Menulis itu Mengukir Kehidupan
Perempuan menjadi tema utama di Hari Kelahiran Puisi. Antologi cerpen yang baru sebulah diterbitkan Sapta Arif Nur Wahyudin. Pria kelahiran Banyumas 1994 yang kini menetap di bumi Reyog itu memiliki pandangan unit tentang perempuan, puisi dan kota.
Perempun adalah kota yang sapi, tapi tidak mati. Ia memiliki banyak persimpangan, mobil tua yang kadang terparkir rapi, tidak jarang pula sembarangan di sudut-sudut jalan. Gedung-gedung yang menjulur tinggi, permukiman, jalan yang lengang, lampu merah hijau di perempatan, sangat sepi. Namun tidak mati. Dia hanya menunggu, seseorang tinggal di dalamnya. Maka jangan heran aku berpesan, jangan pernah meninggalkan seorang perempuan dalam keadaan sepi.
Nukilan di cover belakang antologi cerpen itu menarik untuk dibaca. 19 cerita pendek itu merupakan kumpulan karya Sapta Aruf Nur Wahyudin sejak pertama kali menulis, 2015 silam. Gagasan tentang perempuan, puisi, dan kota dikemas dalam cerita yang enak dibaca. “Biasanya mulai nulis malam hari mulai pukul 00.00. Itu waktu yang nyaman untuk menuangkan gagasan,” kata Sapta.
Tak sembarangan, tujuh dari 19 karya yang di-antologikan itu keluar sebagai juara sayembara tingkat nasional dan telah berseliweran di beberapa media nasional. Cerpen berjudul Wabah Mimpi Kematian di Codet misalnya, didapuk sebagai Juara Sayembara Sastra Bunga Tanjung Biru (2016). Cerpen berjudul Candra Mawar, Renjana, Serendity, Tiga Cerita Satu Malam, Lelaki Bermata Seputih Susu, dan Jangan Pernah Meninggalkan Perempuan dalam Kesepian dimuat beberapa media terkemuka. Mulai harian Suara Merdeka, Solo Pos, Radar Surabaya hingga Radar Malang. “Hampir keseluruan berbicara tentan perempuan,” lanjutnya.
Sapta mulai tertarik menulis sejak SMA. Terutama semenjak membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk besutan Ahmad Tohari. Dia pun mulai berkarya setelah tiga tahun menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Karya pertamanya dituangkan dalam bentuk puisi dan dinobatkan sebagai puisi terbaik dalam Cipta Puisi Suara Pemuda Jogjakarta. Setahub kemudian, Dia tertarik menulis cerpen hingga sekarang. Bertepatan bergabung bersama teman kuliah mendirikan Gerakan Menulis Buku Indonesia (GMBI). “Puisi juga menari dibahas dalam cerpen,” ungkap putra pasangan Supriadi dan Sri Kundhiarsih itu.
Karya solo perdananya itu berisi tiga bagian. Yakni kelahiran, kehidupan, dan kematian. Tiga bagian itu dihubungkan dengan pengembaraan perempuan yang diibaratkan layaknya puisi. Dalam kisahnya dikaitkan dengan gemerlapnya kota. Sederhananya, menuliskan semangat kehidupan perkotaan secara manusiawi. Selain menggunakan kata yang renyah, narasi dan deskripsi yang kuat dibangun penulis. “Ada banyak cerpen yang diterbitkan dalam antologi bersama. Tapi sudah lupa judul-judulnya,” sambungnya.
Dalam mengakhiri tulisan Sapta ending mengantung. Alasannya, Dia ingin memberikan ruang kepada pembaca menuangkan gagasan mengambil kesimpulan cerita. Selan agar pembaca penasaran. Pertanyaan-pertanyaan bakal menguap usai membaca akhir cerita. Itu merupakan ciri khas dari cerpenis yang kuliahnya molor hingga tujuh tahun ini. Sebab harus menularkan semangat literasi di berbagai daerah. Bersama GMBI, Sapta pernah mencatatkan dua rekor MURI bidang literasi. Dengan menerbitkan antologi Resolusi Hidup dengan peserta terbanyak mencapai 7.750 mahasiswa pada 2017. Setahun setelahnya dia menggelar Lomba Menulis Puisi dengan peserta terbanyak mencapai 19.991 siswa.
Penulis yang konsisten menuangkan waktu dua jam sehari itu pun diundang ke istana presiden, awal tahun ini. Untuk berdiskusi dengan Tenaga Ahli Madya Kedeputian IV Kantor Staf Presiden seputar literasi nasional. “Menulis itu mengukir kehidupan,” ucap salah satu dosen STKIP PGRI Ponorogo itu.***(fin)
Pewarta: Nur Wachid, Jawa Pos Radar PonorogoProfil terkait dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi 21 Juni 2019