Pemateri Ngaji Sastra STKIP PGRI Ponorogo Beberkan Lokalitas dalam Karya Sastra
Tampil dengan rambut gondrong yang diikat belakang, Panji Sukma dan Beri Hanna membeberkan proses kreatif kepengarangan, kemarin (24/7) di STKIP PGRI Ponorogo. Kedua penulis muda yang lahir dari Komunitas Kamar Kata Karanganyar tersebut adalah pemenang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019 dan 2021. Serangkaian itu, tampil berkacamata Diar Candra, redaktur kolom Budaya Jawa Pos turut membeberkan pengalaman memegang salah satu kolom di media cetak Jawa Pos.
Ketua STKIP PGRI Ponorogo, Sutejo menuturkan gelaran Ngaji Sastra bulan ini tampil sepaket. Pihaknya menghadirkan penulis-penulis muda berprestasi dan media wadah mengirimkan karya. Pihaknya pula, mengundang dan menjadikan alumni ‘Kampus Pelopor Literasi Indonesia’ sebagai moderator. Eko Hendri Saiful menjadi jembatan antara pemateri dan peserta Ngaji Nulis. “Beliau alumni inspiratif. Kami sepakat memotivasi mahasiswa, khususnya untuk berkarya supaya ketika lulus memiliki keahlian. Contohnya Mas Saiful, berkat terampil menulis menjadi bagian dari Jawa Pos. Tirulah jejek alumni-alumni kita,” beber Sutejo saat ditemui usai acara.
Potensi Lokalitas dalam Karya Sastra, tema yang digarap ketiga pemateri. Panji Sukma bercerita bagaimana proses kreatifnya hingga meraih pemenang II DKJ 2019. Pihaknya mengungkapkan, novel ‘Sang Keris’ sebenarnya karya eksperimen. Selama kurang lebih satu tahun bersama Komunitas Kamar Kata belum pernah menulis novel. Panji lebih banyak menulis cerpen. ‘Sang Keris’ ditulis selama 25 hari di markas Karanganyar Yuditeha. Awal penulisan cerita ‘Sang Keris’ memanfaatkan ingatan cerita sejarah dan pembacaan buku-buku sejarah.
“Saya tipikal anak muda yang senang membaca buku-buku sejarah. Kalau anak muda lainnya cenderung cerita-cerita roman. Bapak saya, kebetulan empunya keris sehingga kedekatan dengan lokalitas sangat terbantu,” cerita Panji.
Sang Keris, baginya garapan cerita lain dengan mengambil sudut pandang benda mati. Panji bercerita sejarah dalam novelnya berbeda dengan buku-buku sejarah di sekolahan. Berbahasa kesastraan dengan tokoh-tokoh yang hidup ‘Sang Keris’ menjadi lain. Panji tidak mengira novel pertamanya dilirik oleh dewan juri. “Saya ambil ide cerita yang belum atau tidak dipikirkan penulis lain. Sebab, ide kalau tidak tancap gas ditulis mudah hilang. Saya bawa laptop ke mana-mana.”
Beri Hanna, teman semarkas Panji Sukma tidak jauh berbeda dalam proses kreatif menulis novel. “Saya dan Mas Panji sama-sama berangkat dari cerpen. Makanya, buku-buku kami tidak tebal tetapi isinya padat. Buku ‘Menukam Tambo’ 79 halaman berisi cerita lokalitas di Jambi tentang benda-benda pusaka, candi, kitab dan ajaran sesat.”
Lokalitas tanah kelahiran Jambi menjadi ide menawan novel. Pihaknya mengungkapkan, cerita daerah tanah Jawa kalau ditulis dan dibaca orang Jawa sudah biasa. Masyarakat sudah pernah membaca kisah-kisah serupa. Kalau cerita Jambi dibaca orang Jawa tentu membuat penasaran. Beri optimis lokalitas yang dituturkan menarik pembaca dan keyakinannya meraih penghargaan terwujud. ‘Menukam Tambo’ tercatat sebagai pemenang sayembara Novel Renjana tahun 2021.
Tampil sebagai pemateri terakhir, Diar Candra, redaktur kolom Budaya Jawa Pos membeberkan tema-tema lokalitas sedang banyak ditulis. Sebanyak 90 persen pengirim cerpen di medianya berkisah tentang lokalitas. Kisah dan cerita dibalut oleh peristiwa yang menyentuh emosi pembaca, seperti kematian, kehilangan, peristiwa sadis dan tragis, serta humor dan satire. “Pengirim cerpen yang saya muatkan, mereka mampu menggali konflik secara menarik. Tidak berkepanjangan dan lemah pengkarakteran tokoh.”
Tambah Diar, kemenarikan cerita-cerita lokalitas telah terbukti hingga mendapat penghargaan di Jakarta. Dirinya percaya kalau para penulis mau lebih dalam mengungkap keunikan setiap daerah, cerpen lokalitas mampu menambah referensi membaca.
Pada satu kesempatan, pelajar SMKN 1 Sawoo, Intan Fauliya Putri tertarik menulis cerpen lokalitas di desanya. Sebagai penulis pemula, pihaknya akan memperbanyak membaca-baca cerpen lokalitas, baru menulis. Hal serupa juga diungkapkan Sri Wahyuni, dosen STKIP PGRI Ponorogo bila lomba-lomba menulis cerpen dan novel banyak mengusung tema lokalitas. “Ketika membaca tulisan-tulisan lokalitas, saya masuk pada tempo dulu kental dengan cerita, kisah, dan sejarah.”
Pewarta: Suci Ayu Latifah