Jam Klasik yang Ritmis
Jarum panjang jam di dapur belum sampai menunjuk angka dua belas. Sedangkan jarum pendek, rekannya, masih berjalan malas menuju angka tujuh. Tik, tok, tik, tok, tik, tok. Si merah—jarum detik—berjalan cepat berupaya membangunkan kesadaran Wage yang masih melayang-layang. Di dapur, sambil mencuci botol bayi, lelaki ini berusaha menahan matanya. Kemudian, ia mengambil panci berukuran sedang dan mengisinya setengah. Wage berjalan ke arah kompor dengan langkah berat, kemudian menyalakannya dan meletakkan panci itu di atas kompor. Tik, tok, tik, tok, tik, tok.
“Duh, mas, anakmu..,” terdengar suara istrinya dari ruang tengah. Wage melempar matanya ke jam dinding klasik di tembok dapur. “Ah, sepagi ini?” gumamnya.
“Mas, aku ada kelas online!” teriaknya lagi.
“Oke baiklah!” ia berjalan dengan malas, seolah-olah ada bandul berat ratusan kilogram di kakinya. Apalagi matanya, tak kalah berat. Ia berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Hari ini seharusnya genap satu bulan istrinya kerja di rumah. Namun meskipun begitu, keberadaaan istrinya justru sama sekali tidak membantu. Mereka berdua sepakat untuk mengurus rumah sendiri setelah Yu Nah—asisten rumah tangga—mohon izin untuk berhenti. Ia harus mengurus keluarga di kampung, sepeninggal suaminya. Suami Yu Nah meninggal dalam tragedi kecelakaan kerja pembangunan bangsal rumah sakit. Mirisnya, kompensasi yang didapat Yu Nah tidaklah seberapa, bahkan Yu Nah harus membayar biaya pemakaman sendiri. Maka, dengan modal satu kali gaji dan pesangon dari Astri—istri Wage, Yu Nah pulang ke kampungnya.
Astri duduk di ruang tamu menghadap laptop. Sedangkan di kamar Rafa menangis. Tangisan bayi tujuh bulan ini sungguh memekakkan telinga. Apalagi ia dalam keadaan buang air besar dan belum diganti popoknya.
“Mas, kok wifi kita mati ya?” teriak Astri lagi.
Tidak ada jawabannya yang diinginkan, Astri berdiri dan berjalan ke kamar.
“Mas!” Astri tidak menemukan suaminya di kamar. Ia baru sadar, suara tangis anaknya telah menjauh. Kemudian ia berjalan ke belakang rumah, melewati pintu dapur. Suaminya sedang menggendong Rafa di kebun belakang rumah.
“Mas, wifi kita trouble lagi?” dengan suara lumayan keras Astri berkata.
“Sssstttsss….” Wage membalas sambil menatap tajam. Ia sedang menimang-nimang Rafa yang sebenarnya hampir tidur. Namun tentu saja suara keras istrinya membuat bayi mungil itu kembali bangun. Kemudian menangis lagi.
“Duh… Mas, aku harus ke kampus sekarang, kalau begini terus aku bisa telat kelas.”
Wage hanya diam, kemudian mengempaskan napas panjang. “Mas?” Astri kembali berkata dengan nada bertanya yang berat.
“Iya! Berangkat saja!”
Kemudian Astri berbalik dan berjalan tergesa-gesa. Belum sampai ia di ruang tamu, perempuan ini kembali berjalan ke arah kebun belakang. “Mas! Air panasmu!”
September ini, seharusnya usia pernikahan mereka sudah genap tiga tahun. Usia pernikahan yang masih muda biasanya masih memelihara kehangatan romantika. Namun tidak bagi Wage dan Astri. Tuntutan pekerjaan membuat mereka jarang di rumah. Wage adalah seorang editor sastra dan budaya di salah satu koran lokal di Solo. Hempasan pandemi membuatnya harus memohon untuk kerja di rumah. Ia hanya datang ke kantor paling banyak seminggu dua kali, itu pun hanya untuk rapat mingguan dan evaluasi program. Seluruh pekerjaannya bisa ia lakukan dengan online. Hal ini berbeda dengan Astri. Meski ia sudah menjadi dosen di salah satu kampus swasta di Solo, namun bulan-bulan ini ia harus mengejar ujian desertasi. Dan mirisnya, meski sudah ketok palu pembelajaran online, perempuan ini harus berkali-kali ke kampus. Selain untuk mengurus administrasi ini itu yang tiada habisnya, promotor Astri adalah dua professor yang dikenal ribet dan super perfeksionis. Beberapa kali ia diminta menggantikan mengajar di kampus lain. Katanya untuk menguji kepantasan materi disertasinya.
Seperti hari-hari sebelumnya, setelah membuatkan susu Rafa, Wage harus mengajak anaknya berjemur. Setelah itu mandi. Ia akan beruntung jika anak pertamanya ini tidak rewel, maka ia bisa mencuci dan menyetrika baju. Wage baru bisa membuka pekerjaan kantor setelah selesai memasak makan siang. Namun seringkali Rafa begitu aktif dari pagi hingga sore, maka jangan heran, jangankan untuk memegang pekerjaan kantor, sekedar untuk masak makan siang saja Wage akan sangat kesulitan.
Ketika Rafa rewel dan Astri mengeluhkan hal itu, Wage hanya bisa menjawab: Rafa itu anak yang peka dan ekspresif, jadi jangan heran kalau ia minta perhatian saban waktu. Mendengar jawaban itu, Astri hanya bisa melengos. Sejak bulan kedua Rafa sudah tidak mendapatkan asi eksklusif. Merawat anak di rumah, mencuci popok, hingga memasak bagi Astri hanya bisa dilakukan secara rutin oleh ibu rumah tangga. Ia menganggap, dirinya berbeda. Ia memiliki karir panjang dan bisa jadi sesuatu yang cemerlang menantinya di masa depan.
Hari ini Wage beruntung, lantaran selepas mandi dan makan bubur bayi, Rafa tertidur pulas. Itu artinya ia bisa pergi belanja. Tentu Rafa akan ia bawa menggunakan stoller biru kesayangannya. Sepulang belanja, lelaki ini memasak. Dapur adalah tempat yang menyenangkan baginya. Bukan karena ia senang memasak, baginya dapur adalah tempat kontemplasi paling nyaman. Ditemani jam dinding yang terbuat kayu jati berwarna cokelat tua, ia seringkali menghabiskan waktu lama ketika di sini. Sejak bekerja di rumah, Wage memindahkan jam klasik ini dari ruang tengah ke dapur. Ini adalah jam favorit Wage. Meski Astri sering protes keberadaan jam itu di dapur lantaran tidak cocok dan tidak enak dipandang, katanya. Namun Wage tidak peduli. Bagi lelaki ini, jam klasik kesayangannya itu memiliki suara tik-tok yang ritmis. Suara yang membuatnya tenang dari hiruk pikuk dunia yang tak karuan.
“Mas, aku harus lembur di perpustakaan, maksimal jam tujuh aku pasti sudah pulang.” Wage membalas pesan what’s apps dari istrinya dengan singkat: “Oke!”
“Rafa ngga rewel kan mas?”
“Aman!”
Wage begitu mencintai Astri. Atas dasar rasa cinta itulah, segala keinginan Astri selalu dikabulkan. Termasuk ketika pandemi menyerang, ia rela memohon pada bosnya agar bisa kerja di rumah dan hanya ke kantor dua kali dalam seminggu saja. Wage adalah orang ulet dan selalu mendapat predikat A di evaluasi pegawai dalam lima tahun terakhir. Hal ini menjadi faktor kuat permintaannya dikabulkan. Ia paham betul, betapa repotnya mengajar di kampus swasta berbarengan dengan mengejar ujian disertasi.
Malam ini Astri pulang telat, itu artinya, Wage juga harus menunda memasak. Ia berharap menu yang disajikan untuk istrinya masih hangat. Toh memasak sawi dengan irisan daging tidak membutuhkan waktu yang lama.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 19.35, namun belum ada kabar dari Astri. Sementara sejak jam enam tadi, perutnya sudah demo minta asupan. Wage memilih memanaskan air untuk membuat kopi, mengambil sebatang rokok, dan menyulutnya. Tik, tok, tik, tok, tik, tok. Ia duduk bersila bersandar tembok dapur. Kepalanya menghadap ke atas. Pussss. Sapuan asap rokok memenuhi dapur. Ada hal asing yang mengganjal di dadanya hari ini. Tidak lama ia menikmati kesendirian, suara mobil Astri terdengar masuk ke dalam rumah. Wage berdiri dan mematikan rokoknya.
“Maaf ya! Aku telat, hari ini benar-benar deadline.” Wage membalas dengan senyum, kemudian ia berjalan ke arah istrinya. Lelaki ini berniat memeluk dan memberikan ciuman hangat pada perempuan yang dicintainya ini.
“No! Aku bersih-bersih dulu!” ucap Astri singkat.
Wage pun kembali ke dapur, ia harus segera memasak. Namun belum sampai ia meraih potongan sawi dan daging, Astri berdiri tepat di belakangnya.
“Mas? Hari ini, kamu belanja?”
“Iya sayang. Kan sudah waktunya.” jawab Wage tanpa menoleh.
“Mas?” ucap Astri dengan nada tanya yang berat.
Wage menghentikan kegiatannya, ia berbalik menatap istrinya yang memegang tisu toilet. Mereka diam beberapa saat. Wage berupaya menerjemahkan wajah istrinya yang sudah tak karuan.
“Kamu beli tisu toilet?”
“Iya sayang,”
“Kan kita masih mempunyai stok di lemari. Lagi pula kenapa beda merk-nya dengan yang biasa kubeli?”
“Aduh, sayang, cuma tisu lho.”
“Bukan begitu mas, kita harus berhemat. Kita tidak akan pernah tahu sampai kapan pandemi ini berakhir. Lagi pula kenapa juga beli merk yang berbeda. Kita kan sudah cocok dengan yang itu.”
Wage mengernyitkan dahi. Sedangkan Astri berbalik badan berjalan ke arah meja makan. Ia duduk melipat tangan di atas meja, membiarkan tisu toilet dari kamar mandi teronggok di atas meja pula. Kemudian dahinya ia tempelkan di atas tangan. Wajahnya tertutup sempurna. Melihat hal itu, Wage hanya menghela napas panjang. Lelaki ini kemudian melanjutkan memasak. Ia memasukkan bawang merah, bawang putih, bawang bombay, dan cabai yang sudah dipotong kecil-kecil ke minyak yang panas. Sreeeeng! Asap mengepul.
“Mas!” Astri mengangkat kepala dan berteriak. Wage pun menoleh sambil mengernyitkan dahinya.
“Kamu mencampurkan cabai dengan bawang?”
“Iya, sayang…” Wage melanjutkan memasak, kemudian memasukkan daging, dan menyiramnya dengan air.
“Mas!” Wage menoleh, kemudian mengempaskan napasnya. “Ada apa sayang?”
“Kamu tahukan, aku tidak suka bau cabai digoreng. Apalagi dipotong-potong dicampur dengan bawang! Dan sejak kapan aku suka daging ditumis begitu?”
Wage berdiri mematung menatap istrinya. Lelaki ini diam seketika, bibirnya melongo sambil mengernyitkan dahi.
“Ini….”
“Ini hanya daging? Ini hanya cabai? Ini hanya apa lagi?” Astri memotong, kemudian berbicara panjang seperti kereta api.
“Sayang…” Wage memanggil halus melihat istrinya kembali menundukkan kepalanya ke meja. Sepertinya menangis. Wage kembali mendengus lumayan kencang. Tiba-tiba ia mendengar Rafa terbangun menangis. Wage sejenak memandang istrinya yang masih menunduk. Dengan perasaan gemas, Wage membuang seluruh isi wajan ke tempat sampah.
“Kenapa dibuang mas?” tanya Astri sambil kembali mengangkat kepalanya. Matanya terlihat sembab. Wage diam sejenak. Tik, tok, tik, tok, tik, tok. Samar-samar, suara tangisan Rafa terdengar dari ruang tengah. Ia masih menatap Astri yang kembali menundukkan kepalanya, napasnya tersengal. Kemudian Wage mengambil ponsel di sakunya. Membuka kalender. Setelah itu, ia mengeluarkan rokok, menyulutnya perlahan, dan mengambil cangkir kopi yang dibuatnya tadi. Tik, tok, tik, tok, tik, tok. Suara jam klasik kesayangannya yang ritmis dan menenangkan. Ia duduk bersila sambil menyandarkan badan ke tembok, tatapannya ke atas. Pusss. Asap rokoknya memenuhi ruangan.
***
Ponorogo, 3 Agustus 2020
Cerpen ini tersiar Suara Merdeka 30 Agustus 2020
SAPTA ARIF NUR WAHYUDIN. Aktivis Pramuka yang suka menulis pepuisi, cerita-cerita dan diskusi. Pemenang Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru 2018. Buku pertamanya “Di Hari Kelahiran Puisi”. Kini aktif di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo. Bersama mertuanya, Dr. H. Sutejo, M.Hum, kini sedang mengembangkan keluargaliterasi.com. Bisa disapa melalui akun IG: @saptaarif.