Melawan Nasib, Nanang Lakukan Perubahan Diri dan Motivasi Belajar
Mendengar nama Nanang Eko Saputro, alumnus STKIP PGRI Ponorogo, rasanya bukan lagi sosok asing bagi warga Kampus Literasi. Sosok yang mencintai dunia jurnalistik ini adalah bagian organ Sekolah Literasi Gratis I (SLG) STKIP PGRI Ponorogo. Bersama sahabat karibnya, Agus Setiawan, pria kelahiran 9 Januari 1994 itu turut berkolaborasi menyukseskan SLG sebagai panitia sekaligus pewarta kampus.
Lahir di desa Karangan, Kecamatan Badegan, Ponorogo semangat belajar tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang rendah kesadaran pendidikan. Bagi masyarakat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, sekaligus lingkungan pedesaan pendidikan sering sekali tak diindahkan. Bahkan, keluarga pria dari pasangan Alm. Bonangin dan Sutiyah ini tidak begitu antusias dalam dunia pendidikan. Hal itu didasari atas keterbatasan ekonomi juga sentuhan masa depan.
Melalui keterbatasan itulah, Nanang melawan nasib. Ia mengambil solusi sekolah sambil bekerja. Buruh padi dan buruh genting dilakoni saban hari semasa duduk di sekolah menengah atas. Kala itu, pria yang sering mengenakan penutup kepala ini belajar di MA Al-Mukarrom Sumoroto.
“Waktu MA, saya ditinggal ayah ke surga karena sakit. Hidup terasa lebih berat karena masih ada adik yang juga sedang belajar. Saya kepikiran kerja apa saja untuk menambah uang saku dan kebutuhan saya sendiri.”
Bekerja sambil belajar keterusan hingga suami dari Wuri Rahayu ini kuliah. Di tahun 2012, dirinya daftar di salah satu kampus swasta Ponorogo, STKIP PGRI Ponorogo program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Cerdas mengelola waktu antara bekerja dan belajar, kebaikan mulai terbuka di semester V. Nanang mendapat tambahan uang saku dari program Penelitian Mahasiswa. Sejak itu, dirinya keluar kerja dan fokus belajar. Ia pula, bercerita mendapat pemasukan lagi dari kecintaannya di dunia menulis.
“Sebab materi hypno writing saat OSMA, saya tertarik dan tertantang di dunia jurnalistik, yaitu menulis. Kemudian, masuk di Unit Kegiatan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Penulis (UKM HMP) yang dibimbing oleh dosen bapak Sutejo,” cerita pria yang pernah memenangi Harapan I Lomba Menulis Esai Jawa Timur.
Berada di ekosistem jurnalistik, Nanang membangun keberanian dalam menulis. Terhitung sejak 2014, pertama kali tulisannya termuat di koran lokal Seputar Ponorogo, karya-karyanya sudah banyak mengisi di media-media cetak maupun online. Bahkan, pria ini mengaku memiliki beberapa blog pribadi. Salah satunya adalah blog template Kompas online, atau kompasiana.com.
Nyaman dan mengaku lebih dewasa bersama dunia jurnalistik, Nanang membagikan ilmunya kepada banyak orang. Ketika masih menetap di Ponorogo, dirinya diminta menjadi pelatih jurnalistik di salah satu sekolah di Ponorogo tingkat menengah pertama. Setiap hari Sabtu, dirinya mengajarkan jurnalistik kepada pelajar. Selain itu, perjalanan di jurnalistik mengalir hingga dipercaya menjadi pemateri dan juri lomba, seperti cerpen, puisi, dan artikel.
Tidak dipungkuri, bergabung di UKM HMP dan bergulat dengan Sutejo, dosennya yang ahli menulis kemampuan jurnalistik Nanang meningkat. Hingga kini, saat sah menjadi warga Kalimantan, tepatnya Kelurahan Muara Komam,Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur pelbagai hal berkaitan dengan jurnalistik dan literasi dibagikan kepada para pelajar SMAN 01 Batu Sopang.
“Hidup seperti bertani, apa yang kita tanam itu yang kita panen,” tutur pria yang dulu menjabat sebagai Ketua UKM HMP periode 2013-2014 mengulang pesan Sutejo, dosen yang dianggap ayah keduanya.
Mengajar siswa dari berbagai kultur, agama, bahasa, dan lainnya menjadi salah satu tantangan Nanang. Awal mengajar di Kalimantan, analisa pelajar dan metode belajar dilakukan. Sebab dalam satu kelas beragam latar belakang pelajar, seperti beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu. Ada pula pelajar berasal dari suku Banjar, Dayak, Bugis, Batak, Makasar dan lainnya. Kesemuannya memiliki perbedaan karakter. Sehingga membuat ayah dari Nawira Dyah Maheswari ini menemukan satu bentuk penyampaian materi yang bisa diterima semua pelajar. Nanang pula, perlu belajar lama bahasa pelajar supaya dapat berkomunikasi dengan baik.
Beruntung menjadi sarjana di kampus yang mengantarkan guru profesional, Nanang mendapat bekal untuk menyelesaikan permasalahan mengajar. Mulai dari cara menghadapi siswa beragam di dalam kelas, penyampaian materi dengan menarik, dan kepedulian dalam membangun hubungan dekat dengan siswa.
“Hampir keseluruhan hal yang saya dapatkan selama menjadi mahasiswa di STKIP PGRI Ponorogo saya terapakan di sini. Sejalan dengan menyesuaikan dengan situasi yang ada,” tuturnya.
Karena itu, dirinya berpesan kepada para mahasiswa supaya sungguh-sungguh dalam belajar. Jauhkan pikiran kerdil, minder, dan sebagainya. Nanang membuktikan mendapati kebaikan hidup sampai sekarang berkat belajar dan bersama orang-orang hebat. “Terima kasih untuk bapak Sutejo, dosen-dosen STKIP PGRI Ponorogo, keluarga Ponorogo, dan keluarga Kalimantan telah mendampingi hingga sejauh ini.”
Pewarta: Suci Ayu Latifah