Doa I
Semua orang tentu pernah berdoa. Bahkan, ada orang yang keranjingan dengan kegiatan yang bernama berdoa. Berdoa adalah kegiatan rutin manusia yang merasa lemah dihadapan-Nya. Mereka selalu ingin mendekati-Nya. Mereka mengejar-ngejar-Nya. Mereka ingin menggauli dan bergumul dengan-Nya, bahkan mereka ingin menyatukan dirinya dengan-Nya. Oleh karenanya, “jangan-jangan Tuhan ada di bola” seloroh budayawan kita, Sindhunata, sewaktu manusia terhipnotis bola dalam perhelatan piala dunia. Karena, pada waktu itu semua mata dipenjuru dunia memperhatikan bola yang dimainkan oleh bintang-bintang sepak bola dunia.
Jikalau Tuhannya harta, berdolah ia dihadapannya dan berusaha untuk mengumpulkannya. Jikalau Tuhannya tahta, berdoalah ia di hadapannya dan berusaha meraihnya. Jikalau Tuhannya wanita, berdoalah ia di hadapnya seraya memuja. Jikalau Tuhannya iblis, berdoalah ia di hadapannya dan berkoloni denganya. Jikalau Tuhannya kemewahan dunia, berdoalah ia di hadapannya dan berusaha hidup selamanya. Jikalau Tuhannya perdamain, berdoalah ia di hadapannya dan berupaya untuk menciptakannya. Jikalau Tuhannya cinta, berdoalah ia di hadapnya dan terus-menerus mewujudkannya. Jikalau Tuhannya Allah, ia berdoa dihadapan Allah dan berjanji mematuhi perintah-Nya.
Ada sejumlah orang yang suka berdoa, waktunya dihabiskan untuk berdoa. Siang-malam, pagi-sore berdoa, tiada hari tanpa doa, tiada waktu tanpa doa, bahkan tiada detik tanpa doa. Tampaknya, mereka hoby berdoa kalau tidak bisa dibilang pekerjaannya berdoa. Mengapa ia suka melakukannya? Memang, berdoa pekerjaan yang tak membutuhkan ini dan itu. Ia sangat gampang dilakukan. Tidak perlu cucuran dan peluh keringat.
Meski demikian, tampaknya, berdoa juga mengenal musim dan menjadi barang pesanan. Pada musim haji, tetangga saya yang akan menunaikan rukun Islam kelima banjir pesanan doa. Sanak saudara, para tetangga, dan handai taulan semua berkunjung ke rumahnya. Tidak satu pun yang tidak titip doa untuk disampaikan kepada-Nya. Mereka titip minta ini dan itu, terkait dengan segala problem hidupnya. Mungkin, mereka berprasangka saat musim haji Tuhan berada di Makkah Al Mukaromah, tepatnya di dalam ka’bah.
Melihat aktivitas tetangga menjelang keberangkatannya, saya teringat sajak Hamid Jabbar berjudul “Doa Terakhir Seorang Musyafir”. Puisi itu hanya berisi satu larik yang terdiri atas satu kata yakni /Amin/. Judul yang terdiri atas empat kata itu ditulis di halaman bagian atas, sementara isi puisinya yang cuma satu kata itu ditaruh di lembar bagian bawah. Oleh karenanya, bagian tengah lembar puisi itu kosong mlompong, putih bersih tanpa ada coretan apa pun. Putih bersih bagai fitrah manusia yang baru lahir.
Mengapa dalam puisi Hamid Jabbar itu seorang musyafir hanya berdoa dengan satu kata “amin”? Apakah harapan seseorang yang menjalankan ritual berdoa, kalau bukan semua permohonannya dikabulkan oleh-Nya. Mengapa Hamid Jabbar menyuguhkan ruang kosong dalam sajaknya? Bukankah Tuhan mahademokratis? Oleh karenanya, dalam urusan doa tampak bahwa Tuhan menyerahkan sepenuhnya kepada umatnya. Tuhan membebaskan umat manusia dalam berdoa. Tuhan tidak memandang baju mereka. Tuhan tidak melihat kulit mereka. Tuhan tidak tahu-menahu keturunan mereka. Tuhan tidak acuh dengan bangsa mereka. Tuhan tidak peduli partai mereka. Yang penting kita berdoa Tuhanlah yang membijinya.
Bukankah umat manusia boleh berdoa kapan saja? Bukankah Tuhan tak terhalang oleh sang waktu? Bukankah umat manusia boleh berdoa di mana saja? Bukankah Tuhan ada di mana-mana? Bukankah umat manusia bebas berdoa menggunakan bahasa yang disukainya? Bukankah Tuhan mahapandai berbahasa? Bukankah Tuhan maha segala-galanya? Sudahlah, silakan berdoa kalau Anda ingin berdoa!
Yang penting jangan terjebak pada seloroh penulis berbakat yang fokus pada serial diskusi persoalan tasawuf modern, yakni Agus Mustofa, yang tertuang pada sampul buku Berdoa ataukah Menyuruh Tuhan (2009). Judul buku nyentrik nan seksi itu membuat dahi agak berkerut sambil domblong sejenak. Mengapa tidak, karena begitu melihat sampulnya mesti berhenti meski sebentar pada tulisan “he..he..he… Lha wong Tuhan kok disuruh-suruh….”.
Penulis: Dr. Kasnadi, M.Pd (Dosen dan Ketua Tim Pengembang STKIP PGRI Ponorogo)
*Artikel terkait pernah dipublikasi Jawa Pos Radar Ponorogo, Edisi Juli 2017.