Sudahkah Hari Ini Menulis?
Redi Panuju dalam buku Menulislah Dengan Marah, mengingatkan kita bahwa menulis itu gampang. Dalam buku tersebut, ada tiga point yang menarik untuk dipelajari guna praktik menulis. Kemenarikan buku tersebut Pertama, menulis adalah aktivitas memindahkan pengalaman. Kedua, menulis sebagai sarana katarsis untuk mengeluarkan kesumpekan batin. Dan ketiga, menulis sebagai sebuah kebutuhan. Ketiga point tersebut, Redi paparkan di awal ‘Hakikat Menulis’ dengan ilustrasi detail hingga akar-akarnya.
Menulis adalah aktivitas memindahkan pengalaman. Dalam hal ini, tentu bukan suatu persoalan yang rumit. Setiap manusia pastilah memiliki pengalaman hidup. Baik pengalaman membaca, pengalaman travelling, pengalaman imajinatif, hingga pengalaman orang lain. Ironisnya, tidak banyak orang yang mendokumentasikan pengalaman hidupnya lewat tulisan. Pengalaman hakikatnya dapat dijadikan cerminan menuju masa depan. Setiap kejadian atau peristiwa yang pernah kita lewati dapat dijadikan suatu pembelajaran efektif dalam bertindak di kemudian hari. Dengan harapan, tidak akan jatuh di lubang yang sama.
Tidak semua pengalaman itu selalu buruk. Ada juga pengalaman yang baik dan mengesanan. Sebutlah, ketika seseorang memiliki pengalaman lomba lari dan mendapatkan juara, pasti akan lebih mengesankan apabila moment itu mampu terdokumentasikan lewat tulisan. Bukan sekadar gambar ataupun foto. Dokumentasi lewat tulisan sewaktu-waktu dapat kita baca. Sekadar mengingat kisah masa lalu sebagai pertimbangan menuju masa depan.
Pengalaman yang tertuliskan, secara logika akan berdampak pada program pikiran bawah sadar seseorang. Entah menjadi bangkit, sadar, atau justru hanyut. Sebenarnya setiap kejadian yang hadir merupakan sarana pembelajaran. Pengalaman menarik hari ini misal, dapat kita jadikan menu belajar yang tepat dalam perjalanan hidup atau sejarah kehidupan (history life). Bahkan lebih tepat lagi kalau kita mampu menuliskannya.
Menulis sebagai sarana katarsis untuk mengeluarkan kesumpekan batin. Pada point ini, mengingat kita akan fenomenal kemiskinan moral yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu. Salah satu kemiskinan moral tersebut adalah penyimpangan sosial. Misalnya, penculikan, pemerkosaan, pencurian, pembunuhan, penindasan HAM, dan lain sebagainya. Salah satu penyebab munculnya penyimpangan di atas, seseorang mendapatkan hantaman dan desakan hidup, sedangkan ia tidak dapat mengontrol diri.
Tuntutan akan kebutuhan hidup menjadi salah satu alasan seseorang untuk melakukan aksi macam pencurian misalnya, hingga bertindak pada pembunuhan terhadap pihak yang bersangkutan. Buku karya Redi menawarkan sebuah solusi berbeda untuk menyelesaikan persoalan hidup, yaitu dengan cara menuliskan semua persoalan kita dengan menulis. Dengan menulis, kita dapat menumpahkan segala resah, gelisah, unek-unek, pikiran yang berseliweran melalui untaian kata pada secarik kertas.
Menulis sebagai sebuah kebutuhan. Dalam konteks ini, yang namanya kebutuhan itu ada tiga macam, yakni kebutuhan primer atau pokok, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier. Kebutuhan primer adalah suatu kebutuhan yang utama, sehingga harus terpenuhi. Sebagai contoh, setiap hari manusia membutuhkan makanan. Sebab, kesehatan itu nomor satu. Sehat itu kenikmatan dan sehat itu adalah buah kebahagiaan. Seseorang yang sehat pasti bahagia karena tidak ada suatu problem dalam diri yang serius. Coba bayangkan kalau tubuh terasa sakit, pasti harus istirahat total (beatresh) guna memulihkan kondisi seperti sedia kala. Berbicara soal kesehatan, juga berkaitan dengan point kedua. Berdasarkan penelitian, 90% penyakit itu berasal dari pikiran. Artinya, ketika pikiran kita terganggu maka tidak dapat dipastikan hal yang tidak mungkin, menjadi mungkin saja terjadi. Apalagi jika berdampak pada kejiwaan yang serius.
Untuk itu, solusi yang tepat untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut adalah “menulis”. Mengapa menulis? Melalui tulisan semua masalah akan terekam dalam goresan pena, sehingga akan menimbulkan kepuasan diri seseorang tanpa harus bersikap diskriminatif misalnya. Menulis juga sarana untuk mencatat hal-hal yang buruk dengan tujuan sebagai pembelajaran di kemudian hari. Selain itu, menulis juga dapat melatih seseorang untuk bersabar.
Nah, dengan begitu usahakan setiap hari untuk menulis—menuangkan pikiran dengan sehat. Sebab, kita sadar setiap hari, bahkan setiap menit permasalahn (konflik) selalu hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebelum terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, lebih baik tuangkan permasalahan itu lewat pena, dalam goresan tinta hitam yang siap mewadahi segala resah dan gelisah manusia.
Jadi, sudahkah hari ini menulis?*
Suci Ayu Latifah
Mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Panitia SLG STKIP PGRI Ponorogo.
Sumber: Radar Ponorogo, Selasa, 10 Oktober 2017.