Dosen STKIP PGRI Ponorogo Menginspirasi Pelatihan Komunitas di Sungailiat
Begitu turun dari mobil berpelat merah di depan aula pertemuan hotel Novilla kota Sungailiat, Yani Paryono langsung memperkenalkan Sutejo sebagai pelopor dan penggiat literasi yang menarik untuk diteladani kepada kawan-kawan panitia dari Kantor Bahasa Bangka Belitung. Berpakaian sederhana, berkaos garis-garis besar, dengan cenala kunir bosok sama sekali tidak menggambarkan keselarasan dalam berpenampilan.
Sementara, sejumlah peserta pelatihan komunitas literasi, yang terdiri dari para guru SD dan SMP di kabupaten Bangka mulai memenuhi gedung pelatihan. Tiba-tiba, Yani Paryono meminta Sutejo untuk berbagi motivasi dan inspirasi literasi. “Kamu ngomong sekitar satu jam ya, bagaimana membudayakan literasi –khususnya baca-tulis—biar peserta bersemangat untuk berliterasi.” Pintanya sambil memaksa Sutejo untuk bersiap berbicara di depan mereka.
Alih-alih menunggu transfer materi Genius Menulis Artikel dari WA Sutejo, mas Pradita dari Kantor Bahasa Bangka Belitung; Yani Paryono mengenalkannya sebagai sahabat lama. “Saya berkawan lama dengan Pak Tejo. Dia memiliki perpustakaan pribadi yang banyak, rumah buku dengan koleksi sekitar 40.000 eks. Dia belasan kali memenangkan lomba kepenulisan tingkat nasional dan provinsi. Karena itu, biarkan Pak Sutejo nanti berbagi pengalaman kepada Bapak Ibu.” Ucapnya datar dan mengundang sejumlah tanya mengingat tampilannya yang tergolong sederhana.
Kekuatan Motivasi
“Dalam gerakan literasi dibutuhkan semangat untuk saling memberikan motivasi, bukan saling merendahkan apalagi saling menyalip di tikungan, di jalan berkelok literasi.” Ungkap Sutejo mengawali pesan gerakan literasi. “Guru-guru sering memandang anak-anak kurang termotivasi. Sama sekali guru tak menyadari, dirinya adalah bagian motivasi terpenting anak didiknya. Karena itulah, jadilah guru-guru yang penuh dengan motivasi.”
Motivasi –baik internal maupun eksternal—dibutuhkan dalam membangun gerakan literasi di berbagai sekolah. Literasi baca-tulis sesungguhnya adalah sebuah keterampilan, yang pemerolehannya hanya membutuhkan latihan dengan jumlah yang tidak terhitung. Rumus kemahiran menulis itu hanyalah jumlah melakukan dikalikan latihannya. “Kemahiran seorang pilot dipersayaratkan memiliki 10.000 jam pengalaman dalam menerbangkan pesawat, baru boleh menerbangkan pesawat; maka berapa jamkah jika kita memimpikan berkemahiran dalam menulis?” begitulah analog yang disampaikan Sutejo untuk memberikan ilustrasi kepada peserta.
“Keterampilan menulis itu seperti jenis keterampilan lainnya.” Ungkap Sutejo sambil terus menanyakan satu persatu jenis keterampilan yang dimiliki oleh kecenderungan manusia dalam kehidupan ini. Dia bergerak ke hampir seluruh peserta untuk menanyakan keterampilan apa saja yang dia pahami. Dari situlah kemudian peserta menyadari bahwa menulis itu tak ubahnya dengan keterampilan yang lain. Seperti naik sepeda, merangkai bunga, memasak, berjalan, berenang, menerbangkan pesawat, mengendarai mobil, dan seterusnya. “Tugas Bapak dan Ibu hanyalah menyediakan waktu setiap hari untuk melatih menulis. Menulis apa saja. Tentang apa saja. Jangan takut salah, atau tidak baik tulisan Anda. Berbuat salah karena melakukan sesuatu itu jauh lebih penting daripada orang yang tak pernah salah karena tidak melakukan apa-apa.” Paparnya sambil terus bergerak di antara peserta pelatihan komunitas literasi.
Setelah itu, sejumlah peserta berebut bertanya kepadanya. Salah satu peserta bernama Ibu Khotidjah dari SDN 1 Sungailiat, Bangka; mempraktikkan teknik kaguman yang diinduksikan oleh Sutejo. “Menulislah dari apa yang Anda kagumi. Anak-anak pasti memiliki orang-orang yang dikaguminya. Guru, ibu, teman, dan ayah adalah urutan orang yang seringkali dikagumi oleh anak-anak di sekolah dasar (SD). Teknik kaguman adalah cara paling mudah untuk memancing ekspresi anak-anak.”
“Hari ini aku bertemu dengan seorang lelaki. Orang botak dan mengagumkan. Begitu berbicara hampir semua katanya bermakna dan mengena. Aku terpesona. Aku mengaguminya begitu mengalirnya kata-kata dari bibirnya. Lelaki itu datang tak terduga. Berpakaian apa adanya. Sungguh tidak mengesankan sebagai orang yang penuh dengan kata-kata yang menghipnotik peserta.” Begitulah Ibu Khotidjah membaca hasil tulisannya menerapkan teknik kaguman yang disarankan Sutejo. Peserta pun konta bertepuk tangan riuh menyambut kemengaliran tulisan kawannya.
“Saya dulu orang miskin yang sering direndahkan banyak orang. Dihina dalam hidup sungguh tidak menyenangkan. Membaca dan menulis adalah terapi dahsyat yang membuat saya bisa berbicara kini di depan Bapak dan Ibu tercinta.” Pungkasnya mengakhiri sesi yang tak terduga. Peserta pun kemudian riuh meminta untuk berkenan foto bersama. [] Red/ Tim Humas