Belajar Budaya Baca Jepang
Jepang merupakan negara dengan tingkat literasi yang tinggi. Buktinya adalah: (1) keberadaan koran-koran besar Jepang seperti Yomiuri Shimbun, Asahi, dan Mainichi merupakan koran dengan sirkulasi terbesar di dunia. Bahkan jauh lebih besar dari Koran terbesar Amerika Serikat The New York Times. Yomiuri Shimbun memiliki sirkulasi sekitar 14 Juta eksemplar per hari, sementara The New York Times hanya beredar 1,5 juta perhari. Asahi menghasilkan 12 juta eksemplar per hari (Laksono, 2005). (2) Toko buku di Jepang jumlahnya sebanding dengan Amerika Serikat yang luas wilayahnya jauh lebih besar dibandingkan Jepang. Data di atas membuktikan bahwa geliat budaya literasi di Jepang begitu menggelora.
Kuatnya budaya baca tersebut tidak serta merta muncul begitu saja. Tetapi melalui proses panjang. Proses tersebut melibatkan semua komponen, baik itu keluarga, lingkungan sosial, sekolah, dan pemerintah. Sinergi semua aspek itu mampu membentuk masyarakat Jepang sebagai sosok-sosok gemar baca. Maka tidak heran apabila sering ditemukan orang-orang yang sibuk dengan bahan bacaan di berbagai tempat, seperti halte, stasiun, bank, dan sebagainya.
Berbicara keluarga di Jepang, dalam hal ini berperan penting untuk membentuk karakter gemar baca. Orang tua di Jepang senantiasa mengajari dan membiasakan anak membaca sejak kecil. Dengan kata lain keluarga sebagai pondasi awal budaya baca. Pondasi itu dibentuk sejak kecil, dengan harapan seiring bertambahnya umur, pondasi itu semakin kokoh. Akhirnya, ketika dewasa mereka terbiasa untuk membaca.
Di sisi lain untuk membentuk budaya baca, pola pendidikan Jepang didesain senantiasa berorientasi pada aktifitas baca. Pendidikan Jepang mewajibkan peserta didik untuk membaca (buku nonpelajaran) 15 menit sebelum pelajaran di mulai. Pukul 07.00 pelajaran dimulai, tapi pintu gerbang sudah ditutup 15 menit sebelumnya. Kemudian peserta didik diwajibkan untuk membaca (bacaan yang mereka sukai) selama 15 menit. Pembiasaan yang berkelanjutan tersebut akhirnya membentuk karakter gemar baca.
Melihat kehebatan Jepang dalam membudayakan membaca merupakan sebuah inspirasi penting apabila kita ingin menggelorakan budaya baca (khususnya di lingkungan pendidikan). Maka dari itu barangkali penting untuk melakukan beberapa alternatif berikut ini. Pertama, keluarga sebagai pondasi utama pendidikan harus mampu mengajarkan dan membiasakan anak untuk membaca. Tapi, akan menjadi sesuatu hal yang sulit apabila orang tua tidak memberikan contoh. Maka dari itu orang tua sebagai teladan harus memberikan contoh membaca kepada anak. Kebiasaan menonton televisi selepas Maghrib atau bermain gadget baiknya mulai dikurangi. Kebiasaan tersebut hendaknya perlahan beralih dengan membaca. Diharapkan ketika orang tua memberi contoh seperti itu, anak akan belajar mengikuti kebiasaan tersebut.
Kedua, membiasakan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai barangkali penting dilakukan. Pembiasaan membaca sebelum pelajaran dimulai sebenarnya sudah dirintis oleh Anies Baswedan (Menteri Pendidikan saat itu) melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan itu mewajibkan siswa untuk membaca (bacaan yang disukai diluar buku pelajaran) 15 menit sebelum pelajaran. Apabila program itu dilaksanakan dengan baik, maka akan terjadi pembiasaaan membaca. Apabila sudah terjadi pembiasaan membaca, maka akan membentuk budaya baca. Di sisi lain tentunya kita semua berharap dengan bergantinya Menteri Pendidikan yang baru, program GLS ini akan tetap dijalankan. Tidak hilang ditelan kebijakan-kebijakan politis.
Dalam mengimplementasikan program GLS itu mungkin akan sulit diawalnya. Maka perlu trik-trik khusus untuk memulainya. Belajar dari Jepang, untuk membiasakan siswa membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, mereka sudah menyiapkan perangkat berupa punishment dan reward. Pola behavioristik tersebut mampu mengantarkan Jepang menjadi negara dengan literasi tertinggi. Berkaca dari Negeri Matahari Terbit tersebut barangkali untuk mengawali pembiasaan membaca perlu adanya reward dan punishment.
Ketiga, guru sebagai garda terdepan keberhasilan pendidikan harus memulai membiasakan membaca. Memang membaca bukanlah hal yang menyenangkan. Karena kita harus duduk termenung berjam-jam membolak-balikkan kertas. Bandingkan apabila kita bermain gadget dan kegiatan lain. Tapi lihatlah manfaatnya apabila kita mau mencintai dan menggauli buku. Melalui ruang-ruang bacalah, dapat diperoleh berbagai informasi dan pengetahuan baru. Melalui bacaan pula pikiran menjadi kaya pengalaman-pengalaman baru. Jadi membaca bagi bapak-ibu guru hakikatnya sebuah kewajiban. Sebaliknya, akan sangat ironis apabila siswa disuruh untuk membaca, tetapi gurunya tidak mau membaca.
Keempat, sekolah harus mampu menyediakan bahan bacaan bagi siswa. Untuk point ini bagi sekolah yang sudah mapan tidak menjadi masalah. Tapi akan menjadi masalah bagi sekolah-sekolah yang belum mapan. Hal ini dikarenakan harga buku-buku bacaan di Indonesia termasuk mahal. Akan tetapi melalui pengorbanan sekolah dalam menyediakan bahan bacaan, maka akan mempermudah warga sekolah untuk mendapatkan bahan bacaan. Selain itu dengan menyediakan bahan bacaan, pada hakikatnya sekolah berinvestasi pengetahuan jangka panjang.
Kelima, pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus ikut serta berperan membudayakan membaca. Salah satu caranya dengan penyediaan bahan bacaan yang up to date di perpustakaan daerah. Sehingga memudahkan semua orang untuk mendapat bahan bacaan. Di sisi lain barangkali perlu dipikirkan untuk mengefektifkan keberadaan perpustakaan keliling yang bukan hanya sekedar menjangkau wilayah perkotaan, tapi juga menembus pedesaan dan daerah terpencil.
Akhirnya, harapan indah akan lahirnya budaya baca dapat menemui titik terang apabila beberapa langkah di atas dapat dilakukan. Tentunya untuk membentuk terciptanya budaya baca tersebut harus ada sinergi antara orang tua, siswa, guru, sekolah, dan pemerintah.
Penulis: Edy Suprayitno, M.Pd
Dosen STKIP PGRI Ponorogo
*Artikel terkait pernah dipublikasikan Jawa Pos Radar Ponorogo, September 2016