Keteladanan Menjadi Salah Satu Kunci Pembudayaan Literasi di Sekolah
Sragen – Dr. H. Sutejo, M. Hum., Ketua STKIP PGRI Ponorogo, memberikan materi pengembangan literasi di SMP Negeri 1 Mondokan,…
Sragen – Dr. H. Sutejo, M. Hum., Ketua STKIP PGRI Ponorogo, memberikan materi pengembangan literasi di SMP Negeri 1 Mondokan,…
Ada sebuah tulisan menarik tentang Pramoedya Ananta Toer, jika kita ingin belajar bagaimana kepengarangan sastrawan Indonesia itu. Seorang sastrawan yang pernah dinominasikan sebagai pemenang nobel dari Indonesia. Selalu, menjadi polemik-bincang, dan tak pernah berakhir. Seorang pengajar sastra dari Perancis –yang pernah bertamu di rumah buku Spectrum Center–, Dr. Natieuv, pun mengenal sastra Indonesia lewat sosok Pramoedya. Itulah akunya, dalam beberapa kali perbincangan. Sejak dari perjalanan bandara Yogyakarta hingga di Ponorogo, dan beberapa kali kesempatan saya mendampinginya.
Potensi wisata desa seringkali belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat. Terbukti masih minimnya pengembangan yang dilakukan untuk menjadikan wisata yang menggairahkan.
Jujun Suriasumantri dalam Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (2009:19), mengilustrasikan tentang dialog orang awam dengan filosof yang bijaksana. Sang awam bertanya, “Coba jelaskan kepadaku, ada berapa jenis manusia dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya?”
“Kalau mau belajar menulis, carilah karya-karya yang berkualitas,”
Dalam beberapa kali diskusi dengan Arafat Nur, baik di rumah, di rumah buku Spectrum Center, di kampus, dan di Home Stay Kampus; aroma pesan membaca –tampaknya menjadi yang paling utama—di samping tip lainnya. Membaca, membaca, membaca, baru menulis. Bahkan, di Vlog-nya, dia bilang: membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, membaca, baru menulis. Hehe.
Begitu mendengar Prof. Dr. Habibie (selanjutnya Pak Habibie), meninggal dunia, duka dan imajinasi saya berkeliaran. Doa hati kecil berkata, “Ya Allah, karuniailah surga, ampunkan dosa dan kekurangannya, serta berikanlah tempat terindah baginya.” Presiden ke-3 RI itu, pernah mengundang saya untuk mengikuti upacara Hari Guru Nasional dan Internasional di Istana Negara, 25 November 1998, Pukul 10.00 WIB. Karena pertimbangan keamanan, upacara dilakukan secara tertutup di dalam Istana. Maklum, kala itu, Jakarta didominasi demo –sisa-sisa demo Mei 1998–. Sesaat memasuki Istana, begitu sangat ketat pemeriksaan yang dilakukan.
“Kita harus bisa menjadi Elang yang terbang gagah di langit, bukan menjadi bebek yang jalan berbondong-bondong. Yang kita lakukan ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh kampus-kampus lain. Silakan cek, karya-karya dan prestasi mahasiswa dan alumni kita, ada yang juara nasional kepenulisan, debat, hingga macapat.” ujarnya.
Menulis bagi saya adalah tanggung jawab moral, sebagai wujud rasa cinta saya kepada manusia, kepada bangsa.
Menjelang hadirnya novel Seumpama Matahari, Tim Redaksi Fiksi DIVA kali ini berhasil mewawancarai sang penulis, Arafat Nur (Keajaiban Paling Hebat di Dunia), dan…