Reog untuk Anak Muda
KOMUNITAS MASYARAKAT SENI SOLAH WETAN
Genap sembilan tahun, komunitas yang berdiri sejak 29 Januari 2009 itu memiliki tekad menghidupkan kesenian budaya Reog Ponorogo. Berangkat dari sebuah amanah, bagi kaum muda jaman Now khususnya anak Ponorogo menjadi tantangan luar biasa. Hal itu nampak, Komunitas Masyarakat Seni Solah Wetan berusaha mengepakkan sayap-sayap seni lebih jauh dan kreatif.
Terselenggara dalam rangka Ulang Tahun ke-9 komunitas tersebut menyuguhkan bermacam acara di antaranya uji kompetensi tari dan tasyukuran, serta acara puncak yang dikemas dalam rekam jejak reog dari maestro Pembantu Bupati (BP) wilayah Arjowilangun. Minggu, (28/1/18).
Tujuan agenda tahunan yang berlangsung sehari penuh itu adalah menciptakan industri seni yang kreatif supaya seni lebih berkembang. Selain itu, mengenalkan pada masyarakat luas bahwa seni di Ponorogo bergerak secara cepat dengan bukti jiwa seni kaum muda yang terus berproses.
“Ponorogo supaya tidak dikenal seni reognya, tetapi juga jiwa seni pemuda dalam berproses kreatif,” ungkap Bayu, Panitia Uji Kompetensi Tari.
Lelaki yang akrab disapa Bolot ini menambahkan, seni adalah dunia bermain. Permainan dari mediasi seni dapat membantu tumbuh kembang seseorang untuk melangkah dan bergerak lebih maju. Sebab, seni terlahir dari jiwa-jiwa kreatif dan haus perkembangan jaman seni dan budaya.
Perayaan kali ini terlihat berbeda dari sebelumnya. Meski begitu tidak membuat hambar. Ulang tahun ke-6 panitia mengadakan sarasehan lewat diskusi seni, perkembangan seni dan budaya, serta proses kreatif. Sementara tahun ini secara meriah, diisi oleh perlombaan ujian tari dari anggota Sanggar Solah Wetan sendiri sebagai bukti hasil belajar sejauh ini.
Komunitas yang pernah mengisi Festival tari di Bali tahun 2013 itu juga mengundang 15 grub reog dari Pembantu Bupati (PB) Arjowilangun yang akan tampil di acara puncak. Dengan dilengkapi tampilan tari Jaipong asal Jawa Barat yang ditarikan para senior Sanggar Solah Wetan.
“Sebelum itu juga ada penampilan tari pasrehan atau loyo blonyo karya Sanggar Solah Wetan,” ungkap lelaki asal Jatisrono itu.
Makna yang dapat dipetik dari tarian tersebut ialah bagaimana seseorang menghargai sebuah warisan dan nilai-nilai masyarakat Jawa yang tergambar dari sebuah tempat untuk menaruh patung loyo blonyo di suatu tempat yang disebut ruang tengah atau Senthong dalam bahasa Jawa.
Motto “Maju bersama, berkarya tanpa batas” merupakan energi positif penggerak Komunitas tersebut. Harapnya dari kekuatan itu semua elemen Sanggar Solah Wetan ikut meramaikan pesta seni. “Membantu apapun demi kelancaran dan kesuksesan sebuah cita-cita. Sebab kami bergerak sendiri tanpa sponsor,” tambah Bayu. (suci ayu latifah)
Uji Kompetensi Tari
Tepat di sebelah Timur rumah Agus Purwo Suprijono Desa Pangkal Sawoo. Diramaikan sekitar 60-70 peserta uji kompetensi tari dengan total 11 kelompok itu dengan lentik, gemulai, dan energik menampilkan tarian sesuai kemampuan mereka.
“Apabila kemampuan mereka baik akan naik kelas untuk mendapatkan materi tari yang tingkat kesulitannya bertambah,” ungkap Dita, Panitia sekaligus pembimbing tari.
Dita menambahkan, acuan kualitas penilaian dalam uji kompetensi tari panitia menghadirkan tiga juri. Di antaranya Kak Aglar, Agus Purwo, dan Kak Leo Hadi Franstika. Dari sekitar 50 anak yang mendaftar setiap tahunnya diuji untuk melihat kemampuan anak dari hasil belajar kelas tari setiap hari Kamis itu. Kemudian akan diumumkan siapa-siapa yang menjadi juara favorit dan peraih nilai tertinggi.
Secara terpisah Bayu menuturkan, anggota yang tergabung dalam Sanggar Solah Wetan tidak saja dari desa pinggiran Sawoo, tetapi juga sambit, wilangan, dan daerah perkotaan. Sejauh ini pendaftar mengalami kenaikan karena anggota tidak saja mendapatkan materi tari, tetapi juga materi kelas karawitan. (suci ayu latifah)
Pawarta: Suci Ayu Latifah
Mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Harian Surya Surabaya, Sabtu, 3 Februari 2018 (kolom Digim@c).