Dua Novelnya Terbit di Jerman dan Amerika
Setahun dua bulan, sastrawan Arafat Nur tinggal di Ponorogo. Sejak meminang gadis pujaan hatinya asal Ngrayun, Ponorogo. Selama di Bumi Reyog ini, dua novel yang masih dirahasiakan judulnya segera diluncurkan.
Nama Arafat Nur melambung setelah novel Lampuki diganjar dua penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 dan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2011. Novel itu diselesaikan dalam rentang tiga tahun.
Sastrawan 45 tahun ini lahir di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Dia besar di tengah gejolak politik dan konflik sosial berkepanjangan. Saat remaja, dirinya pernah diculik karena sering menulis puisi dan cerpen. ‘’Dianggap sebagai mata-mata oleh sebuah kelompok,’’ katanya.
Kisah penculikan itu cukup dramatis. Ada dua orang tak dikenal membawa Arafat ke tengah hutan. Tidak jauh dari sebuah sungai, nyawanya hendak dihabisi. Belum sampai terjadi, berita itu sampai ke telinga sebuah organisasi kemanusiaan. Beruntung, nyawanya terselamatkan. Dia pun pernah menerima ancaman gara-gara tulisannya di sebuah surat kabar. Rumahnya dibakar habis. Membuat kedua orang tua dan keempat adiknya keluar kampung halaman. Mencari tempat perlindungan. Tidak lama setelah itu, Arafat ditinggal pergi kedua orang tuanya. Ibunya meninggal karena sakit pada 2008. Sembilan tahun berselang, giliran ayahnya yang menghadap Sang Pencipta. Kendati sudah yatim piatu, dia bersikeras banting tulang bekerja serabutan demi lulus SMA. Dalam roda kehidupan yang keras itu, dia tetap rajin menulis. ‘’Saya menulis sejak 1996,’’ ujarnya.
Sejak remaja, Arafat terbiasa membaca cerpen dan puisi di surat kabar maupun koleksi perpustakaan sekolahnya. Sering membaca karya fiksi mendorongnya untuk menuliskan puisi. Puisi itu kemudian dikirim ke koran lokal. Ternyata dimuat dan mendapatkan honor. Pahit getir kehidupan yang dirasakannya menjadi inspirasi setiap karya yang ditulis. ‘’Saya ingin kembangkan pikiran-pikiran saya menulis opini, catatan budaya. Setelah itu menulis cerpen, baru novel,’’ tuturnya.
Sampai sekarang, sudah tidak terhitung jumlah karya yang dihasilkannya. Semua novel memiliki kesan berbeda. Lampuki bercerita tentang Aceh saat menjadi daerah operasi militer pada 2011 silam. Novel itu sempat membuat golongan tertentu marah dan menghujatnya. Hingga Arafat memilih kabur meninggalkan tanah kelahirannya. ‘’Saya orangnya tidak bisa mengkhayal. Saya menulis terikat dengan kondisi lingkungan, tragedi, politik, kearifan lokal, dan kehidupan sosial yang betul-betul berlangsung. Umumnya di Aceh,’’ jelas pria yang juga pernah menjadi jurnalis ini. Dia berharap novelnya bisa dinikmati banyak orang. Sampai sekarang, sedikitnya dua novel karya Arafat telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Burung Terbang di Kelam Malam terbit di Jerman dan Lolong Anjing di Bulan beredar di Amerika Serikat. ‘’Kuncinya banyak membaca buku apa saja dan berlatih sungguh-sungguh,’’ pungkasnya. *** (fin/c1)
Pewarta: DILA RAHMATIKA, KOTA, Jawa Pos Radar Ponorogo
Feature tokoh terkait telah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponororo, Edisi 02 Oktober 2019.