BHIP!
Jangan pernah berbisik ketika aku datang melewati kalian. Karena jika aku tidak suka, akan kutebas nyawa kalian dalam hitungan tangan. Jangan pula kalian menjadi sok kenal atau ramah ketika berpapasan, karena jika aku tak suka, kepala kalian akan melayang ke jatuh ke tanah dengan luka bersimpah darah. Tak perlu kau tanyakan namaku, tak perlu juga kau hapalkan raut wajah yang memengggal kepala temanmu itu, karena dalam hitungan sepersekian, wajahku akan berubah menyesuaikan peran yang kumainkan. Tak perlu kau lakukan usaha-usaha konyol dengan menelpon aparat kepolisian, atau bahkan melapor ke TNI, kau hanya akan mendapat jawaban-jawaban yang tak ada pertanggungjawaban. Sia-sia juga jika kau mencoba lari, napasmu akan tersengal oleh kapak yang sudah melingkar di lehermu. Lebih baik diam, pasrah dan berdoa jika kau bertemu lelaki sepertiku.
Aku tidak pernah menyalahkan sesiapa, ketika aku kecil sudah diajari memegang senapan, berburu macan dan memenggal berbagai kepala hewan. Aku juga tak pernah menyalahkan bapak ibuku yang meninggalkanku terbungkus oleh selimut tipis yang dimasukkan ke kardus bekas televisi dan meletakannya di samping gereja. Kamupun tak perlu menyalahkan suster yang lalai menjagaku saat bermain di lapangan sehingga segerombol orang berseragam hitam-hitam—dengan wajah tertutup masker hitam pula— menculikku dengan membawaku ke mobil mereka. Jangan menyalahkan sesiapa kecuali pada nasibmu sendiri yang tidak seberuntung aku.
Aku yang baru berusia sepuluh tahun, dengan rutin diajak ke hutan setiap akhir pekan. Orang asing itu—aku dipaksa memanggilnya “bapak”—, mengajariku memegang senapan sehingga dalam usia ke-tujuh belas, aku sudah mahir berburu macan. Apa saja bisa kupenggal dalam hitungan sepersekian. Aku selalu diajari gerakan cepat memenggal hewan. Bahkan juga diajari bagaimana melakukan reflek yang baik ketika diserang. Setiap hari aku diajari berburu hewan tanpa belas kasihan. Bapak—orang asing itu—mengharamkanku untuk memiliki rasa kasihan: “Perasaan kasihan hanya akan melemahkan jiwamu, Nak.”
Kini aku bertengger di ujung jembatan dengan misi yang disematkan oleh majikan. Selembar foto sudah diberikan, dan tinggal eksekusi yang akan kulakukan. Lelaki—yang menjadi targetku—itu masih bercengkrama dengan istri dan anaknya di taman kota. Anaknya terlihat membuka mulutnya dengan suara yang sangat keras yang memang membuat risih telingaku. Namun bapak dan ibu anak itu selalu tertawa ketika anak kecil itu melakukannya berulang-ulang.
Lalu tiba-tiba bapak dari anak itu memisahkan diri, dia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di tengah-tengah taman. Kesempatan yang bagus untukku. Aku berjalan menuju kamar mandi dan bersiap untuk melakukan eksekusi. Aku menunggunya di lorong kamar mandi. Kutunggu beberapa saat, kemudian lelaki itu berjalan keluar dari kamar mandi. Dan benar saja, wajahnya mirip dengan orang yang ada di foto. Akupun berjalan perlahan dan setelah berpapasan dengan lelaki itu, kubungkam mulutnya dari belakang dan kupotong urat nadi yang ada di lehernya. Lelaki itupun mati seketika.
Akupun bergegas keluar dari lorong, kulepas wajahku lalu kubuang di tempat sampah. Aku tak perlu khawatir jika ada saksi mata yang mengenali wajahku, karena setiap saat wajahku bisa berubah bergantung pada peran yang kumainkan. Ada banyak sekali stok wajah di tasku. Kulitnya pun begitu tipis dan lembut, sehingga tidak membuatku kesulitan ketika memasang dan melepas. Yang membuat aku dikenali oleh majikanku adalah tanda lahir yang ada di pundak kiriku.
Mungkin kau bertanya-tanya siapa namaku. Sejujurnya, sejak penculikan itu, bapakku tidak pernah memberiku nama. Lalu nama yang pernah diberikan oleh susterku, sudah kulupakan. Karena nama merupakan kelemahan: kata bapakku. Sebuah nama hanya akan menimbulkan kenangan bagi sesiapa. Setiap saat aku bisa dipanggil oleh majikanku. Tentunya kau sudah tahu, majikanku menanamkan sebuah microchip di batok kepalaku. Katanya ini berfungsi sebagai sinyal pemanggil dan pengatur perintah. Lalu dari tempat jauh, majikanku selalu membawa remot pemanggil sebesar ponsel yang berfungsi mengirimkan perintah ke microchip di batok kepalaku. Mudah saja memakainya, tinggal pencet tombol pemanggil dan berikan instruksi, kemudian kepalaku akan terasa nyeri, dan ada bunyi: BHIP!—di telingaku yang menandakan ada tugas yang menanti. Lalu otakku segera membaca instruksi yang diberikan oleh majikanku. Aku harus segera mengerjakan instruksi itu karena jika dalam waktu yang ditentukan aku tak bisa menyelesaikan tugasku, kata bapakku, ada semacam bom yang kapan saja bisa meledak dari dalam perutku. Maka dari itu, aku sudah tidak bisa menghindar bahkan membangkang dari majikanku—orang yang bahkan tak pernah kujumpai wajahnya sama sekali.
Jangan coba-coba kau tanyakan padaku tentang hak asasi manusia, hak hidup atau hak untuk merdeka: bagiku semua itu bajingan tengik yang tak ada buktinya di dunia ini. Aku sudah menanggalkan itu semua sejak suster menemukanku di sudut halaman gereja.
“Bhip!”
Tanda perintah datang. Otakku langsung memproses perintah itu. Setelah terbaca, aku bergegas mengganti wajah. Kulepas wajahku yang sekarang, lalu kubuka tasku. Ada banyak wajah yang bisa kupilih di sana. Namun, kali ini aku mendapatkan peran sebagai pemuda berjas hitam dengan sepatu yang mengilap. Rupanya aku punya misi khusus kali ini, bergegas kupanggil taksi agar bisa berbaur dengan orang pada umumnya.
“Selamat sore! Mau ke mana hari ini?”
“Retro Kafe!”
“Anda terlihat lesu pagi ini, sakit?”
Sopir itu mencoba mengajakku berbincang. Dari kaca depan mobilnya bisa kulihat wajah menjengkelkannya. Dia terus mencoba mengajakku berbicara, meski kutanggapi dengan nada yang tak enak. Namun, dia tetap kukuh, mengajakku berbincang.
Dia pun masih saja terus mengajakku berbincang meski taksi yang dikendarainya sudah sampai di tempat tujuan. Dia pun menoleh padaku dengan wajah yang begitu menyebalkan itu. Aku mengeluarkan uangku untuk membayar biaya taksi itu. Dia masih tersenyum dengan sangat menyebalkan. Aku yang begitu kesalpun memukul tengkuk pengemudi taksi itu, saat dia kembali menghadap ke depan hingga tak sadarkan diri. Lalu tentu saja kupotong urat nadi di leher hingga hilang napasnya. Tunai sudah kejengkelanku padanya. Lalu kutinggal saja taksi itu. Agar lebih meyakinkan, kuambil segepok uang yang ada di dompet dan laci mobilnya. Aku yakin, orang-orang akan mengira, taksi ini mengalami perampokan biasa. Akupun melanjutkan perjalanan.
Targetku kali ini adalah seorang penjual koran. Aneh memang, tak ada yang istimewa dari penampilannya. Tak ada yang menunjukkan sebuah kekayaan dari raut wajahnya. Tak ada pula kisah kejayaan di keriput yang mulai menjalari dahinya. Barangkali hanya satu yang membuatnya tampak istimewa, lengannya buntung di kiri. Satu tangan kanannya begitu kokoh menyangga setumpuk koran.
Tiap kali lampu merah menyala, dia menjajakan korannya ke tengah jalan. Lalu kembali menepi ketika lampu hijau menyala. Ada dua orang lagi di sana: dua bocah pengamen yang begitu akrab dengannya.
Aku yang masih duduk di halte seberang, terdiam mengamati ketiga orang itu. Dua bocah pengamen itu, kerapkali mengampiri penjual koran ketika lampu hijau menyala. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan ada gelak tawa di antara mereka.
Agak lama aku menunggu, namun kejengkelanku mulai memenuhi ubun-ubun kepala. Barangkali harus kubunuh juga kedua bocah itu. Akupun berdiri berjalan menyeberangi jalan. Penjual koran itu terlihat duduk bersandar dengan sebuah perbincangan hangat dengan dua bocah itu.
Kusiapkan belatiku.
Aku terus melangkah menikmati sisa-sisa terakhir raut wajah penjual koran itu. Tak beberapa lama aku sudah berdiri tepat di depan penjual koran yang sedang duduk bercerita dengan dua bocah pengamen di depannya.
Dia melihatku.
Akupun mengeluarkan belati.
***
Surakarta, Maret 2017
Cerpen ini tersiar di Malang Post 18 Agustus 2019
SAPTA ARIF NUR WAHYUDIN. Aktivis Pramuka yang suka menulis pepuisi, cerita-cerita dan diskusi. Pemenang Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru 2018. Buku pertamanya “Di Hari Kelahiran Puisi”. Kini aktif di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo. Bersama mertuanya, Dr. H. Sutejo, M.Hum, kini sedang mengembangkan keluargaliterasi.com. Bisa disapa melalui akun IG: @saptaarif.