[Cerpen] Pertanyaan Kalila
oleh: Suci Ayu Latifah
“Kapan Eyang pulang, Bu?” tanya Kalila.
“Kamu berdoa saja untuk Eyang.”
Ibu menelangkupkan selimut di tubuh Kalila. Ia meninggalkan anak berumur enam tahun itu dalam remang-remang lampu kamar. Ada luka yang menganga. Hatinya koyak keras, perih.
Siapa tahu bahwa benar Kalila sudah tidur. Anak bermata bening itu lantas menghempas selimutnya hingga di pinggir kasur. Dibukanya bibir jendela kamar. Malam itu ia menunggu bintang jatuh. Kata Eyang, berdoa saat ada bintang jatuh akan dikabulkan.
***
Kisah ini terjadi dua musim lalu. Empat orang berseragam loreng datang ke rumah. Dua di antaranya tanpa basa-basi menyeret tangan Eyang. Tubuh renta Eyang terhuyung. Mereka terus menyeret lebih kuat. Satu orang lainnya membuang buku yang mula dipegang Eyang. Orang satunya lagi, membungkam mulut Eyang dengan kain kumal.
Kau tahu, saat itu Eyang sedang mendongengkan Kalila tentang sejarah. Tibanya orang bertubuh gempal itu Kalila meringkuk di bawah meja ukir. Baju birunya sudah penuh dengan ingus. Ia berteriak-teriak memanggil Ibunya yang ada di dapur sambil sesekali membuka menutup mata.
“Lepaskan Eyang!” pekik Kalila menyadari Eyang diseret keluar oleh orang-orang bertubuh gempal. Wajahnya seram seperti monster-monster di kartun. Dengan sebilah hati yang mulai retak, Ibu memeluk Kalila erat. Kalila ketakutan. Wajahnya mendadak pucat. Ingusnya terus mengalir hingga kerah baju terasa basah.
Tentang kepergian Eyang, Kalila tidak pantas tahu. Sebab Ayah takut, kelak saat ia dewasa akan tumbuh jiwa pendendam sepertiku. Tetapi, aku tidak menyesal memiliki rasa dendam ini. Aku tahu diri meletakkan dendam. Berbeda dengan Kalila, anak baru bisa membaca itu.
Suatu malam, saat Kalila menangis, Ayah datang membawa beberapa buku dongeng tentang sejarah. Kalila meraih buku itu. Sobekan plastik pembungkus buku berhamburan di lantai. Ia tidak menghiraukan, meski akan dimarahi Ibu kalau saja tahu membuang sampah tidak pada tempatnya. Malam itu, ia tidak tidur. Terus membaca buku itu sampai habis.
Gerhana mengembang di atas pohon jambu. Cahayanya menyembul membuat kampungku terang. Lebih terang di luar daripada di dalam saat Ibu benar-benar mematikan lampu kamar Kalila.
Di ruang tengah, aku sibuk mengerjakan tugas kuliah. Di saat itu pula, Ibu mendekat. Ia membawa dua gelas teh hangat. Satu untuk Ibu sendiri, dan satunya lagi untukku.
“Apakah Eyang akan baik-baik saja, Bu?”
“Kamu berdoa saja untuk Eyang.”
Jawaban yang sama saat Kalila bertanya tentang Eyang. Aku menggerutu kesal dalam hati. Mengapa Ibu tidak mau cerita padaku. Apa Ibu sangka aku tidak lebih dewasa. Setidaknya, aku bisa menggantikan Ibu saat ia merasa sesak begitu Kalila bertanya tentang Eyang. Aku tahu, setiap malam kepingan hati Ibu runtuh. Kalau sudah begitu, segera Ibu menelangkupkan selimut, lalu mencium kening Kalila dan mematikan lampu.
“Sampai kapan Ibu menyakiti diri sendiri?”
“Kamu ini bicara apa, Nabil?”
Itulah kebiasaan Ibu. Selalu balik bertanya saat ditanya. Atau, selalu mengelak supaya aku tidak bertanya terus-terusan tentang masalah di rumah.
“Aku berhak tahu!”
“Ibu tahu, aku bisa mendatangi monster-monster itu dan meminta melepaskan Eyang.”
Suaraku meninggi. Amarahku menguap. Aku menyakiti Ibu. Refleks, aku meringkuk di lutut Ibu. Kelewatan. Setidaknya aku lebih sabar lagi sampai Ibu benar-benar buka mulut tentang apa yang terjadi dalam keluarga ini, kataku dalam hati.
Sebentar kemudian, Ayah datang, lalu mengajakku keluar di bawah pohon jambu. Di sana ada kursi panjang. Kursi dari bambu apung itu sengaja diletakkan di sana. Dulu, kursi itu sering dijadikan Ayah dan Eyang bercerita.
Suatu malam Ayah pernah berucap, “Kursi ini menyimpan seribu cerita tentang Eyang.” Dan, malam itu kami menghabiskan malam bersama. Tapi, bukan untuk bercerita tentang Eyang. Ayah mendudukkanku, lalu bertanya tentang masa depan.
***
“Kapan Eyang pulang, Bu?” tanya Kalila suatu malam.
“Kalila, ada bintang jatuh!” seru Ibu.
Ibu tidak sekalipun menjawab begitu Kalila bertanya tentang kepulangan Eyang. Lantas, anak berambut ikal itu mencari bintang yang dimaksud. Segera menengadahkan tangan seraya berdoa supaya Eyang segera pulang.
Sebelumnya, aku kasih tahu kalian tentang Eyang. Aku tahu ini bukan dari Ayah atau Ibu. Atau, bukan saat menguping Ibu dan Kalila di kamar. Tetapi dari kertas yang jatuh di ruang tengah, saat Ayah dan Ibu bercengkerama secara diam-diam. Sementara aku berada di dapur usai makan malam.
Eyang adalah salah satu pemberontok pada zaman mudanya. Dengan seperangkat keberanian, Eyang hendak membongkar taktik kebohongan pejabat. Eyang adalah orang biasa, tidak memiliki kekuasaan apapun. Diminta mencalonkan menjadi gubernur ia tolak mentah-mentah. Jangankan itu, diminta menjadi wali kota saja tak sudi.
Eyang tidak suka berurusan dengan orang-orang pemerintahan. Mereka kalau bicara seperti orang melindur. Apa saja dilontarkan. Asem rasanya. Mulut mereka tak lebih sedap dari bunga bangkai sekalipun. Kalau aku punyai keberanian lebih, kuambil gunting pemotong rumput. Kuhabisi mulut mereka supaya tidak banyak bicara. Juga tangan mereka yang kini doyan menggenggam Soekarno, Hatta, Djuanda Kartawidjaja, Sam Ratulangi, Frans Kaisiepo, hingga Pattimura.
“Kalau mereka tidak mau mengaku, akan kubongkar niat jahatnya. Mereka itu setan berdasi!”
Itulah yang menyebabkan Eyang diculik para monster bangsat itu.
“Eyang yang meminta,” kata Ayah samar-samar.
“Aku tidak kuasa. Kalila terus menanyakan Eyangnya. Anak itu rindu dengan cerita sejarah,” isak Ibu, sesekali mengutuk air matanya supaya tidak jatuh.
“Akan aku gantikan!”
Tak lama, Ayah membuka tas kecil. Ia memasukkan amplop warna putih ke tas. Bersamaan itu, selembar kertas bertinta hitam terjatuh di kolong meja. Ayah tidak tahu, begitupula Ibu. Dari dapur, aku merunduk-runduk mengambil dan membawa kertas itu ke kamar. Setiba paragraf terakhir, benih dendam tumbuh. Tubuhku ketempelan setan. Aku marah atas penuduhan Eyang menggelapkan dana desa sepuluh tahun silam.
“Bangsat! Mengapa kejadian sepuluh tahun lalu baru dipermasalahkan. Ke mana saja mereka selama ini,” gerutuku.
Bola api dalam jiwa mengobar. Aku tidak terima. Kupastikan penuduhan ini hanyalah rekayasa mereka—orang-orang gila jabatan. Benar. Akan kubunuh mereka, kalau saja menuduh Eyang tidak-tidak.
***
“Kapan Eyang pulang, Bu?” tanya Kalila pada Ibu.
“Kalila berdoa saja untuk Eyang.”
Suara Ibu berusaha tegar. Aku tahu, kepingan hati Ibu runtuh satu per satu ketika anak bungsunya menanyakan tentang kepulangan Eyang. Aku tidak mengerti sampai musim ke berapa Kalila menanyakan itu. Ia tidak bosan, dan Ibu tidak pula buka mulut.
Lampu kamar Kalila remang-remang. Ibu sudah pergi membawa kepingan hatinya. Kalila membuka bibir jendela kamar. Malam itu tidak ada bintang jatuh. Jangankan bintang jatuh, satu bintang pun tidak tampak. Rupanya awan telah menyembunyikannya. Kalila kembali ke kasur dengan rasa kecewa.
Matahari miring membuat Kalila terbangun. Hangatnya menerobos masuk kamar merah jambu. Rupanya malam itu jendela kamar tetap terbuka.
“Ibu! Ibu!” teriak Kalila.
“Apakah Eyang sudah pulang, Bu? Bukankah setiap liburan sekolah Eyang mengajak naik kuda bersama?”
Ibu duduk terdiam. Kembali memungut hatinya yang runtuh. Sementara Kalila dengan lugu menatap Ibunya, menunggu jawaban.
***
Penulis tinggal di Ponorogo. Alumni STKIP PGRI Ponorogo, sekaligus tim Sekolah Literasi Gratis Ponorogo. Aktif menulis di media. Pernah mengikuti lomba cerita inspiratif Nasional 2019.
Sumber: Radar Ponorogo. Minggu, 19 Januari 2019.