Menulislah dengan Energi Kesadaran
Dalam belajar bareng dengan kawan-kawan LTN PC NU Bondowoso, beberapa hari lalu, saya tesentak karena diberondong salah seorang peserta seputar pertanyaan: “tulisan yang kontroversial?”, “Buku Anda diterbitkan di mana?”, “Manfaat menulis,” dan pengakuan dirinya, “Saya seorang dosen yang lagi menekuni ilmu eskatologi.”
Mulanya, sangat senang, pertanda forum diskusi menyala, bersinar hidup. Tetapi, ketika dia terus “mendesakkan situasi” tentang pandangan saya bagaimana bumi itu datar, penyusunan juz-juz dalam al-Qur’an yang salah, dan maulid nabi yang bid’ah; saya jadi jengah! Plus diiringi cerita tentang guru-guru keilmuan (tetapi tampaknya bukan dalam filosofi berguru dan pengembaraan diri) tetapi, hem, logika bawah sadar saya mengingatkan, bahwa lelaki ini memiliki “tujuan lain”. Tidak saja tujuan lain, tampaknya ia sedang berproses tumbuh.
***
Beruntung, dengan cerdas salah satu peserta menggiring imajinasi saya tentang sejumlah hal: (i) bekal menulis, (ii) bahan menulis, (iii) bagaimana merawat ghirah kepenulisan, (iv) penanda kualitas tulisan, (v) ide tulisan, (vi) menjaga produktivitas di tengah kesibukan, (vii) membangkitkan kemandekan/kemacetian, dan (viii) hakikat dari tujuan menulis itu sendiri. Sementara, saya masih tercabik-cabik oleh sejumlah pertanyaan, sahabat Yazid, yang pesan intuisi bawah sadar saya, dia adalah lelaki yang “sakit” di kedalaman level tertentu. Dia pun kemudian, tak menyanggah pandangan saya, terlebih, ketika saya bilang, “Sampean sering sulit tidur dan gelisah kan? Sampean, sakit lho. Cepat kembali, cari guru yang bisa membantu.” Bahasa tubuh dan lisan yang bersangkutan, mengiyakan.
Sebagai seorang lelaki, yang hampir 30 tahun membersamai kawan-kawan muda menulis, fenomena ini sungguh baru. Di usia dia yang tak lagi muda, masih “menggugat Tuhan” dan mempertanyakan hakikat kebenaran –yang sesungguhnya, hanya soal “sudut pandang”. Secara komunikasi, dia mengaku “lebih tinggi” daripada hantaran saya, pentingnya bersandar pada filsafat ilmu: bagaimana menggauli ilmu yang berpijak pada kerangka bidang ontologis, epistemologis, dan aksiologis. “Ini lebih tinggi dari itu, Pak. Filsafat tidak mengaitkan ini.” Semantara, ingatan saya sebenarnya mau membalas jika Eskatologi, itu bukan cabang ilmu baru, tetapi ia menghubungkan antara filsafat dan teologi.
***
Sesampainya di rumah kawan saya, wartawan senior yang telah 25 tahun menekuni dunia kata, dia bilang, “Tak usah terganggu oleh Yazib yang sedang tumbuh. Semoga dia sedang menikmati pertumbuhan saja. Dihadirkan dan ditakdirkan membersamai kita.” Hati kecilku menjawab, “Perkembangan jiwa dia sangat terlambat, hingga di atas usia 30 tahun, masih mempertanyakan kebenaran “umum” yang sungguh, hanya persoalan, sudut pandang dan sisi teori belaka.
Saya teringat filsuf Charles Hendy sebagaimana dikutip Rhenald Kasali dalam Disruption, yang mengungkapkan bahwa cara berpikir (mindset) kita dibentuk bagaimana kita “melihat” ruang-ruang di rumah (2018:304). Kawan saya tadi, “kedua matanya” terjebak pada kesuntukan membaca “ruang-ruang hidup keilmuan”.
Bukankah kebenaran itu dimensional? Sesungguhnya lagi, kebenaran itu “sungguh-sungguh sangat relatif”, tersebab, kebenaran mutlak hanyalah milik Si Maha Ilmu.
Bagi saya, menulis itu seperti perbuatan kehidupan kita yang lain, kembalilah pada kemurnian niat. Untuk apa menulis, apakah tujuan hakiki dari kepenatan kita dalam menulis? Sekali lagi, teringatlah saya, pada penjelasan Rhenald. Bahwa mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak. Ini sama seperti ponsel yang kita setting bahasa, fitur-fitur, suara, dan lain-lain sebelum kita pakai. Ada yang setting-nya kiri-kanan, ada yang sentral (ke tengah), dan bebas kiri-kanan, ada yang membuat dirinya sempit di tengah dan dihimpit batas-batas kiri-kanan yang kaku (2018:305)
Sutejo, saat mendapat penghargaan tokoh inspiratif Jatim 2021 dari beritajatim.com
Di tengah kita hidup di era digital yang sangat membutuhkan kecepatan eksponental, di mana manusia menuntut kesegaran, real time. Di sini, kita mestinya bisa memahami apa yang disebut dengan corporate mindset. Kok, masih mempertanyakan soal mata uang dan jenis uang, bumi datar atau bulat, dan tetek mbengek lain. “Yang penting, kita bisa hidup di dunia dengan bahagia, nggak mikir bumi itu datar atau bulat kan?” sahutku dalam dialog kepenulisan itu. “Kalau sudah tahu, bumi itu datar, untuk apa kaitannya dengan kehidupan kita?”
Susah jadinya, padahal hidup kini sudah beyond. Sangat sulit diprediksi, kecuali bagi mereka yang mampu mengenali karakter kehidupan di era digital. Bagi kawan saya, Masuki M Astro, era mutakhir sangat membutuhkan apa yang disebutnya dengan “makrifati kesadaran”. Mengapa masih terjebak, pada syariat pengetahuan yang mensesatkan?
Saya teringat, sebelum ke Bondowoso, sedang asyik-asyiknya mendaras godaan pemikiran Rhenald, tentang pentingnya karakter mindset berkecepatan eksponental. Baginya, Karakter Mindset Kecepatan Eksponensial itu meliputi: (i) Adanya respon cepat: tidak terhambat; (ii) Real-time: begitu diterima, seketika diolah; (iii) Follow-Up: langsung ditindaklanjuti, tidak ditunda; (iv) Mencari jalan, bukan mati langkah; (v) Mengendus informasi dan kebenaran, bukan menerima tanpa menguji; (vi) Penyelesaian parallel, bukan serial; (vii) Dukungan teknologi informasi, bukan manual; (viii) 24/7 (24 jam sehari/7 hari seminggu), bukan eight to five (dari pukul delapan pagi hingga pukul lima sore; dan (ix) Connexted (terhubung), bukan terisolasi (2018:307).
Satu saja, jika kita terisolasi dari keterhubungan kehidupan, apa yang terjadi? Mencari kebenaran dengan “kaca mata” kuda, hanya menyakitkan karena kita telah menutup kebenaran dari berbagai arah, yang merupakan kodrat keberadaan ilmu.
***
Kembali, pada renungan awal, sesungguhnya yang akan membantu kita adalah apa sih sebenarnya tujuan awal kita menulis? Ingin tenar, kaya, kegagahan, keilmuan, atau hanya untuk menyampaikan kontroversi, yang sesungguhnya dalam kehidupan mutakhir menjadi kurang berarti untuk membangun kehidupan yang agung. Menulis itu panggilan jiwa (substilnya, bolehlah Anda menyebutnya: Ruh).
Jika boleh mengingatkan dalam teori kepenulisan dikenal beberapa tujuan menulis. Menurut Syafie’ie (1988:51-52), tujuan menulis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (i) Mengubah keyakinan pembaca; (ii) Menanamkan pemahaman sesuatu terhadap pembaca; (iii) Merangsang proses berpikir pembaca; (iv) Menyenangkan atau menghibur pembaca; (v) Memberitahu pembaca; dan (vi) Memotivasi pembaca. Tetapi, ingatlah masing-masing tujuan diri dalam kepenulisan memiliki sejumlah risiko masing-masing yang lekat padanya.
Sementara, penekun dunia teori menulis lain, yang saya kenal sejak kuliah S1, Prof. Guntur Tarigan, pernah mengutip pendapat Hugo Harting (1994:24-25) yang mengelompokkan tujuan menulis ke dalam: (i) Tujuan penugasan (assingnment purpose); (ii) Tujuan altruistik (altruistic purpose); (iii) Tujuan Persuasif (Persuassive Purpose); (iv) Tujuan penerangan (informational purpose); (v) Tujuan penyataan (self-expressive purpose); (vi) Tujuan kreatif (creative purpose); dan (vii) Tujuan pemecahan masalah (problem-solving purpose). Merenungkan kembali tujuan menulis dari dua ahli ini, barangkali menarik dan mengulik jiwa.
Di sinilah, menjadikan dunia menulis sebagai tempat kembali keilmuan yang mendamaikan, penting untuk disadari dan dijadikan pintu besar pengembangan kepenulisan kita. Sehingga, betul-betul jadi wasilah hidup yang meningkatkan keadaban dalam peradaban manusia kelak.
Bagi saya, menekuni dunia kepenulisan itu akan mengayakan diri. Kekayaan itu berupa: (i) keberkahan pahala jika niat benar, proses jiwa diri pun benar; (ii) Keberkahan uang (materi), terlebih jika kreatif mampu mewirausahakan kata-kata; (iii) Keberkahan silaturahmi, memperluas jaringan dan persaudaraan bukan sebaliknya; (iv) Keberkahan pengetahuan yang ditandai semakin tenang dan bersahabat jiwa-kesadaran penulis; serta (v) Keberkahan nama, yang dapat menginspirasi jariah ilmu kepada generasi selanjutnya.
***
Jika kita masih terjebak dalam paradigma menulis untuk kontroversi misalnya, mari kita tanyakan, “Untuk apa sebenarnya tulisan kita? Apa tujuan kita menulis?” Sementara, kehidupan mutakhir, disrupsi digital telah memporandakan kehidupan umum, kita masih gagap-tersumbat, di sudut gang pengap yang bisa jadi “mematikan” kehidupan. Menulislah dalam konteks kenikian, sehingga mampu menangguk manfaat dari jerih payah perjuangan kata-kata kita.
Katakanlah, kehidupan generasi milineal, apa yang akan kita tulis, bagaimana, dan mengapa harus menulis? Era disrupsi digital, wajib diiringi dengan budaya literasi –dalam beragamnya—dengan habituasi yang kuat dan menjiwa. Sekali lagi, mengutip Rhenald Kasali dalam Disruption (Gramedia, 2018); kita sekarang berhadapan dengan generasi milineal, di mana generasi ini sangat berbeda dengan pendahulunya.
Sebuah gambaran generasi yang ditandai oleh: (i) Mereka merasa jauh lebih merdeka, baik secara batiniah maupun lahiriah; merdeka dalam berpendapat, memilih karier, bepergian, konsumsi, dan menjalin kehidupan; (ii) Mereka berkarakter ekstrover, kurang hati-hati dalam bertindak, terlalu emosional, mudah berpindah-pindah, ingin cepat “naik kelas”, dan lebih materialistis; (iii) Mereka lebih berpendidikan dan memiliki akses besar pada segala sumber daya dan informasi sehingga memudahkan mereka dalam berkolaborasi; (iv) Masa mukim mereka terhadap segala hal menjadi lebih pendek; entah terhadap tempat tinggal, keluarga, sekolah, pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang serius (semisal ideologi atau hal-hal terkait); dan (v) Mereka lebih mengutamakan kebebasan dan kebahagiaan ketimbang aturan-aturan yang membelenggu (Kasali, 2018: 467) Sudahkah kita memikirkan fenomena ini?
Mari menulis dalam konteks kekinian sehingga berdampak dan bermanfaat bagi kehidupan kekinian. Bukan mengulik filosofi ilmu masa lalu –yang sesungguhnya memiliki kerancakan konteks—yang jelas kita tak mampu menjangkaunya. Betapa pun hebat kita berselancar ke ribuan buku dan kitab, bukankah ia kemudian hanya sekundar sifatnya?
Tetapi menggeliat di dunia kepenulisan dengan terus memperbaharui niat, agar kita tidak tersesat. Tugas penulis bagi saya, mencahayakan kehidupan bukan menggelapkannya. Menggerakkan dan menginspirasi kehidupan, bukan mengacaukannya. Mengiluminasikan segala persoalan hidup melalui jendela permenungan yang mengantarkan generasi menjadi bagian dari solusi, bukan sebaliknya, sebagai sumber persoalan kehidupan milenial.
Mari, merenungkan jalan kepenulisan milenial, mengambil peran, dan berkontribusi tiada henti. Ingat, hanya generasi yang memiliki mindset berkecepatan eksponental yang mampu berbicara, berkontribusi, dan berbahagia hati menempuh jalan kepenulisan secara istikomah. Istikomah menulis butuh integritas, komitmen, dan loyalitas utuh!
Hanya menulis dalam peluk energi kesadaran-lah yang mampu menyelamatkan kehidupan ke depan. Sebuah “istana asing”, tempat kembali dari segala yang semu dan bersifat material belaka. Bukankah menulis menuntut hakikat kesadaran sebagaimana diisyarakatkan Tuhan lewat energi-filosofis Iqro’? [*]
*Penulis:
Dr. Sutejo, M.Hum (Penasihat LTN PWNU Jawa Timur)