Mendaras Pahlawan Kehidupan
Antaranews.com_Belajar dari para pahlawan nasional dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia, kita akan menemukan hakikatnya: jiwa dan jati diri kepahlawanan. 10 November adalah bulan dan tanggal bersejarah dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara. Ibarat seorang bayi harus bertarung dengan orang dewasa, begitulah metafora kisah di balik perang 10 November 1945.
Jiwa kepahlawanan sejatinya merupakan karakter seseorang berupa pemikiran, sikap, dan tindakan dalam menjaga harkat dan martabat diri, kepentingan masyarakat, serta bangsa dan negaranya. Dalam kehidupan mutakhir, masihkah jejiwa kepahlawanan itu ditemukan dalam kehidupan?
Para petani, bisa jadi mereka itu pahlawan tulen bagi negeri ini. Mereka adalah orang-orang ‘bodoh’ yang tak paham dunia politik bernegara. Totalitas mereka dalam bertani bisa dipikirkan. Bagaimana mereka menyemai benih, merawat, menanam, menjaga, memanen, menjemur dan menggilingnya menjadi beras. Produk mereka –dengan “penghasilan” tak seberapa– tidak menyurutkan semangat mereka berkerja. Mengolah tanah, memupuk, dan merawat nyaris setiap hari, menjauhkan dari segala tumbuhan lain yang mengganggu.
Oleh olah para pedagang beras hasil Pak Tani kemudian menghiasi pasar-pasar, baik tradisional maupun modern. Bayangkan jika tidak ada para petani yang tulus bekerja demikian; pejabat, politikus, guru dan dosen, masyarakat, termasuk orang kaya lain, mau makan apa. Sementara, beras bagi mayoritas masyarakat Indonesia jelas sebagai kebutuhan pokok.
Bagi saya, merekalah para pahlawan nyata dalam kehidupan ekonomi pangan bangsa. Mereka tidak saja bertanam padi, tetapi nyaris semua kebutuhan yang berasal dari cocok tanam, hadirlah sang pahlawan bernama petani.
Sebuah hakikat kepahlawanan yang tak pernah mereka minta, mereka hanya bekerja terbaik dengan komitmen dan totalitas penuh tanggung jawab. Yang mengharukan, tak banyak yang tahu, jika para petani ini sering terjebak oleh sistem kapitalisme baru, semacam pola penjajahan baru yang semakin mengerdilkan mereka.
Para TKI dan TKW bisa jadi mereka juga pahlawan. Mereka berjuang mempertaruhkan apa pun, tubuh dan jiwa untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Mereka melawan “musuh-musuh kehidupan” yang tak tampak, atau tak disadari.
Mereka ikhlas “dimanfaatkan” berbagai pihak, mereka harus melawan budaya, tradisi, dan sosialitas yang menekannya. Tak jarang mereka harus “berdarah-darah” mempertahankan “kemerdekaan” diri. Bagi bangsa dan negara yang ditinggalkan, mereka lantas pantas dilabeli sebagai pahlawan devisa. Mereka pahlawan penolong segala krisis ekonomi meskipun mereka sendiri mengalami krisis mental perilaku sebagai dampak dari pilihannya. Jika kita sudi menengok narasi kehidupan mereka di luar negeri, tentu dada kita akan terasa nyeri. Mereka bertarung memperjuangkan harkat dan martabatnya, yang sering kali tanpa perlindungan hukum memadai. Para pahlawan yang sering kita lupakan dalam kehidupan nyata.
Orang-orang kecil, para suami atau istri yang berjuang mencari nafkah dengan bekerja apa pun, mereka adalah pahlawan bagi anak-anak dan keluarganya. Teriring situasi sosial yang semakin sulit, mereka tetap bertarung, bertahan, kadang harus jatuh bangun untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan.
Mereka tidak malu bekerja apa pun, seringkali saya mendengar dari bibir orang-orang semacam itu begini, “Yang penting tidak mencuri, tidak merugikan orang lain.” Sungguh sebuah kemuliaan jiwa seorang pahlawan kehidupan yang seringkali tidak disadari keberadaannya.
Mereka berbuat berkebalikan dengan apa yang dilakukan para politikus, aparat yang rakus, dan kaum kapitalis. Ideologi ketiganya bukan kemanusiaan dan kemaslahatan bangsa tetapi keuntungan materi dan posisi. Orang-orang kecil dengan jiwa-jiwa yang tangguh, ulet, kerja keras, dan bertanggung jawab pada kehidupan tidak saja bagi dirinya, tetapi juga keluarga. Karena itu, secara tidak langsung mereka telah berjuang bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Sang pahlawan.
Guru-guru dan para dosen yang terpanggil jiwa mengulurkan hati, pikiran, tenaga, rasa, dan sebagian materi bagi anak-anak negeri, jelas seorang pahlawan. Mereka yang tulus ikhlas bekerja mengajar, membimbing, mendidik, dan mengelola kelas secara bertanggung jawab demi kesadaran, serta kecerdasan mental dan pikiran anak didiknya. Pendidik yang tersentuh hati dan cinta bagi kemanusiaan.
Mereka yang terpanggil pikiran, jiwa, dan rasa untuk senantiasa mencari strategi memecahkan kesulitan di ruang-ruang kelas, terus belajar tak henti demi mendampingi dan menginspirasi generasi bangsa. Mereka dihibur sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, dibuatkan lagu, tetapi kita tahu bersama, belum pernah ada makam pahlawan khusus bagi guru dan dosen. Apalagi orang-orang kecil lain macam petani, pembantu rumah tangga, hingga para TKI dan TKW yang dinilai sebagai pahlawan.
Begitu banyak orang-orang yang telah berbuat bagi bangsa. Para buruh yang bekerja keras, bertanggung jawab, militan, dan yang tidak selalu menuntut imbal material gaji, mereka juga pahlawan negeri. Para nelayan bersabung nyawa di tengah samudera, berangkat malam pulang siang, mencari ikan untuk dikonsumsi mereka yang sering kali jauh berkecukupan dibandingkan para nelayan.
Semangat hidup dan juang darma nelayan pada keluarga, layak diteladani. Kulit-kulit mereka yang mengkilap dan menghitam, mereka abaikan.
Demikian juga para pedagang obyok keliling yang berangkat dini hari, di tengah kecenderungan orang masih terlelap tidur, mereka berangkat bekerja ke pasar kemudian keliling dari desa yang satu ke desa lainnya. Mereka itu orang-orang kecil, yang sering menjadi korban kebijakan politik tetapi kemudian harus menerima takdir “dipenjara oleh kerumitan sosial”, serupa para pejuang yang harus keluar masuk penjara penjajahan, karena gerakan, pemikiran, dan liuk juangnya.
Menyemai Jiwa Kepahlawanan
Dari ilustrasi sebelumnya, bisa dicitrakan, betapa jiwa kepahlawanan itu diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, baik di keluarga, sosial masyarakat, dan profesi kerja yang berbeda-beda. Apa pun profesi kita akan berandil secara sistematik, bersatu bersama, bergerak positif dalam riak dan dinamika kehidupan bangsa.
Di sinilah barangkali kita penting senantiasa berenung, merefleksikan masa lalu, terlebih merenungkan masa kebangkitan, pergerakan, dan perjuangan kemerdekaan dalam lintasan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa para pahlawan. Apa dari para pahlawan pejuang negeri itu yang bisa kita jadikan modal untuk mengisi kemerdekaan? Semua yang berjiwa pahlawan sejatinya telah menjadi pahlawan kehidupan.
Para pahlawan adalah mereka yang memiliki integritas dan dedikasi terhadap tugas dan tanggung-jawab, yang terikat hatinya dengan pembangunan bangsa dan negara di seluruh aspek kehidupan. Merekalah pahlawan itu. Siapa pun mereka, bagian dari warga negara Indonesia yang memiliki mentalitas jujur, teguh, penuh tekad, rela berkorban, ikhlas, tanggung-jawab, konsisten, serta memiliki integritas pada keluarga dengan sendirinya berkontribusi pada pembangunan bangsa.
Mereka yang tidak cemburu dengan kepemilikan dan status orang lain, tetapi dalam peran yang berbeda, mampu mencerminkan karakter kepahlawanan itu. Berbuat terbaik bagi kehidupan bangsanya. Mengulurkan tangan pada penderitaan orang lain.
Mereka dalam berbagai status, pekerjaan, profesi, dan peran berbeda tetapi mampu berpikir, bertindak, dan bekerja secara cerdas, kreatif, berinisiatif, santun, rendah hati, terbuka, komunikatif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan; mereka itu para pahlawan dalam konteks kekinian. Orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap penderitaan sesama, rela berkorban dalam memperjuangkan kondisi kehidupan yang lebih baik; itulah sang pahlawan.
Mereka itu tentu mencerminkan keimanan dan ketakwaan hakiki kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan bangsanya.
Untuk itu, para pelajar dan mahasiswa penting memiliki harga juang, harga hidup, dan harga diri yang senantiasa terinspirasi oleh semangat para pahlawan, orang-orang terdekat yang telah mewariskan “kesadaran hidup”. Karena itu penting senantiasa mengenal dirinya dan jati diri bangsa sehingga bisa menjadi generasi tangguh dan “mampu bertarung” dalam segala situasi kelak.
Jiwa-jiwa kepahlawanan baru, dimensi baru, wujud baru tetapi tetap bermuara pada karakter terbaik. Generasi muda yang memiliki pemikiran, sikap, dan tindakan menjaga harkat dan martabat diri, kepentingan masyarakat banyak, serta bagi bangsa dan negara. Ingat ada sebuah pesan dari seorang motivator yang menarik diturunkan di sini: “Hidup yang tak diperjuangkan tidaklah layak untuk dijalani.”
Semoga kita mampu menjadi bagian warga negara Indonesia yang bisa mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mau dan mampu, terus belajar dari nilai dan jiwa kepahlawanan demikian.
Agar pesan historis di balik peringatan Hari Pahlawan terus bergelora sehingga mampu menaklukkan gelombang modernisasi, globalisasi, dan digitalisasi, yang jelas jika tidak disadari, kehadiran zaman itu akan menjadi musuh peradaban yang mengerikan. (*)
Dr. Sutejo, M. Hum, budayawan, dosen STKIP PGRI Ponorogo, alumnus S3 Unesa Surabaya.
Sumber Berita: Antaranews.com