Menjadi Abdi Negara: Ririn Ungkap Manfaat Pengalaman Kuliah di STKIP PGRI Ponorogo
Menjadi guru adalah: proses belajar sepanjang waktu; mencetak generasi baru dengan latar belakang berbeda; lebih bisa memahami sesuatu dengan cepat; dan ada tantangan tersendiri yang berhubungan dengan hati nurani.
STKIP PGRI Ponorogo adalah tempat orang-orang hebat menimba ilmu. Bukan saja ilmu pendidikan tapi juga ilmu kehidupan. Para dosen yang kompeten dalam bidangnya mampu membekali mahasiswa untuk terjun di masyarakat, khususnya dunia pendidikan. Sesuai dengan mottonya ‘mencetak guru profesional’. Kedekatan civitas akademika dengan mahasiswa adalah salah satu ciri khas kampus literasi itu. Selain itu, keberadaan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang beragam bisa diikuti mahasiswa sesuai bakat dan minatnya. Hal-hal semacam itulah yang menjadi tangga kesuksesan mahasiswanya. Ririn Puspitasari adalah buktinya. Alumnus jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2013 itu empat tahun lalu lolos seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi Kementerian Agama Jawa Timur. Lulus tahun 2017. Kini Ririn mengabdi di MTsN 5 Nganjuk. Sesuai dengan formasi yang dipilih dirinya mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia.
Jerih payah yang didapatnya tentu tidak lepas dari peran almamaternya, terutama STKIP PGRI Ponorogo. Sembilan tahun lalu, Ririn Puspitasari mantab dan yakin mendaftarkan diri di STKIP secara mandiri. Sejak subuh ia bekerja lalu sorenya mencari ilmu di kampus tercinta. Keteguhannya dalam menjalani kehidupan membuat perempuan kelahiran 20 Agustus 1993 itu pantang menyerah menggapai kesuksesan. Di kampus literasi itu, salah satu dosennya pernah mengatakan: ‘kamu harus memiliki dendam dengan kehidupan’. Pesan itulah yang membuat semangatnya menggapai mimpi semakin membara. Siapa sangka, dendam yang ditanamkan sejak 2013 silam terbayar tuntas pada 2018.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak pernah terbesit di benaknya. Mulanya, ia hanya mencoba, ingin mencari hal beda, melebarkan pengalamannya dan membaca peluang yang ada. Tahun 2018 Ririn mencoba peruntungan dengan mendaftar seleksi CPNS di Kementerian Agama (Kemenag) Jatim. Perjalanannya mengikuti tes CPNS bukan tanpa rintangan. Minus pengalaman, mendaftar di formasi yang ia sendiri tidak tahu akan ditempatkan di mana, dan tidak ada satu pun peserta yang dikenalnya. Dari hal yang mulanya coba-coba, Ririn mulai meluruskan niat. Ia lalu belajar materi dan soal-soal tes sendiri. Mulai dari materi yang berhubungan dengan logika dan yang tak kalah penting memperdalam pengetahuan dan pengalaman literasi. Ririn sadar, mengambil formasi Kemenag berarti harus siap ditugaskan di mana saja. Ia tidak memikirkan itu.
“Tidak takut ditempatkan di mana saja karena saya senang. Saya fokus saja sama serangkaian tesnya. Setelahnya saya pasrah,” ungkap perempuan yang gemar menulis itu. Berbekal pasrah, keyakinan, serta—dendamnya—pada kehidupan, mengantarkan Ririn menjadi pemenang. Dendam yang dituntaskan dengan selalu berbuat baik, mensyukuri setiap perjalanan, dan berikhtiar semaksimal mungkin.
Setelah resmi diterima di MTsN 5 Nganjuk, Ririn berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi tenaga pendidik yang terbaik bagi anak didiknya. Tentu saja, pengiringnya adalah tantangan yang tak mudah ditaklukkan. Mulai dari menyiapkan materi dan teknik yang sesuai dengan kemampuan peserta didik; membuat materi Unit Kegiatan Belajar Mandiri (UKBM) yang menggoda; hingga menyampaikan materi dengan menarik dan mudah dipahami siswa. Semua itu harus dipersiapkan dengan maksimal dan tentu saja membutuhkan pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, bahkan materi. Belum lagi, jika jadwal kegiatan dan mengajar yang padat. Apalagi ada kewajiban, UKBM yang dibuat guru harus mampu membuat guru inovatif dan kreatif.
Sebelum menjadi PNS di MTsN 5 Nganjuk, perempuan paruh baya itu pernah bekerja sebagai guru pengganti dan guru part time di salah satu sekolah di Ponorogo. Selama menjadi pendidik, Ririn merasakan benar bagaimana manfaat pengalaman dan pengetahuan saat kuliah bagi profesinya. Baik pengalaman di dalam kelas maupun dalam organisasi. Semasa kuliah di STKIP PGRI Ponorogo, perempuan berperawakan tinggi besar itu pernah menjabat sebagai ketua UKM Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) dan anggota UKM teater Wakamandini.
“Pengalaman kepenulisan, keorganisasian, dan teater itu sangat berpengaruh di dunia pendidikan. Dan, semua itu saya dapatkan saat kuliah. Terlebih lagi STKIP PGRI Ponorogo sangat memfasilitasi pengembangan bakat dan minat mahasiswanya lewat UKM yang benar-benar dibutuhkan di dunia pendidikan,” ungkapnya (23/5).
Selama menjadi guru di MTsN 5 Nganjuk, ia tergabung dalam MGMP Bahasa Indonesia MTs. Ia bersama teman-teman MGMP telah menerbitkan 2 buku antologi. Selain itu, ia juga pernah menerbitkan buku antologi buku dengan teman-teman CPNS, serta buku antologi bersama anak-anak dalam Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) Nasional. Salah satunya berjudul Tunas Integritas Anti Korupsi Buku-buku yang diterbitkan berupa kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan kumpulan cerita fantasi. Di samping menerbitkan buku, ia juga dipercaya sekolah untuk membina jurnalis serta sanggar bahasa. “Di tempat baru semua saya jalani sampai kadang terasa lelah sendiri tetapi saya senang melakukannya.”
Bagi perempuan yang tinggal di jalan Serayu Begadung Residence, Nganjuk itu menjadi guru adalah: proses belajar sepanjang waktu; mencetak generasi baru dengan latar belakang berbeda; lebih bisa memahami sesuatu dengan cepat; dan ada tantangan tersendiri yang berhubungan dengan hati nurani.
Di akhir, perempuan yang karya tulisnya sudah dimuat beberapa media ini mengungkapkan, Tuhan menempatkan dirinya di Nganjuk bukan tanpa alasan. “Di tempat baru ini saya bisa menemukan hal-hal yang membuat saya terus berbenah. Belajar melakukan yang terbaik, mensyukuri setiap perjalanan, dan berikhtiar semaksimal mungkin. Sebab, kisah masih panjang,” pungkasnya.
***
Penulis: Sri Wahyuni_Humas.