Sastra Jawa Menjawab Konsistensi Antara Reyog-Reog
Hingga detik ini, Suasana kabur masih merundung sejarah Reyog Ponorogo. Kesenian agung Ponorogo ini, terhenti urusan politik-seni masa lalu dalam pengungkapan sejarahnya. Paling banter, sejarah Reyog terdeteksi para akademisi pada dekade sejarah perkembangan seni pertunjukan zaman pergolakan 65. Lalu, bisakah memandang Reyog dari persepektif lain? Mungkin dari karya sastra jawa?
Tahun ini, salah satu media online (antara.news (27/8/2019) memberitakan kendala yang dihadapi Kesenian Reyog tak kunjung diakui UNESCO. Salah satu hal yang diungkap adalah konsistensi penyebutan antara Reyog atau Reog. Otomatis, pendekatan historis dipakai sebagai penyelesaiannya. Pendekatan historis itu pun mengakui validitas data konkrit (fisik) adalah arsip. Saya pun bertanya kembali, sampai saat ini arsip mana yang telah konkrit ditemukan?
Tak mengesampingkan perdebatan prihal ontologis kata Reyog ataupun Reog. Ataupun akronim kata yang saat ini digunakan sebagai penyebut kesenian asli Ponorogo. Coba kita permasalahkan konsistensi Reyog ataukah Reog sebelum melangkah secara ontologis.
Di tahun 2015, saat saya sedang menempuh studi Sastra Jawa di UNS. Karya sastra Jawa yang paling sering diperbincangkan adalah Serat Centhini. Katanya, Serat Centhini itu ensiklopedi budaya jawa. Saya pun iseng mencari kesenian kota kelahiaran saya, Ponorogo. Dan apa yang terjadi? Saya pun menemukan sepenggal cerita mengenai kesenian Reyog dalam Serat Centhini, tepatnya di jilid IV.
Selesai menempuh studi di tahun 2018, saya pun terkaget. Kenapa di Kota saya masih memperdebatkan penyebutan Reyog atau Reog. Apa Karya sastra Jawa tak pernah digunakan untuk penggalian? UU No.5 Tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan tak pernah terpegang? Jelas, manuskrip (termasuk Serat Centhini) menjadi satu objek yang tertulis dalam Undang-Undang tersebut.
Saya pun bertanya kembali, sampai tahap mana keseriusan pemerintah Kabupaten Ponorogo mengumpulkan seluruh data historis mengenai Reyog?
Menengok Serat Centhini
Sekedar menunjukkan, Serat Centhini merupakan salah satu judul karya sastra jawa yang selesai dibuat kisaran tahun 1814 Masehi. Terdiri dari 12 jilid, Serat Centhini yang dulu bernama Suluk Tambangraras itu pun diakui sebagai karya besar berisi berbagai pengetahuan budaya Jawa.Disinilah kesenian Reyog ini saya jumpai.
Dalam karya sastra Jawa ini menyebutnya “Reyog” Tersusun dengan huruf “Y”. Di Serat Centhini Jilid IV tercatat begini “Warok gêgêk wontên malih dènrêmêni | dados reyog mawa | gêndruwon barongan jathil | ingkang dados rêringgitan || (Pupuh Maskumambang, Pada 34)” Sangat jelas Reyog yang terkonteks adalah Reyog Ponorogo.
Mendeteksi Serat Centhini ini pun kita mendapatkan pijakan anyar tahun keberadaan kesenian Reyog. Tak sekedar awang-awang waktu. Begitu jelas, Reyog dalam kurun pembuatan Serat Centhini muncul sebagai kesenian. Tak sekedar terhenti pada ritul tolak balak yang belum pasti kapan itu terjadi.
Lewat Serat Centhini Reyog dapat ditemukan data ontentik yang lebih tua, ketimbang pergolakan 65. Pemerintah tinggal meneruskan kajian terhadap perkembangan Reyog Ponorogo yang lebih serius. Agar masyarakat pecinta kesenian Reyog mendapat pijakan historis yang jelas. Serta tak kelamaan menunggu pengakuan UNESCO yang telah begitu lama dinanti. Sehingga, khalayak tak terlalu begitu ngambang terkait sejarah panjang kesenian Reyog Ponorogo. Sastra Jawa menawarkan dirinya untuk dikaji, demi pemajuan kebudayaan itu.
Frengki Nur Fariya Pratama staf LPPM dan penggiat Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo, Sekretaris Litbang PC NU Ponorogo, anggota Pramuka Garuda Pandega.
*Artikel telah terpublikasi Jawa Pos Radar Madiun, Edisi 5 Januari 2020.