Literasi itu Sehatkan Jiwa
Banyak referensi menunjukkan bahwa orang yang berliterasi (membaca-menulis) itu sehat jiwa. Sebaliknya, yang tidak berliterasi, –logikanya—akan menjadi tidak sehat. Mengapa? Membaca, mengayakan pikiran, hati, jiwa, dan rasa. Pun dengan menulis, bisa jadi lebih dari itu. Seorang penulis, dengan kemahirannya, mampu mengorkestrasikan semua komponen hidup dalam tulisannya.
A Chaedar Alwasilah dan Senny Suzzana Alwasilah berpesan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menulis” (2005: 207). Ketika keduanya menulis buku Pokoknya Menulis, salah satu yang dikritisi adalah rendahnya kemampuan menulis dosen dan mahasiswa di Indonesia. 12 tahun sebelum menulis buku itu, mereka mengungkapkan sebuah hasil penelitian terhadap mahasiswa S1, S2, dan S3 di Universitas Bloomington, AS; yang menggambarkan realita kemampuan menulis orang Indonesia yang memprihatinkan. (Ingat buku itu ditulis tahun 2005, artinya sudah 25 tahun jika ditarik ke sekarang).
Inilah hasilnya! Pertama, 75% pendidikan di Indonesia tidak membekali maha(siswa) untuk menulis paper. Kedua, 68% tidak mengajari mereka kemampuan berpikir kritis. Parahnya, yang ketiga, 75% menulis paper merupakan tugas akademik yang sulit. Temuan demikian, tampaknya, bisa diterima sampai sekarang. Pengalaman menunjukkan, bahwa dunia menulis –sungguh masih jauh—dari harapan. Apalagi, jika itu dibandingkan dengan negara-negara tetangga, apalagi negara maju yang lain.
Mengapa bisa terjadi? Menurut kedua penulis itu, hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah kekeliruan dalam pembelajaran menulis. Kekeliruan itu meliputi: (i) literasi dipahami sebagai membaca; (ii) maha(siswa) tidak perlu diajari cara menulis; (iii) penguasaan teori menulis akan membuat maha(siswa) mampu menulis; (iv) tidak mungkin mengajarkan menulis dalam kelas-kelas besar; (v) menulis dapat diajarkan manakala maha(siswa) telah menguasai tata bahasa; (vi) karangan yang sulit dipahami menunjukkan kehebatan penulisnya; (vii) menulis dapat diajarkan manakala maha(siswa) sudah dewasa; (viii) menulis karangan naratif ekspositoris harus lebih dahulu diajarkan; dan (ix) pengajaran bahasa adalah tanggung jawab guru/dosen bahasa. Di sinilah, ironi pembelajaran menulis dalam dunia pendidikan kita.
Temuan “kambing hitam” itu, sungguh menunjukkan “centang perenangnya” dunia pembelajaran menulis di Indonesia. Apalagi, diperparah oleh budaya intelektual kita yang belum meletakkan kepenulisan sebagai “panglima” keilmuan. Menulis disindir sebagai profesi yang tidak jelas, sebaliknya, materialisme –jauh lebih parah—menggerogoti mentalitas intelektual kita. Hidup yang penting material, uang, harta, dan benda. Ilmu menjadi “dunia samping” yang dipandang “daripada tidak”.
***
Untuk itu, berangkat dari problem yang –bisa dibilang mendasar itu—pentinglah untuk menata ulang pikiran dan kebijakan. Baik secara pribadi dan –terlebih—secara institusi, untuk menyadari bahwa keterampilan menulis adalah sesuatu yang mulia, penting, dan memuliakan pemiliknya. Bahkan, menulis adalah “tugas kenabian”, pengembalaan moral yang akan meningkatkan derajat umat manusia.
Di sinilah, maka penting untuk menengok sebuah buku menarik dari James W Pennebakter, Ketika Diam Bukan Emas: Berbicara dan Menulis sebagai Terapi (Mizan, 2002). Buku Pennebeker itu, sungguh menginspirasi kita bahwa dengan menulis kita bisa mulia, bahkan menjadi sehat kejiwaan kita. Sebaliknya, jika tidak menulis maka dapat diindikasikan kita sedang terindikasi gejala sakit jiwa.
Memang, konteks Pennebeker agak berbeda memperuntukkan ketrampilan menulis ini. Sejak awal, memang dioreantasikan sebagai terapi jiwa, mereka yang mengalami gangguan mental. Ternyata, dari pengalamannya berpuluh tahun, ditemukan bahwa menulis dapat dimanfaatkan untuk terapi. Melepaskan emosi negatif yang berkelindan dalam kejiwaan seseorang. Untuk itu, jika Anda ingin sehat pikiran dan jiwa, maka menulislah![]
Penulis Dr. Sutejo, M.Hum (Ketua STKIP PGRI Ponorogo)
Artikel terkait dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi Juni 2017
Previous