Novel Kuda: Rasionalisasi Mistis dan Relasi Kekuasaan
Di tengah perhelatan Piala Dunia 2022, Rusamenjana selenggarakan Bincang Buku berjudul Kuda karya Panji Sukma (26/11). Bertempat di Kopini Ponorogo, acara rutin ini mendatangkan Sapta Arif sebagai pembedah dan Panji Sukma penulis novel berjudul Kuda. Rizal sebagai pemandu acara membuka acara ini tepat pukul 20.00.
Novel ini merupakan karya terbaru Panji Sukma. Novel lainnya berjudul Sang Keris, berhasil menyabet juara II Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Novel berjudul Kuda ini bercerita tentang seorang Empu yang sudah habis masa jayanya. Sepeninggal, era Orde Baru ketenarannya kian memudar. Hal ini berkaitan erat dengan relasi kekuasaan yang menjadi masalah di sepanjang jalinan cerita.
“Ada dua hal yang kental dalam novel ini. Panji sebagai penulis berupaya merasionalkan hal-hal yang dianggap mistis di dalam masyarakat. Kedua, relasi kekuasaan yang begitu kental, menjadi sebab akibat berbagai peristiwa dalam novel.” tutur Sapta.
Menurut Sapta, Panji piawai dalam memainkan ruang imaji pembaca. Ia membuat pertentangan di beberapa konflik cerita. Di satu sisi merasionalkan hal-hal mistis. Di bagian cerita lainnya, ia memberikan klue akan adanya hal mistis tersebut. Permainan cerita berfragmen dengan beragam klue cerita yang tersebar juga menjadi kekuatan novel ini.
“Pembaca harus membaca sampai selesai, agar mendapatkan gambaran utuh cerita.” sambung Sapta Arif.
Rizal, alumni STKIP PGRI Ponorogo, tak mau kalah memberikan tanggapan. Ia pun sepakat akan kentalnya relasi kekuasaan dalam konflik novel ini. Pemberian nama tokoh Kuda, sudah ia duga diambil dari nama guru Gajah Mada, Kuda Anjampiani. Nama ini juga merupakan nama putra dari Ranggalawe.
Setelah pemaparan dari pembedah, Rizal memandu acara diskusi. Beberapa peserta terlihat antusias bertanya. Kebanyakan dari mereka mempertanyakan hal-hal yang berkenaan dengan mistifikasi keris. Salah satunya Azwan, dirinya penasaran seberapa dekat penulis dengan keris. Bahasan yang cukup kental di dua novelnya: Sang Keris dan Kuda.
“Almarhum Bapak saya dikenal sebagai Empu. Di rumah ada banyak keris terpajang dari berbagai masa. Namun, saya tidak memiliki keris buatan Bapak.” pungkas Panji.
Ruly, bagian dari Rusamenjana, turut senang. Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo ini mengaku puas lantaran diskusi berlangsung gayeng. Rekannya, Riza, turut memberikan tanggapan.
“Kita semua akan diabaikan dan tidak ada yang salah dengan itu. Kami akan berhenti, tapi tidak hari ini.” pungkasnya. []
Pewarta: Humas