gusti ora sare.
Namun, tatkala ketertarikan orang terhadap akik menurun, Rama beralih bisnis berbagai macam plastik. Dia juga membuka lagi jasa servis lampu. Rama rela bekerja apa saja untuk memberi makan tuna wisma. Dia percaya, gusti ora sare. Tujuannya hanya satu, yaitu menempatkan dan menjadikan mereka sebaik-baik manusia.
Di tahun 2019, Rama merawat 69 lansia, gelandangan, dan ODGJ. Mulanya, tembus hingga 100-an orang. Rata-rata mereka yang bertempat di panti, 90 persen adalah orang yang ditemukan di jalan. Sementara 10 persen, diantar oleh keluarganya ke panti.
Merawat dan mengurus mereka dengan serentet masalah dan latar belakang bukanlah sesuatu yang mudah. Terlebih, kalau mereka datang dalam kondisi sakit. Rama dan istrinya harus 100% mengurus. Jangan sampai kondisinya semakin buruk. Ia selalu berharap orang-orang yang masuk ke panti bertambah baik dan sembuh.
Kenyataannya, siapalah sosok Rama. Dia orang biasa, bukan dokter—perantara Tuhan untuk menyembuhkan orang sakit. Rama hanyalah wakil tangan Tuhan untuk mereka yang benar harus dibantu. Kendati itulah, tidak banyak orang memiliki 100 persen ketulusan sepertinya. Pandangan masyarakat awam, orang gila itu berbahaya. Ia bisa menyakiti siapa saja—orang-orang di dekatnya. Anggapan itu, ditampik oleh Rama. Justru menjadi tantangan yang harus ditakhlukkan.
Dari sekitar 69 orang yang masih ada (beberapa sudah meninggal karena sakit dan tua), Rama menyediakan ruangan khusus. Ruangan tersebut berisi dipan-dipan berbentuk persegi panjang. Didesain berjajar-jajar, dipan bersemen itu diberi alas kasur. Di tempat itulah, Rama dan Endang menikmati parfum lansia.
“Sudah biasa. Toh, nanti kita juga akan mengalami seperti mereka,” kelakar Rama.
Cerita dari panti banyak Rama telan dengan berbagai varian rasa. Rasa sedih melihat mereka meninggal karena sakit. Rasa prihatin melihat sebuah keluarga datang ke panti untuk sekadar menitipkan bapak atau ibunya. Rasa haru melihat mereka bersenang saat senam bersama. Dan, entah rasa apalagi hanya dapat Rama ceritakan lewat air mata kemanusiaan.
Sekali lagi, merawat mereka membutuhkan keseriusan 100%. Tidak cukup menerima saja, Rama harus sering-sering menjenguk—mengajak berbicara dan beraktivitas. Mereka tidak cukup kebutuhan ekonomi, tapi juga kebutuhan psikologisnya. Kendati itulah, setiap sore Rama mengajak senam dan joget bersama.
Beruntunglah, guna mengurus panti duafa banyak donatur dari mana saja. Salah satunya, dari Tenaga Kerja Wanita (TKW) Hongkong. Selain itu, dia juga telah bekerja sama dengan empat dinas sosial. Di antaranya DinSos Kabupaten Ponorogo, Magetan, Madiun, dan Trenggalek.
Berkat apresiasi dan dukungan positif dari berbagai pihak, kini telah Rama mendirikan dua panti di Ponorogo, yaitu di Desa Ngasinan dan Turi. Di panti Desa Turi, Rama khususkan usia anak-anak. Ada sekitar 7 anak. Semuanya tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
Rama berharap, penghuni di pantinya dapat sembuh sehingga barangkali ada keluarga yang menjemput. Mereka dapat berkumpul dan berbahagia bersama. Demikian itulah, kata terakhir Rama berlinang air mata. Semoga!
8 Oktober 2019