Ngaji Sastra di Gedung Saraswati STKIP PGRI Ponorogo Berlangsung Gayeng
Ponorogo (beritajatim.com) – Kegiatan Ngaji Sastra yang digagas oleh kampus literasi STKIP PGRI Ponorogo kali ini berlangsung gayeng.
Tak terlalu berlebihan jika kegiatan yang digelar setiap dua minggu sekali itu, berpotensi untuk melahirkan penulis-penulis mumpuni dari bumi reog. Sebab, pematerinya pun menghadirkan tokoh literasi nasional. Hal itu dilakukan untuk memantik semangat peserta Ngaji Sastra dalam berkarya nantinya.
Terbaru yakni pada hari Minggu (24/7) ini, Ngaji Sastra menghadirkan empat pemateri sekaligus. Yakni Diar Candra redaktur sastra dan budaya Jawa Pos, Eko Hendri Saiful Wartawan Jawa Pos, Panji Sukma penulis Sang Keris juga pemenang II Dewan Keseniam Jakarta (DKJ) 2019, dan Beri Hanna penulis buku Menukam Tambo sekaligus sebagai pemenang III DKJ 2021. Dalam kesempatan tersebut, keempat pemateri berbagai pengalaman dalam karyanya selama ini.
Menurut Sutejo, Ketua STKIP PGRI Ponorogo hadirnya keempat pemateri memberi nuansa berbeda pada Ngaji Sastra kali ini. Terdapat kalangan penulis dan pemenang DKJ sekaligus penulis dari sisi media. Keduanya memang tidak terpisahkan dari perkembangan penulis dan sastra di Indonesia.
“Bagaimana gaya selingkung berkarya dan momen indah ketika mendapat juara. Menarik untuk dijadikan lahan belajar bagi mahasiswa dan masyarakat yang mengikuti Ngaji Sastra kali ini,” kata Sutejo saat ditemui beritajatim.com, Minggu (24/7/2022).
Eko Hendri Saiful yang merupakan wartawan Jawa Pos dan salah satu alumni inspiratif kampus tersebut, bertugas untuk memandu kegiatan Ngaji Sastra yang digelar di Gedung Graha Saraswati STKIP PGRI Ponorogo.
Sehingga Eko dalam kegiatan ini, menjadi jembatan pemateri dengan peserta Ngaji Sastra. Ia tidak lupa juga menyinggung proses kreatif dalam menulis media yang membesarkan namanya tersebut. Sebagai alumni, Eko sapaan akrabnya merasa bangga banyak mahasiswa maupun alumni yang berkarya. Bahkan, menulis di beberapa media cetak maupun elektronik nasional.
“Alumni kampus ini, tidak diragukan soal kekaryaan,” ungkapnya.
Sebagai pembuka, Panji Sukma bercerita mulai intens menulis sejak tahun 2018. Mulanya dari kegundahan hati tentang proses skripsi yang dirasa menjenuhkan. Tak sampai putus asa, Ia lalu berpikir untuk menulis yang bisa menyenangkan.
“Setiap bepergian selalu membawa laptop, lalu memanfaatkan waktu luang untuk menulis,” ungkapnya.
Ia memiliki cara tersendiri dalam mensiasati ide yang seringkali muncul. Sosial media (sosmed) Instagram-lah yang dijadikan lahan dalam mencatat sekaligus menyimpan ide tersebut. Puluhan bahkan ratusan bank ide, baik dalam bentuk narasi ataupun hanya sekadar foto suatu lokasi tersimpan di sosmednya. Baginya ide seperti ikan yang berterbangan, jika tidak segera ditangkap, orang lain yang akan menangkapnya.
“Ketika melihat postingan lama, tiba-tiba teringat segala hal tentang itu, lalu terinspirasi untuk dijadikan tulisan,” pungkasnya.
Hal berbeda diutarakan oleh Diar Candra, yang merupakan redaktur sastra dan budaya di Jawa Pos. Ia mempunyai referensi tentang kekaryaan yang berkembang dari penulis-penulis Indonesia.
Menurutnya, lebih dari 90 persen karya yang masuk, memiliki nuansa tragis, kesedihan, dan kematian. Sebagai redaktur, pihaknya tidak menampik bahwa nuansa dari penulis itu menjadi trend yang berkembang. Baginya hal itu menjadi suatu kewajaran dan tidak bisa terhindari berkembang.
“Sisanya memuat tema tentang nuansa lokalitas,” katanya.
Sementara, Beri Hanna awalnya menganggap bahwa menulis itu bakat sejak lahir. Terlebih, ketika karyanya mendapat kritik tajam, Ia dianggap tidak bisa menulis. Timbul rasa sakit hati, hingga akhirnya terus bertekad untuk menulis dan menulis. Salah satu karyanya sempat dimuat media cetak, namun setelah menulis lagi lama tidak tayang. Hal itu, ia menyimpulkan bahwa perlu editing karya sebelum benar-benar dikirim ke media.
“Menulis satu sampai dua kali jelek itu wajar,” pungkas Beri Hanna.(end/ted)
Sumber Berita: Beritajatim.com